Sekelas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, kompak mendesak Pilkada 2020 ditunda. Pandemi Covid-19 yang belum berakhir menjadi alasan kuat mengapa Pilkada 2020 harus ditunda. Kedua ormas ini melihat kesehatan dan keselamatan masyarakat jauh lebih penting.
Ketua PBNU Said Aqil Siraj menilai Pilkada 2020 berpotensi memunculkan kerumunan. Kendati protokol kesehatan dilakukan secara ketat, potensi kerumunan tidak bisa diabaikan. Said berpendapat bahwa melindungi masyarakat dari ancaman kesehatan penting dilakukan. Terlebih di masa pandemi yang kian gawat seperti saat ini.
Baca Juga: Pilkada Serentak: Pejabat Kebal, Rakyat Pun Mendal
Senada dengan NU, Muhammadiyah mendesak pemerintah dan DPR menunda Pilkada 2020. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa keselamatan masyarakat jauh lebih penting ketimbang Pilkada 2020. Selain itu, Pilkada serentak berpotensi memunculkan klaster baru penyebaran Covid-19.
Meski dua organisasi besar tersebut tegas menolak, pemerintah dan DPR ngotot melaksanakan Pilkada 2020. Keputusan ini pun sudah ketok palu. Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman menjelaskan kalau Pilkada 2020 tetap perlu diselenggarakan sesuai jadwal demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memlilih
Lebih lanjut Fadjroel mengungkapkan, Presiden Jokowi tak setuju Pilkada 2020 ditunda. Pandemi belum bisa diprediksi kapan akan berakhir sementara kepala daerah yang habis masa jabatannya perlu pengganti. “Presiden Joko Widodo menegaskan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir, karena tidak satu negara tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir,” kata Fadjroel.
Baik NU maupun Muhammadiyah sepakat menunda Pilkada dan pemerintah fokus dalam penanganan pandemi. Anggaran untuk Pilkada 2020 juga disarankan agar direalokasikan ke anggaran kesehatan yang lebih mendesak. Jaring pengaman sosial juga dapat diperkuat berkat pengalihan anggaran Pilkada.
Sampai detik ini belum ada kabar dukungan dari masyarakat untuk melaksanakan Pilkada. Sebaliknya penolakan terus terdengar dari berbagai lapisan masyarakat. Lalu, untuk siapa pemerintah dan DPR ngotot melaksanakan Pilkada?
Standar Ganda Penyelenggara Negara dan Nasib Konstitusi Masyarakat Desa
Alasan penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah dan DPR yang memaksakan diri mengadakan Pilkada serentak dengan dalih menjaga hak kontitusi rakyat nampaknya semu belaka. Pasalnya, pemilihan kepala desa (pilkades) di 3000 desa justru ditunda. Mendagri beralasan pilkades ditunda karena pemerintah tidak bisa mengontrol jalannya pilkades. Sebab, pilkades diselenggarakan oleh kabupaten masing-masing.
“Karena pilkada bisa kita kontrol, tapi kalau pilkades penyelenggara tiap kabupaten masing-masing. Iya kalau punya manajemen yang baik, kalau tidak rawan sekali (penyebaran Covid-19),” ujar Tito dilansir CNN.
Faktanya jumlah 3000 desa itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan desa yang mengikuti pilkada. Singkatnya, jumlah 224 kabupaten yang mengikuti pilkada serentak juga berarti digelar di desa-desa yang ada di kabupaten-kabupaten tersebut. Suara masyarakat yang menolak Pilkada tidak didengarkan, giliran saat Pilkada dipaksa memberikan suara. Nampaknya benar kata-kata bijak di media sosial, “manusia Pemerintah Hanya Mendengarkan Apa yang Ingin Mereka Dengar.” Wes angel angel.