Viva Cattenacio! Sebab Sepak Bola adalah Soal Hasil

Viva Cattenacio! Sebab Sepak Bola adalah Soal Hasil

Viva Cattenacio! Sebab Sepak Bola adalah Soal Hasil
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Bagaimanapun, sistem defensif Cattenacio memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sistem lain. Dan itulah indahnya sepak bola, selalu menuntut dialektika di dalamnya.

Real Madrid layak menggondol trofi si Kuping Besar untuk ke 15 kalinya setelah mengalahkan Borussia Dortmund di babak final Liga Champions (1/5). Di bawah besutan Don Carletto, Madrid menjelma sebagai tim dengan kekuatan luar biasa musim lalu.

Bukan soal DNA UCL yang banyak digembor-gemborkan sebagian fans nya, melainkan bagaimana konsistensi Cattenacio ala Italia itu benar-benar menubuh di inti permainan Los Blancos.

Sistem permainan pertahanan gerendel dengan menjaga ketat penyerang lawan secara man-marking serta memanfaatkan serangan balik secara efisien memang tidak bisa dianggap strategi murahan, minim kreasi, dan kuno. Sejarah telah membuktikannya. Setidaknya sejak strategi ini pertama kali dipopulerkan Helenio Herrera di era 60-an.

Sang birokrat sistem Super Cattenacio itu berhasil membuat Inter Milan menjuarai Piala Champions dua kali berturut-turut musim 1963/1964 dan 1964/1965, tiga kali Scudetto, serta dua gelar Piala Interkontinental.

Saya dibayar hanya agar tim saya tidak kalah. Maka peduli amat dengan permainan indah. Pokoknya, kami tidak boleh kalah, entah dalam sistem permainan apa pun juga,” kata Herrera. 

Selang beberapa tahun sesudah kesuksesan Herrera, Cattenacio-nya kemudian menuai komentar kritis dari seorang Pele:

Karena bertahan itu selalu lebih mudah dari pada menyerang, banyak pelatih memilih pola defensif. Apalagi mereka umumnya berada dalam tekanan yang tidak tertanggung, yakni tidak boleh kalah.”

Baca Juga: Romantika ‘De Godenzonen’ dan Asa yang Terus Terjaga

Patuhi Diktat Ketat adalah Koentji !

Cattenacio era itu memang mendominasi jagat sepak bola Eropa. Sangat layak jika disebut sebagai era Gloria Cattenacio (istilah saya sendiri), sebelum akhirnya digeser oleh gebrakan hegemoni Total Football Belanda, Jerman dengan sistem gebrakan ke muka, dan Brazil dengan permainan seninya beberapa tahun sesudahnya.

Dari segi permainan, Cattenacio memang terlihat kurang atraktif, tapi sangat efektif. Cattenacio tidak peduli dengan omongan Cruyff soal “bermain sepak bola sangat sederhana, tapi memainkan sepak bola yang sederhana itu yang sulit,” sebab yang penting adalah hasil akhir.

Begitulah budaya sepak bola Italia. Seperti yang dikatakan Guido Panico dan Antonio Papa dalam History of Italian Football, “Itulah kekhasan sepak bola Italia. Cattenacio sudah menjadi ekspresi kultural sepak bola Italia.”

Kini, sejak berpuluh tahun sepeninggal Herrera, Cattenacio menjadi strategi yang begitu ekspansif. Menular hingga luar Eropa, termasuk Afrika dan Amerika Latin.

Kolumnis sepak bola kawakan, Walter Lutz, turut membenarkannya. “Pola defensif itu kini malah berkembang dengan makin rumit dan menegakkan diri sebagai sistem yang makin kokoh.”

Bertualang di daerah lawan sebisa mungkin diminimalisir, termasuk inisiatif untuk menyerang dan menguasai bola. Yang ada memanfaatkan kesalahan lawan untuk melakukan counter attack.  Demikianlah diktat sistem defensif Cattenacio.

Diktat itulah yang jadi kunci keberhasilan Carlo Ancelotti dan Gianpiero Gasperini yang berhasil keluar sebagai juara di dua kompetisi bergengsi Eropa musim ini. Keduanya merupakan duo pelatih Italia yang sama-sama mewarisi gen permainan defensif.

Bedanya, Gasperini sedikit memodifikasi. Agak inklusif dan tidak serigid Don Carletto. Taktik high pressing (pertahanan tinggi), man to man marking (penjagaan individual), serta kecenderungan permainan agresif Gasperini sukses menghantarkan Atalanta menekuk jawara Bundesliga, Bayern Leverkusen, dengan skor 3-0 di final Liga Europa.

Meskipun permainan agresif Gasperini disebut-sebut sebagai anti-tesis kultur sepak bola Italia, tapi soal defensif ia tetap mewarisi sistem Cattenacio. Keduanya dikombinasikan dan membuat kedigdayaan Xabi Alonso seketika runtuh. Label “Neverlusen” selama 49 pertandingan seolah tidak ada apa-apanya.

Sementara Don Carletto, sang martir Cattenacio, seolah membuat lini pertahanan Los Blancos terlalu perkasa di hadapan klub-klub top Eropa. Manchester City dan Bayern Munich pun kena getahnya. Strategi ofensif ala Pep dibuat kewalahan. Tomas Tuchell dipecundangi secara menyakitkan.

Disiplin menjadi kunci solidnya lini belakang Real Madrid. Meski tanpa striker murni musim ini, Cattenacio Don Carletto terbilang cukup efektif dengan memanfaatkan serangan balik cepat.

Konsistensi gaya bermain tersebut di tangan Don Carletto pada hampir semua kompetisi musim lalu seolah menghidupkan kembali ‘Hantu Helenio Herrera’ periode 60-an.

Boleh saja haters El Real bilang pria kelahiran 10 Juni 1959 itu ‘miskin taktik’, ‘pragmatis’, ‘kurang agresif’, ‘minim kreasi’, tapi memang itulah diktat ketat Cattenacio yang terus ia imani.

Dan keimanan itulah yang akhirnya membungkam para hatersnya: Madrid berhasil juara liga domestik dan Eropa.

Hasil Akhir Lebih Dihargai daripada Proses

Sebagai fans Barca dengan kadar kecintaan terhadap gaya ofensif di atas rata-rata, melihat tim rival dengan sistem Cattenacio-nya bisa  juara liga domestik dan Eropa sungguh terasa menjengkelkan.

Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin sistem paling konservatif itu masih langgeng di tengah bersinarnya strategi sepak bola modern yang semakin variatif. Bukankah sudah ada Total Football yang merupakan ekspresi kegeniusan sepak bola modern?

Boleh dibilang Cattenacio miskin kreativitas saat menyerang. Tapi ingat, ia merupakan satu-satunya strategi dengan diktat “tak boleh kalah”. Semua strategi sepak bola dirancang memang untuk menang. Karena itu Cattenacio memilih jalan bertahan sekuat-kuatnya.

Namun, diktat “tak boleh kalah” ini memang aneh dalam konteks gaya bermain Cattenacio, mengingat satu-satunya jalan paling efektif agar tidak kalah adalah nyekor sebanyak-banyaknya.

Walaupun asumsinya demikian, toh, selalu ada jalan keluar untuk menghindari tekanan bagi sistem Cattenacio.

Adagium “setiap masalah ada jalan keluarnya”, sudah jadi etos kerjanya. Satu hal yang dimiliki sistem ini: kesabaran di atas rata-rata.

Tidak gegabah membuat keputusan di lini belakang merupakan satu hal yang mesti dihunjamkan dalam-dalam pada diri setiap pemain yang menerapkannya. Ini tentu akan membuat lawan merasa jemu. Emosi dan tenaga mereka dikuras habis-habisan.

Di saat-saat seperti itulah, sistem Cattenacio hanya menunggu momen yang tepat untuk membalikkan keadaan dengan melakukan counter attack. Dua winger dengan kecepatan di atas rata-rata disiapkan untuk menjalankan misi tersebut.

Kenyataan seperti itu digambarkan oleh Gianluca Vialli dalam buku The Italian Job. Ia menggambarkan sistem sepak bola Inggris yang modern dan variatif dengan sistem sepak bola Italia yang defensif melalui analogi dua petinju di atas ring.

Inggris, si petinju A, tak henti-hentinya melancarkan pukulan ke petinju B, Italia, untuk menunjukkan hasil latihannya kepada penonton.

Sementara  si B, terus memikirkan bagaimana cara bertahan hidup. Cara apa pun dilakukan meski penonton tidak menyukainya. Sebagai penonton, melihat tingkah laku petinju B tentu menjemukan. Bagi si B, persetan dengan ketidaksukaan orang padanya!

Toh, kembali lagi ke awal, hasil lebih dihargai daripada proses. Kira-kira seperti itulah paradigma sistem Cattenacio di atas lapangan. Kultur sepak bola Italia melihat hasil akhir di atas segalanya daripada proses!

Sebagai pria Italia bertangan dingin, Don Carletto menerapkan itu di Real Madrid. Ia tahu hasil akhir akan memberikan yang terbaik. Bayern yang sempat unggul hingga menit ke-68’, terpaksa harus menerima kenyataan dibungkam oleh dua gol Joselu di menit 88’ dan 90+1’ pada perhelatan semifinal Liga Champions beberapa waktu lalu.   

Sekarang begitu sulit bermain bola. Dalam sejarah bola dulu, hal macam itu tidak pernah terjadi.” Demikian Pele turut merasakan betapa kontrasnya permainan sepak bola di masanya dengan sejak munculnya sistem Cattenacio.

Apa yang dikatakan Pele tentu menuntut para pemikir mutakhir sepak bola macam Pep, Xavi, Flick, Tuchell, Arteta, Xabi, Klopp, dkk., untuk berpikir lebih keras.

Bagaimanapun, sistem defensif Cattenacio memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sistem lain. Dan itulah indahnya sepak bola, selalu menuntut dialektika di dalamnya.

Bukankah peradaban juga demikian: tatanan baru menggantikan tatanan yang sudah lama bercokol, dan seterusnya. Sepak bola akan jadi tontonan indah apabila sistem Cattenacio tetap langgeng dalam dunia sepak bola modern di tengah gaya ofensif yang semakin berkembang dan variatif. Viva Cattenacio!

Penulis

Muhammad Ghufron

Pemuja estetika Total Football FC Barcelona. Sesekali suka melamun

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel