Kita tahu bahwa perjuangan calon presiden (Capres) 2024, sebenarnya sudah dimulai dari pencarian calon wakil presiden, untuk meraup suara.
Anies misalnya, disandingkan dengan Muhaimin Iskandar untuk meraup suara dari Jawa Timur. Lalu Ganjar Pranowo, menggaet Mahfud MD untuk merebut suara dari Jawa Timur.
Begitu juga, Prabowo Subianto menggaet Gibran Rakabuming Raka untuk merebut suara basis Ganjar Pranowo, Jawa Tengah, sekaligus mengambil suara pendukung Jokowi.
Setelah menancapkan basis dukungan di Jawa, pasangan capres-cawapres ini juga berupaya mengambil suara anak muda. Ada Gibran yang selain merepsentasikan dirinya sebagai anak muda, dia juga menjanjikan beberapa program yang berpihak pada kaum milenial dan Gen Z, seperti kredit start-up.
Ganjar juga tak mau kalah, selain mencoba citra bak seorang bapak yang memahami perilaku anaknya, ia mencoba menarik dukungan anak muda dengan program kesehatan jiwa (mental health) dan raga. Program yang sama juga datag dari pasangan Anies-Muhaimin dengan program yang berbunyi kesehatan mental rakyat.
Kesejahteraan start-up dan mental health adalah dua fonomena yang cukup urgent di mata kaum muda. Jadi, bisa dibilang, sudah sangat tepat jika ketiga pasangan Capres menggaung-gaungkan program itu menjelang pencoblosan.
Baca Juga: Pilpres 2024 Butuh Sosok Nurhadi-Aldo
Pegiat Literasi yang Terlupakan
Tapi sayangnya, mereka lupa satu segmen anak muda yang sebenarnya sering dipandang remeh, tetapi memiliki potensi suara yang besar. Yakni segmen anak muda yang bergerak di dunia literasi.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2019 menyebut bahwa terdapat 11.437 komunitas literasi di Indonesia dengan sebanyak 543.736 pelaku di dalamnya. Kendati belum ada data yang membuktikan bisa dipastikan rata-rata pelaku tersebut adalah anak muda yang peduli dengan dunia literasi.
Di setiap sudut kota-kota di Indonesia, terutama di berbagai kegiatan besar dan car free day, selalu ada minimal satu lapak baca gratis di sana.
Ini kita belum ngomongin komunitas rumah baca, Lembaga non-profit di ranah Pendidikan dan terutama penerbitan buku. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mencatat terdapat 1.506 penerbit di seluruh Indonesia, baik yang mayor maupun yang minor.
Sementara itu perpustakaan nasional mencatan ada 690 penerbit di seluruh Indonesia. Walaupun jumlah ini berbeda, namun jumlah yang segitu sudah cukup untuk dibilang banyak, bukan?
Lalu bagaimana cara merebut suara mereka?
Gampang. Ketika Ganjar dan Anies menawarkan program kesehatan mental di visi mereka, saya yakin mereka membuatnya berdasarkan situasi sosial; bahwa isu kesehatan mental adalah sebuah masalah.
Begitu pula di dunia literasi. Ada banyak hal yang menjadi masalah di dunia literasi yang bisa diselipkan oleh para Capres-Cawapres ke dalam misi mereka.
Kita mulai dari masih sulitnya mengakses buku bacaan. Perpustakaan Nasional menyatakan bahwa jumlah capaian koleksi buku di perpustakaan daerah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia rasionya adalah 1:90.
Bayangkan untuk membaca satu buku saja, saya harus antri dengan 90 orang lainnya. Belum lagi durasi baca masyarakat Indonesia rata-rata dua buku pertiga bulan. Itu artinya, untuk membaca satu buku mereka menghabiskan waktu satu setengah bulan.
Jika dikalikan 89 orang lainnya, maka saya akan menghabiskan waktu sekitar 11 tahun untuk membaca satu buku. Padahal UNESCO ngasih standar satu orang untuk membaca minimal 3 buku dalam setahun.
Ini karena Harga Buku Mahal!
Sulitnya akses terhadap buku bacaan ini didukung pula oleh mahalnya harga buku di pasaran. Untuk membeli buku bacaan setebal 100 halaman, kadang kita harus mengeluarkan uang minimal Rp 50 ribu.
Uang sebanyak itu cukup untuk makan anak kosan selama tiga hari. Jika saya dihadapkan dua pilihan, mau beli makan atau beli buku, maka saya lebih memilih mengenyangkan perut. Persetan dengan quote “buku adalah jendela dunia”.
Mahalnya harga jual buku ini bukan tanpa alasan. Seperti yang diungkapkan Eka Kurniawan dalam artikel “Mengapa Harga buku Mahal?”, satu hal hal yang memahalkan buku adalah kurangnya toko buku indipenden.
Toko buku yang ada sekarang kebanyakan berada di mall dan tempat-tempat yang membutuhkan biaya sewa yang mahal.
Katakanlah rata-rata toko buku di sana mengambil 40 persen dari setiap penjualan satu buku untuk biaya sewa tempat, gaji karyawan dan berbagai tetek bengek toko lainnya.
Penjualan dari buku pun kadang tak menutupi ongkos yang diperlukan, makanya tak usah heran jika mereka juga nyambi jadi toko ATK, jual gitar, sofa pijat, printer, bahkan pakaian.
Harga satu buku juga dibebani pula oleh pajak pendapatan nilai toko buku, lalu PPN dari penerbit ke toko buku, yang kemudian dibebankan kepada para pembeli.
Mahalnya harga buku inilah kemudian membuka masalah baru. Inilah celah para pelaku pembajakan buku beraksi. Mereka tak perlu lagi bayar pajak, bayar royalti ke penulis, biaya produksi penerbit dan uang sewa toko yang mahal. Makanya jangan heran jika buku yang dijual akhirnya berharga murah, yaa meskipun kualitasnya kaleng-kaleng.
Ini adalah masalah yang dihadapi oleh para insan yang bergerak di dunia literasi. Selain industri perbukuan tidak maju, juga pembaca tak bisa mendapatkan bahan bacaan yang layak dan berkualitas. Bukankah ini juga bakal bikin literasi di Indonesia bakal tetap merosot, yang pada akhirnya IQ masyarakat tetap berada di angka 78,4?
Nah, masalah inilah seharusnya bisa dijadikan bahan kampanye oleh para calon presiden dan wakil calon presiden untuk mendulang angka.
Targetnya siapa? Tentu saja para pelaku literasi, mulai dari komunitas, mahasiswa dan industri percetakan dan penerbitan.
Kan cukup meyakinkan apabila pak Ganjar tiba-tiba berpidato “Untuk mempercepat pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan berkepribadian, maka diperlukan bahan bacaan yang berkualitas dan terjangkau.”
Baca Juga: Jika Saya Menjadi Seorang Pustakawan
Lalu di satu sisi Pak Prabowo berpidato, “Maka dari itu saya akan membasmi buku bajakan, menindak para pelakunya…”
Disambut oleh Pak Anies di lain pihak “dan memberdayakan toko buku indipenden, serta menghapus pajak penjualan buku.”
Gimana? Terlihat manis, bukan? Saya yakin, jika para kandidat berteriak begitu, semua insan literasi akan menjadi pendukung militan.
Terus gimana langkah kongkritnya, apakah akan terwujud? Ya, Namanya juga janji. Umbar aja dulu.