Terminologi jualan soal ‘rakyat berhak memilih’ atau ‘pesta demokrasi’ hanya terdengar santer saat pemilihan saja, baik saat pemilu maupun pilkada. Di luar itu, frasa ‘kebebasan demokrasi’ seperti terasa kopong.
Seminggu terakhir, isu soal pilkada yang akan dilaksanakan 9 Desember mendatang sedang panas-panasnya. Puncaknya tadi, Rabu, 23 September 2020), ketika hasil rapat koordinasi dengan seluruh sekjen DPP Parpol diumumkan. Seperti yang diduga, pilkada akan tetap dilaksanakan Desember 2020 mendatang.
Gelombang Protes
Jauh sebelum keputusan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 diambil, banyak kritik yang mencuat dari berbagai pihak. Gelombang protes yang paling menyorot perhatian, berasal dari PBNU dan Muhammadiyah.Kedua ormas sama-sama meminta pemerintah untuk meninjau ulang pelaksanaan Pilkada pada Desember mendatang.
PBNU, melalui Said Aqil Siroj, bahkan mengeluarkan surat pernyataan untuk mengundur pilkada sampai vaksin ditemukan. Alasannya adalah relokasi dana lebih baik ditujukan untuk penanganan pandemi. Selain itu, juga ia menganggap meski protokol kesehatan diperketat, konsentrasi orang dalam jumlah banyak, di seluruh tahapannya, tetap akan sulit dihindari.
Adapun PP Muhamadiyah menilai bahwa kesehatan masyarakat lebih penting, dibandingkan dengan penyelenggaraan Pilkada serentak yang justru, kata Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah,“berpotensi menjadi klaster penularan Covid-19.”
Kritik juga datang dari lebih dari 35.000 orang yang menandatangi petisi online di change.org. Hingga tulisan ini diterbitkan (23 September 2020), jumlah penandatangan sudah mencapai 35.079 . “Bukannya fokus membahas penanganan pandemi, Pemerintah dan DPR malah sepakat untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020,” menurut petisi tersebut.
Mantan Wakil Presiden sekaligus Ketua Umum PMI Jusuf Kalla, melansir Kompas (21/09) turut angkat bicara. Keputusan melanjutkan Pilkada menurutnya adalah pemaksaan terhadap sesuatu yang jelas-jelas secara rasional, membahayajan kehidupan rakyat. Menurutnya, keputusan itu bukan semata nekat, melainkan fatal. “Semua proses politik tujuan mulianya adalah untuk kemaslahatan rakyat, bukan memudaratkan rakyat,” katanya.
Alasan Pemerintah
Gelombang protes memang sudah banyak. Tapi, bukan pemerintah namanya, kalau tidak punya banyak alasan.
Salah satunya, alasan yang menyebutkan jika Pilkada serentak 2020 ditunda, ada 270 daerah yang menjalankan pemerintahan di bawah Plt (pelaksana tugas).
Sebagaimana dilansir Kompas (22/09/2020), Mahfud MD mengatakan bahwa kewenangan plt memiliki keterbatasan. Sedangkan, dalam situasi darurat pandemi dibutuhkan pengambilan keputusan dan langkah strategis dalam mengeluarkan kebijakan, terutama anggaran.
Alasan lain tetap diselenggarakannya Pilkada, masih menurut Mahfud MD, adalah jaminan terhadap hak konstitusional rakyat dalam memilih dan dipilih. Sesuai dengan undang-undang dan atau perundang-undangan.
“Di negara-negara yang serangan COVID-nya lebih besar seperti Amerika sekalipun, pemilu juga tidak ditunda. Di berbagai negara juga berlangsung, pemilu tidak ditunda,” ungkapnya, sebagaimana dilansir Liputan6.com.
Menyoal situasi pandemi, presiden Jokowi menegaskan bahwa penerapan protokol kesehatan harus tetap ditegakkan. Mahfud MD juga mengungkapkan, untuk membiayai perlengkapan dan persiapan penunjang pelaksanaan Pilkada 2020 sesuai protokol kesehatan, pemerintah telah menyiapkan anggaran senilai Rp5 triliun.
Pendapat Pengamat
Sejumlah pengamat dan peneliti, ikut menanggapi panasnya perdebatan mengenai penyelenggaraan pilkada serentak 2020.
Ujang Komarudin misalnya. Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) ini, menilai sikap Jokowi yang abai terhadap masukan dari PBNU dan Muhammadiyah dapat menimbulkan risiko memburuknya hubungan kedua ormas dengan pihak pemerintah.
Pengamat politik LIPI, Wasisto Raharjo berpendapat keputusan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan Pilkada serentak 2020, menunjukkan bahwa Jokowi cenderung mengutamakan kepentingan elit yang telah membantunya di pilpres lalu.
Lebih lanjut, menurut Wasisto, ada dua alasan kenapa Jokowi tidak menunda penyelenggaraan pilkada. Pertama, dampak ke pembengkakan anggaran. Kedua, dampaknya kepada sejumlah calon yang maju dan memiliki relasi dengan tokoh nasional. Sebagaimana diketahui anak dan menantu Jokowi, Gibran Rakabuming serta Bobby Nasution, memang maju dalam pilkada serentak mendatang.
Sementara itu, Peneliti CSIS Arya Fernandes menilai PBNU dan Muhammadiyah merupakan organisasi besar keagamaan yang tak memiliki kepentingan politik jangka pendek terkait pelaksanaan pilkada, sebab keduanya merupakan organisasi massa yang telah matang.
Meskipun demikian, Arya menyarankan bahwa pemerintah bisa mengambil jalan tengah. Pelaksanaan pilkada untuk beberapa wilayah yang masih termasuk dalam zona merah sapat ditunda terlebih dahulu. Sementara wilayah yang masih zona hijau dapat tetap menggelar pilkada.
***
Pemerintah telah mengambil keputusan. KPU sudah bulat untuk mempersiapkan penyelenggaraannya. Proses penetapan pasangan calon pun telah dimulai di beberapa daerah. Sekalipun gelombang protes cukup kencang, lantas rakyat mau bagaimana lagi?
Meminjam pendapat Pangi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting kepada CNN Indonesia, Jokowi memang keras kepala, padahal nasib nyawa rakyat sangat bergantung kepadanya.
Namun begitulah. Sepertinya politik memang sandiwara yang isuk dhele, sore tempe. Sudah cukup soal kacaunya manajemen prioritas pemerintah dan DPR semenjak awal masa pandemi. Pembahasan omnibus law digas terus, isu soal penghapusan mapel sejarah yang terasa tanggung, atau soal wajib militer mahasiswa yang sempat ramai bulan lalu.
Rakyat tetap tak punya suara di hadapan pemangku kebijakan. Karena seruncing apapun pisau yang kita miliki, pemerintah tetap kebal.