Jengkelnya para sejoli melihat fatwa haram perayaan Valentine masih belum seberapa dibanding dongkolnya Rio Haryanto. Bagaimana tidak, mobil balap yang biasa digunakannya kalah cepat dibanding kereta cepat Jakarta-Bandung.
Rio memang tidak pernah adu drag race lawan kereta cepat. Tapi di tikungan terakhir menuju kantong BUMN, dia ditelikung oleh kereta cepat. Dan kalau kereta yang menelikung, biasanya berbuntut panjang.
Sepanjang jumlah gerbongnya. Maksudnya, dulu pemerintah melalui Kemenpora pernah janjian sama Rio bakal mencarikan dana talangan BUMN buat pembalap asal Solo itu bergabung ke tim Formula One. Eh lha kok di saat-saat terakhir ini BUMN malah kelimpungan ngumpulin duit buat kereta cepat. Entah bagaimana nasib Rio sekarang.
Tapi memang begitu nasib olahraga di hadapan pemerintah. Seperti butiran keringat di ketiak Miyabi. Tidak ada artinya. Kata guru olahraga saya dulu, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Sedangkan pemerintah kita ini hampir-hampir tidak peduli sama kesehatan tubuh selain senam seksi tiap Jumat pagi. Jadi bayangkan sendiri kondisi kejiwaannya.
Ini baru masalah Rio Haryanto. Selain Rio, masalah-masalah olahraga sudah terlalu sering didengar masyarakat. Lebih sering dibanding lagu Indonesia Raya. Tahu sendiri bagaimana kondisi persepakbolaan nasional. Ada lagi wacana pembangunan ulang sirkuit sentul yang ambu-ambune cuma omdo.
Konyolnya lagi, sekalinya pemerintah mau bener-bener serius bangun infrastruktur olahraga, jadinya malah tidak karuan dan berbuntut panjang, mirip kereta yang menelikung Rio. Buktinya kicauan Mas Nazar tentang wisma atlet dan pelbagai borokokok itu bisa meninabobokan kader-kader partainya Pak Beye sampai benar-benar lelap di hotel prodeo.
Ditengah kondisi kejiwaan yang dipertanyakan itu, kita dihadapkan pada Rio yang lain lagi, Rio de Janeiro. Kota di Brazil ini bakal menggelar Olimpiade beberapa bulan lagi. Dan entah realistis atau tidak, Pak Kemenpora menargetkan Indonesia setidaknya mampu meraih medali emas.
Seperti biasa, bulu tangkis menjadi jagoan. Semoga 250 juta rakyat Indonesia tidak di-PHP lagi dengan raket latihan yang tidak kunjung dikasih seperti yang dulu itu.
Tapi di satu sisi, saya menilai harapan Pak Menteri itu tidak realisis. Tentunya penilaian saya ini subyektif dan hanya pakai fantasi, bukan logika. Entah bagaimana pembaca menilai, orang-orang yang memiliki potensi besar untuk jadi atlet di negeri ini sangat berlimpah.
Jadi jika targetnya hanya setidaknya mendapat medali emas, itu masih kurang. Menurut saya setidaknya dua atau tiga medali emas bisa diperoleh.
Tentunya akan lebih baik lagi jika kita bisa keluar dari ketergantungan pada cabang bulu tangkis. Mengingat Indonesia sebetulnya juga memiliki potensi yang luar biasa besar dalam beberapa cabang olahraga.
Karena bagaimanapun semakin banyak pacar semakin baik. Sehingga jika dikecewakan sama yang satu, masih ada yang lain. Tapi jika semua mengecewakan, berarti anda yang kurang beres.
Salah satu potensi yang dimiliki masyarakat Indonesia untuk mendulang medali emas adalah dari cabang balap sepeda. Dimana hingga tulisan ini dibuat, Indonesia hanya meloloskan satu atlet putrinya. Entah pesimis atau realistis, Indonesia hanya mendelegasikan satu atlet di cabang ini.
Peran Tukang Becak Adalah Meraih Emas Olimpiade
Padahal calon-calon atlet potensialnya tiap hari berseliweran di jalanan. Seringkali menjadi sasaran caci maki pengguna kendaraan bermotor. Mereka adalah para tukang becak. Sosok-sosok kekar yang tak peduli panas dan hujan. Bahkan bisa dibilang bapak-bapak ini lebih perkasa dari Lance Armstrong sekalipun.
Coba saja kita sandingkan, untuk menjadi pembalap sepeda terbaik selama bertahun-tahun Lance Armstrong menggunakan sepeda yang konon harganya mencapai 120 juta rupiah. Sedangkan satu unit becak bekas yang saya lihat di salah satu situs internet hanya berharga 800 ribu rupiah. Kalau baru kira-kira sekitar 2 juta rupiah.
Kita mengenal ungkapan ono rego ono rupo. Mahalnya harga sepeda Lance Armstrong tentunya beriringan dengan kualitas buatannya. Rangka yang terbuat dari serat karbon itu secara keseluruhan hanya berbobot tidak lebih dari 7 kg. Sedangkan satu unit becak yang terbuat dari besi berbobot sekitar 120 kg. Itu belum termasuk bobot ibu-ibu dan belanjaan mereka yang jadi pelanggan setianya. Totalnya bisa sekitar 200 kg.
Untuk menjadi juara bertahun-tahun, Lance Armstrong benar-benar menjaga pola hidupnya. Makan makanan bergizi, rutin olahraga, dan mungkin tidur teratur. Itupun masih terasa belum cukup hingga dia terbukti menggunakan doping.
Jangankan gizi, para tukang becak sudah bersyukur kalau bisa makan tiga kali sehari. Meski porsi makan mereka jumbo. Juga tidak ada olahraga teratur, yang ada adalah meringkuk beristirahat di dalam becaknya atau nongkrong di bawah pohon rindang.
Hebatnya lagi, mereka tidak pernah menggunakan doping untuk meningkatkan stamina. Malah rutin menghisap rokok kretek yang menurunkan stamina. Kalau ada kekurangan para tukang becak dibanding Lance Armstrong, itu bukan dari segi kekuatan. Melainkan dari segi teknik yang benar dalam membalap sepeda. Untuk itu barangkali perlu dibuat sejenis pelatihan terlebih dahulu bagi mereka.
Jika berjalan lancar, tidak heran jika suatu saat nanti ada tukang becak yang beralih profesi menjadi pembalap sepeda. Selain mengantarkan penumpang, peran seorang tukang becak bagi kita adalah meraih medali emas olimpiade.
Justru keheranan saya bisa muncul jika alih profesi itu terjadi karena bantuan pemerintah. Lebih masuk akal jika tukang becak itu sendiri yang menyadari potensinya lalu memutuskan menyisihkan uangnya untuk kredit sepeda balap.
Sepeda balap yang mereka gunakan pun mestinya tidak perlu yang sebagus punya Lance Armstrong. Cukup yang bekas saja di pasar loak dengan sedikit reparasi sana-sini. Lalu mereka bisa meniti karir barunya. Kemudian mencapai kesuksesan.
Seandainya benar-benar bisa sukses, biasanya akan datang sutradara ternama untuk memfilmkan kisah tukang becak itu. Lalu para kelas menengah datang berbondong-bondong ke bioskop, memasang hastag dukungan, dan sebulan kemudian lupa.
Tapi ini hanyalah pendapat subjektif tanpa nalar, hanya fantasi. Dan fantasi itu selalu lebih indah dari aslinya. Lebih indah lagi kalau fantasinya benar-benar jadi nyata. Seperti lagi enak-enak bayangin Miyabi lalu Miyabi-nya muncul di hadapan kita.