Pembentukan peraturan perundangan-undangan di Indonesia telah mengalami transformasi panjang sejak era orde lama hingga pasca reformasi. Bermula dari hanya dalam bentuk surat presiden atau dalam versi eksekutif, kemudian TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, hingga lahir Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang terus disempurnakan.
“(Transformasi pembentukan perundangan-undangan) Ini adalah buah dari kemapanan, tapi yang justru terjadi adalah ugal-ugalan pembentukan peraturan perundangan-undangan,” ungkap Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto pakar Hukum Tata Negara yang juga sempat menjadi salah satu saksi ahli dari pemohon (penggugat) UU Cipta Kerja pada akhir 2021 silam.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam pidato pembukaan acara Seminar Nasional seminar yang diadakan oleh Kompartemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Asosiasi Pengajar Ilmu Perundang-Undangan (ASIPPER) di Auditorium Gedung A Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Kamis, 16 Maret 2023.
“Inilah mengapa kita berdiri di sini, duduk di sini memikirkan. Kita paham semuanya itu punya resistensi politik, tetapi sebagai ilmuwan hukum kita harus berdiri tegak menyampaikan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah,” sambung Aan.
Forum ini dihadiri oleh para ahli Ilmu Perundang-undangan dari berbagai universitas terkemuka di tanah air. Di antaranya Dr. Fitriani Ahlan Sjarif (UI), Prof. Dr. Wicipto Setiadi (UPN Veteran Jakarta), Prof. Susi Dwi Harijanti (Unpad), Prof. Dr. Bayu Dwi Anggono (Unej) dan Dr. Indah Dwi Qurbani (UB).
Selain itu, juga hadir sebagai keynote speaker, Prof. Dr. Maria Farida Indrati yang merupakan Hakim Mahkamah Konstitusi 2008-2018. Hakim konstitusi wanita pertama di Indonesia ini memaparkan kondisi perundangan-undangan di Indonesia yang masih banyak menerapkan undang-undang era Hindia Belanda. Oleh karena itu, Maria Farida juga mengajak para peserta seminar yang hadir untuk mengkaji hal tersebut.
“Inilah tugas kita semuanya para pengajar perundang-undangan untuk mengungkapkan dan kemudian mencoba semua yang tidak sesuai lagi, dicabut dan diganti yang baru,” pungkasnya.
Maria Farida pun menyoroti proses pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja yang terdiri dari 78 undang-undang tidak sejenis. Undang-undang ini tidak diubah seluruhnya namun hanya diambil pasal-pasal saja sehingga menimbulkan permasalahan baru. “Kalau kemudian undang-undang yang ada dalam Omnibus Law tersebut diubah, kemudian Omnibus Law-nya diubah atau tidak?” jelasnya.
Berdasarkan masalah-masalah yang ada, Guru Besar Universitas Indonesia ini khawatir jika suatu saat nanti Indonesia menambah daftar undang-undang yang sebetulnya sudah tidak ada artinya tapi masih diberlakukan. Dia menegaskan kembali bahwa Indonesia bukan negara hukum melainkan negara yang berdasar atas hukum, maka hukum itulah yang harus lebih tepat.
Di forum yang sama, Dr. Indah Dwi Qurbani memaparkan kajian perihal makna hukum dan kekuasaan. Menurutnya, kelahiran peraturan pembentukan perundang-undangan itu karena setiap pembuatan undang-undang harus melalui proses yang cermat. Sehingga, sebagai sebuah konstruksi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, maka hukum ditaati bukan karena semata-mata tekanan kekuasaan.
Sebagai Ketua Pelaksana Seminar Nasional dan Rapat Kerja FH UB bersama ASIPPER, Indah Dwi Qurbani juga menyampaikan tujuan diadakannya forum ini agar menjadi ruang bertukar perspektif mengenai permasalahan hingga solusi perbaikan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lebih jauh, Indah mengatakan, “kegiatan ini diharapkan dapat mewadahi sekaligus mengelaborasi pendapat dari banyak pihak yang dapat dijadikan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan perundang-undangan di kemudian hari.”
Baca Juga: UU Cipta Kerja: Janggal Sejak Dalam Pikiran