“Di negara ini, banyak wanita independen tetapi sedikit pria yang mapan,” ucap Prilly Latuconsina dalam sebuah video yang viral di media sosial.
Pernyataan aktris pemeran Ganteng-ganteng Serigala tersebut sontak menjadi bahan perdebatan publik di media sosial. Banyak netizen, terutama di kalangan laki-laki, tidak terima dengan pernyataan tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah ekspresi kesombongan.
Tetapi, di antara komentar-komentar negatif itu, yang menarik adalah narasi yang membandingkan bahwa ketika perempuan yang bekerja disebut independen, laki-laki yang bekerja dan penghasilannya sedikit disebut belum mapan.
Narasi ini secara implisit hendak mengatakan bahwa ada standar ganda dalam menilai perempuan dan laki-laki.
Padahal, peran-peran tradisional yang dilekatkan pada gender itu kadang-kadang tidak menguntungkan kedua belah pihak. Keduanya perlu dipisahkan agar tidak tumpang tindih dan mengesankan seolah-olah mengutarakan tantangan yang dihadapi laki-laki sama artinya dengan menolak gagasan kesetaraan gender.
Sudut Pandang Patriarkis
Menurut observasi saya dalam mengikuti perdebatan tersebut, narasi standar ganda di atas tidak terbangun dari satu sudut pandang.
Ada sudut pandang yang tampaknya memiliki nol pemahaman tentang kesetaraan gender. Sementara itu, ada juga sudut pandang yang pada dasarnya mengakui bahwa laki-laki dan perempuan setara, hanya saja mereka merasa bahwa tantangan yang mereka hadapi tidak diakui atau jarang dibahas dalam perbincangan mengenai isu kesetaraan gender.
Sudut pandang yang pertama sebenarnya tidak perlu dibahas lagi. Laki-laki merasa terlukai egonya, maskulinitasnya yang rapuh membuat ia merasa terancam oleh keberhasilan perempuan, dan seterusnya. Meskipun demikian, sudut pandang ini perlu ditunjukkan di sini sebagai perbandingan.
Kita tahu bahwa sudut pandang pertama ini umumnya muncul dari orang-orang yang percaya bahwa wilayah kekuasaan adalah wilayah laki-laki, dan oleh karenanya ia tidak terima jika perempuan memiliki potensi ekonomi lebih besar dibanding laki-laki.
Pandangan ini adalah status quo, sebuah kemapanan yang dipelihara secara sistematis sejak berabad-abad lalu dan melanggengkan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Dalam serial Gadis Kretek—yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Ratih Kumala—kita bisa melihat bagaimana orang-orang menghalangi Jeng Yah masuk ke dalam ruang saus dengan segala macam cara.
Adegan tersebut adalah metafora yang sempurna untuk menggambarkan bagaimana patriarki menghalangi perempuan mengakses sumber-sumber kekuatan ekonomi.
Di realitas yang tidak berbeda jauh, perempuan kerapkali kesulitan mendapat akses pendidikan yang layak. Lalu, ketika perempuan berhasil menempuh pendidikan tinggi, masyarakat kembali melucuti potensi-potensi ekonomi perempuan dengan memberinya dilema, dimana ia harus memilih peran menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir.
Kesulitan yang dialami perempuan demikian berlapis, sehingga saya rasa keberhasilan mereka menghadapi rantai-rantai sosial itu adalah sesuatu yang patut dirayakan (dan rantai-rantai sosialnya harus dimusnahkan).
Sudut Pandang Lain: Laki-Laki Juga Menjadi Korban
Adapun sudut pandang kedua adalah sudut pandang yang muncul dari kalangan laki-laki yang mengakui bahwa laki-laki dan perempuan itu setara dan berhak mendapat kesempatan yang sama.
Namun, mereka merasa bahwa wacana kesetaraan gender lebih sering menjadikan isu perempuan sebagai subject matter. Berbagai tantangan yang dihadapi laki-laki, terutama laki-laki dari kalangan yang secara ekonomi kurang beruntung, tidak atau jarang di-acknowledge.
Di negara dengan kondisi ekonomi yang karut marut ini, tidak sedikit laki-laki yang juga mengalami kesulitan yang sama dalam mengakses sumber-sumber ekonomi. Sementara itu, mereka tetap diharapkan menjadi pencari nafkah bagi keluarganya.
Lelucon tentang uang istri milik istri dan uang suami milik bersama adalah cerminan ketidakadilan nilai, norma, atau ekspektasi sosial yang membebani laki-laki tersebut.
Norma sosial yang mengharuskan laki-laki menjadi pencari nafkah sebenarnya bukan sesuatu yang lahir tanpa konteks sejarah.
Saat kita (manusia) hidup dalam masa berburu, perempuan punya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dan bayinya ketika ia sedang hamil atau baru saja melahirkan. Sehingga, ia perlu dukungan “finansial” dari laki-laki. Maka, tidak heran jika perempuan menghendaki laki-laki yang mapan untuk bisa menjamin pemenuhan kebutuhannya.
Namun, dunia sosial kita terus berubah. Sekarang, laki-laki juga mengalami masa-masa sulit dalam mengakses sumber-sumber ekonomi. Ketika itu terjadi, tidak ada yang menopang hidupnya. Ia berjuang dan menanggung segala beban sendirian.
Masih Relevankah Laki-Laki sebagai Pencari Nafkah Utama?
Dari sini kemudian muncul pertanyaan, ketika laki-laki dan perempuan mempunyai akses—dan kesulitan akses—yang sama terhadap pendidikan dan pekerjaan, masih relevankah norma sosial yang mengharuskan laki-laki menjadi pencari nafkah?
Dalam keseharian, kita acapkali mendengar celoteh orang-orang yang mengatai laki-laki yang tidak mengambil peran pencari nafkah sebagai mokondo, sebuah akronim yang saya rasa tidak perlu dijelaskan kepanjangannya, tetapi pada intinya merendahkan laki-laki yang tidak bisa menjamin atau provide pasangannya secara finansial.
Padahal, kalau kita benar-benar hendak berkomitmen pada prinsip-prinsip kesetaraan, peran-peran sosial laki-laki dan perempuan (khususnya dalam rumah tangga) seharusnya bisa menjadi lebih cair.
Dalam relasi yang setara, laki-laki dan perempuan dapat bertukar peran ketika perempuan punya potensi ekonomi lebih baik. Laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik, mengurus rumah, anak, dan lain-lain, lalu perempuan yang mencari cuan.
Memang, sih, idealnya kedua belah pihak punya pendapatan masing-masing. Tetapi, bagaimana kita akan menyikapi kondisi yang tidak ideal ketika salah satu pihak, misalnya, di-PHK atau kesulitan mencari kerja?
Menurut saya, peran-peran sosial dalam rumah tangga ini mestinya cukup didiskusikan dan diputuskan berdua oleh pasangan suami-istri. Hal itu tidak perlu menjadi norma yang berlaku ke semua orang karena tiap-tiap rumah tangga menghadapi tantangan yang berbeda-beda.
Satu rumah tangga mungkin bisa mempekerjakan orang lain untuk mengurus urusan-urusan domestik rumah tangga mereka, sehingga pertanyaan soal siapa mengurus rumah dan siapa mencari cuan tidak relevan bagi mereka.
Sementara rumah tangga yang lain barangkali tidak sanggup membayar jasa orang lain untuk melakukan itu sehingga berbagi peran menjadi perlu.
Kuncinya adalah pemahaman dan apresiasi satu sama lain, walaupun kontribusi terhadap rumah tangga tidak mesti berbentuk uang.