Heterogenitas etnis mendorong saya untuk merekonstruksi pemikiran dengan bertanya: Seperti apa, sih, yang disebut orang Jawa? Siapa sebenarnya orang Batak? Apa ciri-cirinya?
Dalam beberapa hal, Helva seperti ketus dan sebal atas stereotipe yang dijatuhkan kepadanya sehingga melampiaskan penyematan identitas yang aneh itu dengan cara yang tak ubahnya sama: melaksanakan stereotipe kembali.
Lord Didi sudah merekognisi aneka situs dan lokasi yang mungkin asing bagi pendengar lintas-daerah. Sekarang saatnya warga dan pemerintah daerah, khususnya yang sudah disebut dalam lirik-lirik tersebut, yang perlu merekognisi-balik ‘anak rohani’ beliau.
Tak dapat dipungkiri bahwa orang Batak memang melihat peluang lebih besar di tempat lain. Tapi, akan menjadi keliru ketika kemudian muncul kesimpulan bahwa di kampung seakan tidak ada apa-apa.
Masa bodoh dengan Bhinneka Tunggal Ika. Pasalnya, sebagai perempuan Jawa di tanah Medan, saya hanya dipandang seperti remah-remah debu hasil proyek atasan yang tak kunjung selesai.
Sebagai arek Mojokerto nyel, saya merasa onde-onde nasibnya cukup miris. Ia udah kayak identitas semu dari Kota Mojokerto yang hanya ada di Wikipedia. Lho, kok, bisa?