Asal-usul Sapaan Bung yang Egaliter dan Revolusioner

Asal-usul Sapaan Bung yang Egaliter dan Revolusioner

Asal-Usul Sapaan Bung Boeng Ajo Boeng

DAFTAR ISI

Sapaan menjadi salah satu cara untuk menghormati dan mengakrabkan diri dengan orang lain. Dalam bahasa Indonesia, ada berbagai macam sapaan yang digunakan sesuai dengan konteks, budaya, dan situasi.

Kita bisa menyapa orang yang lebih tua dengan sebutan Pak, Bu, Mas, Mbak, Om, Tante, Bang, Bro dan sebagainya. Namun, ada satu sapaan yang pernah sangat populer di masa lalu, tetapi sekarang jarang terdengar lagi. Sapaan itu adalah “Bung”.

Tapi bagaimana sebenarnya asal-usul sapaan bung ini muncul, digunakan untuk apa dan kenapa sapaan ini sekarang tidak sepopuler dulu.

Bagaimanapun, ‘bung’ pernah populer sebagai panggilan orang zaman dulu. Riwayatnya yang egaliter dan revolusioner masih terasa hingga kini, tetapi tak banyak yang menggunakannya.

Asal-usul Sapaan Bung

Asal-usul Sapaan Bung yang Egaliter dan Revolusioner - 3015590836
Presidential library/public domain

Asal-usul sapaan Bung jika ditelusuri dari beberapa sumber memiliki asal kata yang mengarah ke beberapa daerah yang dianggap sebagai asal sapaan tersebut.

Asal-usul sapaan bung berasal dari Bahasa Bengkulu, yang berarti “kakak”. Sapaan ini diketahui bahwa sudah dipakai oleh para keluarga di Bengkulu sekitar tahun 1850, puluhan tahun sebelum meluas secara nasional.

Dalam bahasa Melayu Ambon, sapaan “bung” mempunyai arti “tinggi”. Sama seperti sapaan “mas” dalam Bahasa Jawa, atau “kang” dalam Bahasa Sunda.

Jika menurut Historia, asal-usul sapaan Bung diambil dari varian bahasa Betawi, “abang” yang berarti kakak laki-laki. Kata abang ini juga umum dipakai di masyarakat Jawa.

Sedangkan pasangan sapaan bung, yakni “zuz” berasal dari bahasa Belanda, yakni Zuster, untuk menyebut kawan atau teman perempuan.

Pada VOI, Sosiolog Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih, versi lain dari asal-usul sapaan bung yang mendekati makna saudara serevolusi berasal dari bahasa Jawa.

Dalam pengertian tersebut, kata “bung” secara filosofis menekankan pada aspek seorang berjiwa muda. Menurutnya, asal-usul sapaan bung berasal dari “rebung” yakni batang pohon bambu yang masih muda.

Secara filosofis dapat ditarik pada ranah perjuangan. Pada konteks perjuangan, batang pohon bambu biasa digunakan sebagai senjata untuk berperang melawan penjajah.

Sehingga dari sinilah kata “bung” dalam filosofis Jawa disematkan untuk menyebut orang (laki-laki) spesial yang penuh dengan nilai-nilai perjuangan dan berjiwa muda.

Kata “bung” sebagai sapaan atau panggilan akrab untuk seorang laki-laki. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga memiliki arti yang sama dengan “bang” atau “abang”.

Mengutip dari Wisma Bahasa, kata “bung” juga ditemukan di Tanah Melayu, khususnya di negeri Pahang, dengan arti yang sama juga.

Jika ditilik dari riwayat sapaan ini “bung” ini meluas secara nasional ketika dipopulerkan oleh Presiden pertama Indonesia, Sukarno.

Menurut Parakitri T. Simbolon di Menjadi Indonesia Sukarno sapaan bung diperkenalkan ketika terbentuknya Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 18 Desember tahun 1927.

PPPKI adalah sebuah federasi antara Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dibentuk Sukarno pada 1927 dengan partai-partai lain yang berhaluan kebangsaan.

‘Bung’ senafas dengan perjuangan bangsa Indonesia

Sukarno menggunakan sapaan Bung sebagai salah satu simbol revolusi dan nasionalisme. Asal-usul sapaan bung ini mengandung makna kesetaraan dan persaudaraan antara semua orang Indonesia yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Sapaan ini juga bisa diterjemahkan sebagai saudara.

Sukarno juga ingin menyebarkan semangat perjuangan melalui poster-poster propaganda yang dibuat oleh para seniman. Salah satunya adalah poster yang dilukis oleh Affandi dengan model pelukis Dullah, menjadi gambar seorang pria yang menggenggam bendera merah putih dan memutuskan rantai yang mengikat tangannya.

Setelah rampung menggambar, Affandi ingin menyematkan kata-kata bernas yang mewakili dan sanggup membangkitkan semangat dan gelora perjuangan.

Beruntungnya ia bertemu penyair Chairil Anwar, dan tanpa basa-basi Soedjono seorang pelukis bertanya kira-kira kata apa yang cocok untuk lukisan affandi. Lalu poster ini akhirnya diberi kata-kata oleh Chairil Anwar: “Boeng, Ajo Boeng!”.

Kata-kata ini diambil dari para wanita tuna susila di Senen yang menawarkan jasa mereka. Kata Hasan Aspahani dalam buku Chairil (2017) kata itu didengar oleh Chairil dari rayuan para pelacur di Jakarta.

Sapaan ‘Bung’ kemudian menjadi sangat populer di kalangan para pejuang kemerdekaan dan rakyat Indonesia. Sejumlah tokoh nasional juga disapa dengan Bung, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Tomo, dan lain-lain.

Hal ini kemudian mewakili semangat egaliter sapaan ‘Bung’. Ia meruntuhkan kelas sosial, pangkat, dan jabatan. Bahkan, seorang petani bisa menyapa Sukarno yang saat itu menjabat sebagai Presiden Indonesia dengan sebutan ‘Bung Karno’.

Dalam Revolusi Prancis ada kata sapaan “warganegara” (citizen), dan dalam Revolusi Rusia ada sapaan “kamerad”. George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, sapaan ‘bung’ setara dengan itu.

Kenapa sapaan ‘Bung’ tak lagi populer?

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sapaan Bung masih sering digunakan oleh para pemimpin dan rakyat. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan politik, sosial, dan budaya, sapaan Bung mulai berkurang penggunaannya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan sapaan Bung tak populer lagi.

Semangat revolusi pudar, sapaan pengganti ‘Bung’ justru tak egaliter

Pertama, adanya pergeseran nilai-nilai revolusi dan nasionalisme yang diwakili oleh sapaan Bung.

Setelah kemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan dan masalah baru, seperti pembangunan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan keamanan. Hal ini membuat fokus dan prioritas bangsa bergeser dari perjuangan kemerdekaan ke pembangunan nasional.

Melansir dari Historia, setelah revolusi selesai, sapaan “bung” memudar, pidato kebudayaan Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977, menyatakan keprihatinannya akan sapaan bung yang dianggap tak cukup hormat lagi untuk menyapa penguasa-penguasa saat itu.

Budayawan Ajib Rosidi dalam Badak Sunda dan Harimau Sunda: Kegagalan Pelajaran Bahasa (2011) menulis di dalamnya bahwa sapaan bung mulai berkurang penggunaannya setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada akhir 1949, diganti dengan sapaan “bapak” atau “saudara”.

Menurutnya, secara tak langsung juga, Sukarno yang pada awalnya mempopulerkan sapaan ini justru pada akhirnya ikut pula menyingkirkannya. Ajip menulis kalau Presiden Sukarno minta disebut “yang mulia” atau bahkan “paduka”.

Dari situlah timbul jarak antara rakyat dengan para pejabat. Para pejabat menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai bapak yang kedudukannya dapat dibandingkan dengan ayah dalam keluarga, yang punya wibawa dengan segala perkataannya harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat, tulis Ajip.

Dalam buku lainnya, Ibu Haji Belum ke Mekah: Bahasa dan Perilaku Bangsa (2012) Ajip menulis, setelah kita hidup sebagai bangsa yang berpemerintahan, maka semangat feodalisme tumbuh lagi, sehingga muncul penggunaan “bapak” dan “ibu”, bahkan “paduka” dan “yang mulia”.

Sejalan dengan pernyataan Ajip, Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya tadi, berkata “Menegur atasan dengan ‘bung’ tiba-tiba kini kurang sopan. Harus memakai bapak, meskipun sang atasan baru berumur dua puluhan tahun, dan bawahan sudah berumur 60 tahun. Sehingga atasan bersikap ideological, patronizing, dan authoritarian ke bawah”.

Pengaruh luar

Alasan kedua, adanya pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia melalui media massa, pendidikan, dan globalisasi.

Dalam film Benyamin Jatuh Cinta (1976), juga turut mempopulerkan kata bung. Benyamin S sebagai Sabeni dalam adegan menolong kakak beradik Grace dan Yuni, yang ban mobilnya sedang bocor, disapa bung.

Grace berkata “Bapak ini masik muda ya, kenapa kita panggil bapak. Kita panggil ‘bung’ boleh engga?”

Disahut oleh Sabeni “Oh boleh aja. Bang, bung, ya sama lah”

Bahkan ada film yang berjudul Bung Kecil, yang diproduksi tahun 1978. Akan tetapi film karya Sophan Sophiaan itu harus tertahan 5 tahun du Badan Sensor Film (BSF) dan dinyatakan lolos sensor pada tahun 1983.

Film itu menceritakan seorang anak muda bernama Hary Notokeosoemo yang kembali dari Amerika Serikat karena selesai menuntut ilmu di sana, yang sekembalinya ia menginginkan pembaruan melawan sisa-sisa feodalisme di lingkungannya.

Pengaruh sapaan “bung” mulai pudar seiring waktu, khususnya pada masa Orde Baru, karena penguasa zaman itu lebih akrab dipangil ‘Pak’.

Selain itu masuknya budaya asing membawa cara-cara baru dalam berkomunikasi dan bersosialisasi yang berbeda dengan budaya lokal. Misalnya, penggunaan bahasa Inggris atau bahasa daerah lain dalam menyapa orang-orang. Hal ini membuat sapaan “bung” menjadi kurang relevan dan sesuai dengan konteks zaman.

Perubahan struktur sosial

Lalu alasan yang ketiga, karena adanya perubahan struktur sosial dan politik yang menimbulkan kelas-kelas baru dalam masyarakat. Sapaan Bung yang egaliter dan meruntuhkan kelas-kelas sosial menjadi kurang cocok dengan realitas sosial yang ada.

Orang-orang mulai menggunakan sapaan yang lebih menghormati dan mengakui status, jabatan, atau profesi orang lain. Misalnya, Pak, Bu, Dokter, Profesor, Bapak Presiden, dan sebagainya.

Itu tadi adalah asal-usul sapaan bung dan bagaimana sapaan ini tidak lagi sepopuler dulu. Bung karno yang pada awalnya ditunjuk sebagai orang yang mempopulerkan sapaan ini justru pada akhirnya ikut sebagai orang yang juga menyingkirkannya.

Semoga artikel ini dapat membantumu dalam memahami asal-usul sapaan bung dan bagaimana jadi tidak sepopuler dulu.

Ada agenda mempopulerkannya lagi? Sodik izin bergabung, ya, Bung dan Zuz sekalian!

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel