Sediksi.com – Masyarakat suku Tengger, tepatnya di Desa Jetak, Kecamatan Sukapura, Probolinggo merayakan Nyadran pada Senin, (7/8).
Menariknya, pada tradisi Nyadran menaburkan uang koin menjadi salah satu hal selalu ada dan dinantikan masyarakat Desa Jetak.
Nyadran sendiri merupakan bagian rangkaian akhir dari Hari Raya Adat Karo 1945 saka, sebelum mulihe ping pitu, yang berlangsung di bulan Karo 1945 – dalam penanggalan Tengger – atau bertepatan pada bulan Agustus 2023. Nyadran biasanya dilakukan dengan cara nyekar ke makam leluhur.
Tradisi Nyadran tak hanya diikuti oleh ratusan masyarakat Tengger, tetapi juga sangat terbuka untuk umum. Keterbukaan ini terjadi karena Nyadran adalah acara adat tanpa memandang agama.
Nyadran menjadi rangkaian kedelapan pada Hari Raya Karo. Di mana sebelumnya, masyarakat Desa Jetak sudah melangsungkan tekane ping pitu, pemasangan penjor dan umbul-umbul, resik, takir kawung, sodoran, Tumpeng Gedhe, Sesanding yang menjadi bagian dari peringatan Hari Raya Adat tersebut.
Makna Nyadran
Masyarakat Tengger memaknai Hari Raya Adat Karo sebagai bentuk bakti kepada sesama manusia, bakti kepada alam semesta, dan bakti kepada sang pencipta. Di mana salah satu rangkaian tradisinya, Nyadran menjadi bukti bakti tersebut.
Suyitno, Dukun Pandhita Jetak menyebut ada dua inti dari pelaksanaan Nyadran. Pertama, menjadi pengingat masyarakat akan leluhurnya dan kedua memberikan doa kepada leluhur agar mendapatkan perlindungan dari sang pencipta.
“Intinya nyadran hanya dua, sucinya bumi yang ditempati leluhur yang diundang setiap satu tahun sekali, harus diingat oleh keluarganya yang masih hidup, yang kedua tadi kembalinya leluhur itu agar tetap mukti, artinya tetap mendapatkan perlindungan dari sang maha pencipta, kembali ke tempatnya masing-masing hanya intinya itu,” jelasnya pada Selasa, (8/7).
Dukun Pandhita juga sempat menjelaskan bahwa leluhur bagi masyarakat Tengger dibedakan menjadi dua, yaitu leluhur rumah dan leluhur yang ngaluhur. Alih-alih membedakan dengan jelas, keduanya menempati posisi penting dalam kehidupan masyarakat Tengger.
Senada dengan penyampaian dukun pandhita, Marjono menyebut bahwa Nyadran juga menjadi tradisi yang membuatnya ingat terhadap leluhur.
“Setiap manusia pasti punya leluhur, Nyadran sendiri menjadi bentuk bakti juga terhadap leluhur-leluhur yang sudah mendahului kita, jadi intinya ya kalau nggak ada istilah Nyadran, nggak ada istilah nyekar, nabur bunga dengan air itu, kita nggak tahu dimana tempat kakek-kakek yang sudah mendahului kita, dimana posisi mereka,” terangnya pada Senin, (7/8) kemarin.
Pria 43 tahun yang juga pernah menjabat sebagai Legen (asisten dukun pandhita periode 2004-2007) itu juga mengungkapkan, bahwa Nyadran juga menjadi tradisi untuk mendoakan leluhurnya.
“Jadi kesempatan kita sambil mengingat tempatnya, sambil mendoakan, semoga mendapat tempat yang layak,” imbuhnya.
Uniknya Tradisi Menaburkan Koin Receh
Tibalah Nyadran, ratusan warga yang terdiri dari seluruh lapisan masyarakat berbondong-bondong pergi ke makam umum Desa Jetak, mengenakan baju adat berwarna hitam, diiringi musik khas Tengger dengan membawa kembang dan sesajen.
Terlebih dahulu, dukun pandhita dan jajaran petinggi Desa Jetak menyampaikan sambutan sebagai pembuka acara.
Acara lalu berlanjut pada tradisi menaburkan bunga kepada makam leluhur. Masing-masing masyarakat Desa Jetak menaruh sesajen dan menaburkan bunga di makam leluhur mereka.
Pada tradisi ini, juga ada rangkaian yang menarik yakni menaburkan koin receh. Dukun pandhita akan datang ke setiap warga yang ingin punya hajat. Kemudian, ia akan menghantarkan doa. Setelah selesai, beberapa warga akan bersama-sama makan dari masakan si punya hajat tersebut
Barulah, dukun pandhita akan menaburkan uang, di mana sudah ada beberapa masyarakat yang menangkap dan berebut uang tersebut.
Tradisi menaburkan uang ini dimaknai bahwa setiap orang memiliki derajat yang sama dan sebagai wujud rasa syukur.
“Menaburkan uang itu bukan artinya orang itu sangat lebih ya, hanya itu simbol. Uang ditaburkan itu, ini loh derajatnya orang itu sama, bukan kaya atau miskin,” ucap dukun pandhita.
Ia juga menyebut bahwa orang yang menaburkan dan menerima uang bisa siapa saja, tidak melihat status ekonomi mereka.
“Jadi sama-sama derajatnya manusia, ada kekurangan ada kelebihan. Karena banyaknya uang bukan gitu, sama-sama orang ini derajatnya sama, saling membutuhkan,” lanjutnya.
Dukun Pandhita juga menambahkan tradisi menaburkan uang yang hanya ada di Desa Jetak ini sebagai wujud rasa syukur.
“Itu juga rasa syukur yang pertama, yang kedua ada hal-hal yang kurang sebelum melaksanakan Karo. Barangkali ada sakit, barangkali di keluarganya kalau diberikan sembuh kemudian kalau ada seperti itu makan bersama menaburkan uang receh tersebut,” ungkapnya.
Di saat Dukun Pandhita menaburkan uang, terlihat warga beramai-ramai mendekatinya dan berebut untuk mendapatkannya.
Perasaan senang mengikuti tradisi menabur uang ini juga diungkapkan oleh Jono, panggilan akrab mantan Legen di Desa Jetak tersebut.
“Jadi seneng rasanya, kalau udah dapet koin itu berebut ngambil walaupun dapat sekeping, jadi nggak nominalnya. Kita udah beruntung sekali kalau sudah dapat, sekiranya rejeki kan ada yang ngatur tadi. Ya, kebetulan yang rejeki nomplok langsung dapat banyak,” tuturnya.
“Itu ya rasa syukur juga karena udah dikabulkan doa-doanya, jadi ya nggak harus (yang ada janji), ada sebagian yang nggak ada janji tetapi memiliki rasa syukur dengan rejeki yang udah dilimpahkannya ya bisa secara tiba-tiba ya ikut,” sambungnya.
Warga Desa Jetak pun merayakan Nyadran dengan penuh sukacita dan rasa senang.