Prank Gaji Guru: Tingkah Pemerintah Belum Berubah

Prank Gaji Guru: Tingkah Pemerintah Belum Berubah

Prank Gaji Guru: Tingkah Pemerintah Belum Berubah
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Sorot publik selalu tentang nilai semangat para guru. Bukan soal akar masalah sesungguhnya. Lebih parah lagi, motivasi abstrak semacam itu diproduksi oleh pemimpin dari tingkat sekolah sampai pemerintahan.

Prabowo sudah menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun, remah-remah perjalanannya sulit sekali dibersihkan. Salah satunya ialah kegagalan Prabowo memenuhi janji kepada guru Indonesia: kenaikan gaji 2 juta untuk semua guru. Janji tersebut akhirnya menjadikan guru sebagai korban politik seperti yang sudah-sudah.

Janji tersebut walaupun tersiar dengan jelas di ruang publik, nyatanya hanya pepesan kosong. Tangis dan haru Prabowo saat pengumuman resmi tidak lebih dari gimmick budaya layar.

Selebihnya, kenaikan gaji guru hanya berlaku bagi level sertifikasi. Itu pun bukan 2 juta, melainkan cuma tambahan 500 ribu sehingga menjadi 2 juta bagi non-ASN, dan sekali gaji pokok bagi ASN.

Untuk yang non-ASN, redaksional pernyataannya rasanya sudah jelas. Namun, untuk yang ASN, ambiguitas sangat mencolok. Sebab, aturan lama sudah menyebutkan bahwa para guru ASN menerima besaran nilai sertifikasi sekali gaji pokok. Jadi, apanya yang bertambah?

Bukan lagu lama guru menjadi korban politik para elite (politisasi keguruan). Di orde baru, guru dan sekolah adalah alat politik yang nyata. Negara menggunakan guru sebagai subjek produksi kepatuhan lalu menjadikan sekolah sebagai ajang penghimpunan suara kampanye.

Semua itu berjalan pada tubuh peraturan dan kebijakan pendidikan, khususnya kurikulum. Bukti terbaru tentu janji kenaikan gaji guru oleh Prabowo.

Pemecahan Identitas dan Posisi Guru

Pasca reformasi hingga demokrasi digital, posisi guru masih penuh politisasi, bahkan tersegmentasi. Terutama di era Nadiem Makarim, strata keguruan makin pelik. Identitas keguruan diproduksi dengan berlebihan: guru konten kreator, guru penggerak, duta teknologi, guru pembatik, pengajar praktik, dan fasilitator guru.

Bila dicermati secara mendalam, masing-masing identitas tersebut lebih banyak memiliki kesamaan fungsi ketimbang perbedaan. Justru pemecahan identitas (segmentasi) semacam itu dapat mengakibatkan konflik horizontal.

Sebab, negara berlaku kolonial dengan memberi value pada salah satunya dan mendegradasi yang lainnya. Padahal, masing-masing memiliki value yang tidak perlu dibeda-bedakan atau pelabelan lainnya.

Pola kebijakan semacam itu melemahkan posisi keguruan. Guru akan makin susah mempersatukan suara, diri, dan kepentingan. Satu sama lain akan mengalienasi diri. Asing dengan lainnya walau satu golongan.

Persoalan tersebut dapat dilihat pada kebingungan kita sekarang dalam melihat posisi identitas guru sebagai guru: sebagai profesi, buruh, atau tenaga kerja lepas?

Jika sebagai profesi, seharusnya guru tidak perlu berteriak untuk mencapai posisi prestise, terhormat, dan apresiasi upah. Seperti halnya posisi guru di Eropa yang penghasilannya bisa mencapai satu milyar dalam setahun, misalnya Luxemburg 1.1 M/tahun (OECD, 2021). Di Asia Timur, seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, dan Singapura, guru juga mendapat timbal balik upah yang setimpal.

Lalu, jika menilik sejarah, pada masa Harun Al-Rasyid, upah tahunan rata-rata untuk penghapal Al-Qur’an, penuntut ilmu, dan pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sementara periwayat hadits dan ahli fiqih mendapatkan dua kali lipatnya, yaitu 4.000 dinar (NU Online).

Jumlah di atas tentu sangat kontras dengan fenomena upah guru Indonesia. Menjelang 80 tahun kemerdekaannya, Indonesia masih dengan wajah tanpa dosa menggaji guru ratusan ribu per bulan, terutama gaji para honorer dan guru tidak tetap (GTT) swasta.

Mereka adalah kasta paling rendah yang rentan terjerat pinjaman online. Harusnya mereka ini yang paling penting disorot dan dibantu. Di sini, pemerintah perlu mencarikan solusi, yang tentunya lewat kebijakan sekolah negeri dan swasta.

Kemudian, jika sebagai buruh, setidaknya harus ada aturan baku standar gaji guru serupa upah minimum. Di sini, kita bersatu layaknya buruh. Demo di hari guru, menuntut hak-hak yang terabaikan, mengucapkan solidaritas, dan meneriakkan ketidakadilan pada sosial. Atau mungkin juga melakukan perlawanan pada penindasan sepihak pada para kapital.

Lalu, jika sebagai tenaga kerja lepas, guru setidaknya bisa membuka tarif yang ideal saat jasanya dipakai (transaksi). Bukan harga pasaran layaknya bandrol barang pabrik. Guru bisa seperti para desainer grafis yang memasang tarif sesuai kesepakatan tuntutan hak dan kewajiban.

Atau mungkin kita hanya perlu melihat guru sebagai manusia, seperti yang dikatakan Iman Zanatul Haeri (Kompas, 28/11), sehingga guru, tanpa meminta pun, sangat perlu mendapat penghidupan layak dan berkecukupan karena dia manusia.

Oleh sebab itu, sangat penting mendudukan posisi guru di Indonesia. Biar kita juga tepat mendudukan perkara hak dan kewajibannya.

Nasib Bangsa Ada pada Guru

Pada siapa lagi nasib bangsa ini dipelihara kalau bukan oleh anak-anak mudanya. Lalu, anak-anak muda ini siapa yang memelihara kalau bukan para gurunya melalui pendidikan.

Meski terdengar klise, namun hal ini tentu saja tidak berlebihan lantaran guru memang penggerak utama pendidikan. Dari pendidikan itulah bangsa ini (ekonomi, sosial, agama, budaya, dan politik) dipelihara. Sebagaimana yang dikatakan Henry Giroux, bahwa guru adalah intelektual publik.

Pandangan masyarakat, terutama pemimpin Indonesia, tentang guru harus segera di-demitologisasi. Seperti yang dicanangkan oleh begawan pendidikan Prof. Dr. H.A.R. Tilaar—sebuah upaya menghapus mitos-mitos dunia keguruan (pengabdian,” “keikhlasan,” dan “kerelaan”).

Ukuran abstrak seperti ini mendegradasi nilai guru menjadi sekadar kalkulasi materi dan jabatan formalitas, bukan makna hakiki profesinya.

Ketika guru berjuang melawan keterbatasan gaji, akses, dan fasilitas, narasi yang muncul sering kali tentang perjuangan heroik mereka. Alih-alih menggali akar masalah, masyarakat justru menganggap keterbatasan itu sebagai hal yang wajar (normalisasi).

Bahkan, apresiasi seringnya lebih tinggi pada guru yang mampu mengabdi puluhan tahun dengan gaji ratusan ribu per bulan ketimbang prestasi seorang guru dalam kelasnya.

Sorot publik selalu tentang nilai semangat para guru. Bukan soal akar masalah sesungguhnya. Lebih parah lagi, motivasi abstrak semacam itu diproduksi oleh pemimpin dari tingkat sekolah sampai pemerintahan.

Kita harus mulai melihat guru secara realistis sebagai profesi yang mulia, tanpa harus terjebak dalam glorifikasi semu yang sulit ditangkap secara empiris dan profesional. Kalau tidak demikian, guru Indonesia akan terus menerus dimuliakan secara lisan, tetapi diabaikan dalam praktik.

Pendekatan Transaksional

Selain upaya demitologisasi, pemerintah juga perlu memulai pendekatan transaksional pada guru. Idealnya, mengubah paradigma motivasional ke transaksional secara perlahan.

Maksudnya seperti aktivitas ekonomi pada umumnya, antara yang diberikan paling tidak setimpal dengan apa yang didapatkan. Di sini, hak dan kewajiban guru perlu ditagih secara seimbang (transaksional).

Pasalnya, pembacaan akan makin susah apabila ternyata pemerintah sendiri gagal memetakan mana guru berkualitas dan mana guru tidak berkualitas. Penaikan upah sampai puluhan juta juga pun akan sia-sia. Sebab, ketegasan, keberanian, dan kecermatan dalam menentukan nilai-nilai kualitas guru sudah gagal terpenuhi.

Selama ini, kacamata pembacaan sendiri hanya berkutat pada kalangan honorer—yang jelas-jelas memang terpinggirkan dan butuh pembebasan. Hal ini tentu saja mutlak harus kita suarakan bersama. Jangan jadi orang culas, mengharap kualitas pada tubuh yang jelas-jelas terseok-seok untuk hidup.

Akan tetapi, apakah kita juga pernah berusaha mulai melihat kalangan ASN bersertifikasi? Hitungan kasar, para ASN Serdik secara income bulanan sudah melebihi UMK Bekasi (5.5juta per 2025) sebagai wilayah UMK tertinggi di Indonesia.

Pendekatan transaksional akan membaca keadaan ini dengan berimbang. Sebab, dasar kerjanya menagih hak dan kewajiban secara adil. Apabila memang guru belum sejahtera, kita upayakan kesejahteraannya. Namun, apabila guru sudah sejahtera, kita dapat mulai tagih kualitasnya.

Dengan narasi yang lebih realistis, konkret, dan berani, profesi guru dapat menjadi tonggak perubahan pendidikan Indonesia menuju masa depan lebih cerah. Guru adalah pemimpin peradaban, dan sudah saatnya kita memberikan mereka penghormatan dan dukungan yang sepenuhnya layak.

Sebab, maju mundurnya sebuah bangsa terletak pada kualitas guru yang mendidik generasinya. Kualitas guru dapat dimulai dengan setidaknya mulai berhenti meminggirkan hak-hak dasar mereka. Bukan lewat janji politik ala penjual kecap.

Penulis

Alfian Bahri

Guru Bahasa Indonesia dan tukang martabak

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel