Sediksi – Tak seperti lagunya Vina Panduwinata yang berjudul September Ceria, yang menyambut bulan ini dengan suka gembira, bulan September menyimpan kenangan pilu yang tak terlupakan bagi bangsa Indonesia.
Bulan ini menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa tragis dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia. Bulan ini juga menjadi pengingat akan betapa pentingnya menjunjung tinggi HAM dan menuntut keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
Istilah “September Hitam” sering digunakan oleh sejumlah lembaga, pengamat, dan aktivis HAM untuk menggambarkan rangkaian peristiwa kelam pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September.
Pelanggaran HAM yang Terjadi di Bulan September
Beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September antara lain:
Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965
G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Hingga kini, masih ada perdebatan mengenai siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa ini dan apa motifnya.
Banyak pihak yang menuntut agar pemerintah membuka arsip-arsip rahasia dan membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk mengungkap fakta-fakta sejarah yang terkait dengan G30S/PKI.
Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) adalah sebuah peristiwa berlatar belakang kudeta yang terjadi selama satu malam pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965.
Dalam peristiwa kelam ini tercatat gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia dan jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur lama di area Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Peristiwa ini diduga dilakukan oleh sekelompok perwira militer yang tergabung dalam Dewan Revolusi, yang didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Diduga tujuan dari G30S/PKI adalah menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan mengganti negara Indonesia menjadi negara komunis. Namun, rencana tersebut gagal karena mendapat perlawanan dari sebagian besar angkatan bersenjata yang loyal kepada Soekarno.
Akibat dari G30S/PKI adalah terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI, yang diperkirakan mencapai ratusan ribu orang sampai ada yang memperkirakan lebih dari sejuta.
Parahnya kebanyakan atau sebagian besar dari korban yang dianggap simpatisan PKI itu dibunuh atau dieksekusi tanpa melalui pengadilan terlebih dahulu.
Tragedi Tanjung Priok tahun 1984
Tragedi Tanjung Priok terjadi pada tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tragedi ini merupakan kerusuhan yang melibatkan tentara dan warga di Tanjung Priok pada masa Orde Baru.
Salah satu pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September ini dipicu oleh penangkapan beberapa jamaah masjid As Saadah yang menentang regulasi pemerintah yang mengharuskan semua organisasi masyarakat berlandaskan Pancasila.
Pada hari itu, ribuan orang yang dipimpin oleh Amir Biki, pengurus masjid As Saadah, melakukan protes ke kantor Kodim Jakarta Utara.
Namun, protes tersebut berubah menjadi bentrokan antara warga dan tentara. Menurut pemerintah Orde Baru, tragedi ini menyebabkan 24 orang tewas dan 55 orang luka-luka.
Namun, menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), jumlah korban sebenarnya jauh lebih banyak.
Tragedi Tanjung Priok menjadi salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September yang belum terselesaikan hingga kini.
Korban dan keluarga korban masih menuntut keadilan dan pengakuan dari negara. Mereka juga masih menunggu ganti rugi dan rehabilitasi dari pemerintah.
Tragedi Semanggi II pada tahun 1999
Tragedi Semanggi II terjadi pada tanggal 24 September 1999 di kawasan Semanggi, Jakarta Pusat. Tragedi ini merupakan bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan yang terjadi saat mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menolak Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang disahkan oleh DPR.
Undang-undang ini dianggap akan memberikan kewenangan kepada militer untuk melakukan operasi militer dalam situasi darurat.
Pada hari itu, ribuan mahasiswa, buruh, aktivis, dan masyarakat sipil melakukan aksi protes di berbagai titik di Jakarta. Namun, aksi tersebut berubah menjadi kerusuhan ketika aparat keamanan menggunakan kekerasan untuk membubarkan massa.
Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), tragedi ini menyebabkan 11 orang tewas dan 217 orang luka-luka.
Tragedi Semanggi II menjadi salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi dan HAM di Indonesia pasca-Orde Baru.
Banyak pihak yang mengecam pemerintah atas tindakan represif dan sewenang-wenang terhadap para demonstran. Banyak pula yang menuntut agar pemerintah menghormati hak-hak sipil dan politik rakyat Indonesia.
Pembunuhan Munir pada tahun 2004
Tepatnya Pada tanggal 7 September 2004, aktivis HAM Munir Said Thalib meninggal dunia karena diracun ketika sedang dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda.
Munir dikenal sebagai seorang aktivis yang gigih dalam menegakkan HAM dan memerjuangkan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, seperti kasus Tanjung Priok pada 1984 dan kasus kasus HAM berat lainnya.
Beberapa orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir telah ditangkap dan diadili, salah satunya adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda Indonesia.
Namun, hingga kini, motif dan dalang di balik pembunuhan Munir masih belum terungkap secara jelas. Banyak kejanggalan dan ketidaktransparanan dalam proses penyelidikan dan penyelesaian kasus ini.
Pembunuhan Munir menjadi salah satu peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September yang mendapat sorotan internasional.
Banyak pihak yang mendesak pemerintah Indonesia untuk mengusut tuntas kasus ini dan menghukum para pelakunya. Pembunuhan Munir juga menjadi simbol dari ancaman dan intimidasi yang dialami oleh para aktivis HAM di Indonesia.
Reformasi Dikorupsi pada tahun 2019
Lalu peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September terakhir dan paling baru adalah Reformasi Dikorupsi.
Reformasi Dikorupsi adalah istilah yang digunakan untuk mengkritik berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah yang dianggap mengkhianati semangat reformasi tahun 1998.
Beberapa contoh dari Reformasi Dikorupsi antara lain adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pada bulan September 2019, ribuan mahasiswa dan masyarakat melakukan aksi demonstrasi di berbagai kota di Indonesia untuk menolak berbagai revisi atau rancangan UU yang kiranya mengkhianati semangat reformasi tersebut.
Aksi demonstrasi ini berlangsung selama beberapa hari dan berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan. KontraS, aksi demonstrasi ini menyebabkan 5 orang tewas, ratusan orang luka-luka, dan ribuan orang ditangkap.
Baca Juga: Tragedi Tanjung Priok 1984: Kronologi dan Keterlibatan Militer dalam Pelanggaran HAM Berat
Itulah dia peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di bulan September yang menjadikan bulan ini begitu kelam di mata penggiat HAM dan para aktivis.
Dari beberapa kasus di atas membuktikan bahwa Indonesia masihlah belum dewasa menyikapi aksi-aksi demonstrasi, padahal negara kita adalah negara demokrasi. Semoga peristiwa-peristiwa serupa tidak akan terulang di masa mendatang!!