Petani Plasma: Skema Kemitraan di Industri Kelapa Sawit Indonesia

Petani Plasma: Skema Kemitraan di Industri Kelapa Sawit Indonesia

Petani Plasma

DAFTAR ISI

SediksiKelapa sawit jadi salah satu komoditas yang paling banyak digunakan dan serbaguna di dunia. Kelapa sawit ditemukan di segala hal mulai dari makanan dan kosmetik hingga bahan bakar nabati dan deterjen.

Indonesia sendiri adalah produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia, menyumbang lebih dari setengah dari pasokan global. Namun di balik angka-angka mengesankan, ada kisah manusia yang sering luput dari perhatian: kisah petani plasma.

Apa itu Petani Plasma

Petani Plasma: Skema Kemitraan di Industri Kelapa Sawit Indonesia - Petani Plasma
Image from InsideIndonesia

Petani plasma adalah petani kecil yang berpartisipasi dalam program yang disponsori pemerintah yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat pedesaan dan mendorong pembangunan berkelanjutan sektor kelapa sawit.

Program ini, yang dikenal sebagai Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau Nucleus Estate and Smallholder Scheme, diluncurkan pada tahun 1987 sebagai bagian dari kebijakan transmigrasi Indonesia, yang memindahkan petani miskin dan tanpa tanah dari daerah padat penduduk ke daerah kurang berkembang.

Petani ini adalah petani yang berasal dari daerah lokal setempat maupun petani transmigran yang mengikuti program perpindahan penduduk Jawa dan Bali ke pulau lain seperti Kalimantan dan Sumatra.

Dalam skema PIR, setiap petani plasma dialokasikan 2 hektar lahan untuk menanam kelapa sawit, ditambah 0,5 hektar lagi untuk perumahan dan tanaman pangan.

Lahan tersebut disewa dari perusahaan perkebunan besar, yang bertindak sebagai inti perkebunan dan memberikan bantuan teknis, input, kredit, dan akses pasar yang terjamin kepada petani plasma.

Sebagai gantinya, petani plasma setuju untuk menjual tandan buah segar (TBS) mereka kepada perusahaan dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Setelah 25 tahun, petani plasma berhak memiliki lahan yang mereka tanami.

Cara Kerja Skema PIR

Skema PIR adalah skema pengembangan perkebunan rakyat yang melibatkan kerjasama antara perusahaan perkebunan besar sebagai inti dan petani kecil sebagai plasma.

Skema ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat pedesaan dan mendorong pembangunan berkelanjutan sektor kelapa sawit. Berikut adalah cara kerja skema PIR:

  • Setiap petani mendapat alokasi lahan 2 hektar untuk menanam kelapa sawit, ditambah 0,5 hektar untuk perumahan dan tanaman pangan. Lahan tersebut disewa dari perusahaan perkebunan besar, yang bertindak sebagai inti perkebunan.
  • Perusahaan perkebunan besar memberikan bantuan teknis, input, kredit, dan akses pasar yang terjamin kepada petani plasma. Perusahaan juga membantu petani plasma untuk mengadopsi praktik pengelolaan terbaik dan mendapatkan sertifikat keberlanjutan.
  • Petani setuju untuk menjual tandan buah segar (TBS) mereka kepada perusahaan perkebunan besar dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Setelah 25 tahun, petani plasma berhak memiliki lahan yang mereka tanami.
  • Skema PIR dirancang untuk menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan besar dan petani kecil, serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan masyarakat pedesaan.

Menurut laporan Asian Agri, salah satu perusahaan pertama yang berpartisipasi dalam program ini, petani plasma dapat menghasilkan hingga 10 juta rupiah ($700) per bulan dari perkebunan kelapa sawit mereka, yang jauh lebih tinggi daripada pendapatan rata-rata rumah tangga pedesaan di Indonesia.

Perusahaan tersebut juga mengklaim bahwa ia membantu petani plasma untuk mengadopsi praktik pengelolaan terbaik, mendapatkan sertifikat RSPO, mengakses pinjaman bank, menanam ulang pohon-pohon tua mereka, dan mendiversifikasi sumber pendapatan mereka.

Kritik untuk Skema PIR

Namun, skema PIR tidak lepas dari tantangan dan kritik. Beberapa masalah yang dihadapi oleh petani plasma antara lain konflik lahan, beban utang, produktivitas rendah, kurangnya kekuatan tawar, degradasi lingkungan, dan eksklusi sosial.

Selain itu, pemerintah berencana untuk mencabut persyaratan wajib bagi perusahaan perkebunan untuk mengalokasikan 20% lahan mereka untuk petani plasma dalam rancangan undang-undang deregulasi baru.

Langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis dan pejabat yang khawatir bahwa hal itu akan merusak hak dan kepentingan petani dan mengurangi insentif mereka untuk bermitra dengan perusahaan.

Petani plasma adalah bagian integral dari industri kelapa sawit Indonesia. Mereka berkontribusi terhadap lebih dari 40% luas dan produksi kelapa sawit negara ini. Mereka juga memainkan peran penting dalam menjamin keberlanjutan dan inklusivitas sektor tersebut.

Oleh karena itu, penting untuk mengakui kontribusi dan tantangan mereka, dan mendukung mereka dengan kebijakan dan program yang memadai yang dapat meningkatkan kapasitas dan ketahanan mereka.

Petani plasma bukan hanya penerima manfaat pasif dari skema pembangunan; mereka adalah agen perubahan aktif yang layak mendapat hormat dan pengakuan.

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel