Sediksi – Beberapa negara mulai mengurangi penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat dalam transaksi internasional. Keputusan yang dikenal dengan istilah dedolarisasi ini dilakukan negara-negara untuk mengantisipasi krisis global yang mungkin muncul seiring sanksi ekonomi Amerika Serikat kepada Rusia sejak 2022 lalu.
Amerika Serikat bersama negara-negara Eropa memutuskan untuk menghapus Rusia dari Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Mengutip Katadata, keputusan tersebut membuat Rusia tidak bisa mendapatkan dolar Amerika Serikat, sehingga Rusia kesulitan untuk melakukan transaksi perdagangan internasional.
Rusia sebagai salah satu penggagas blok ekonomi multilateral BRICS, mendorong negara-negara berkembang, terutama anggota BRICS untuk menggunakan mata uang lokal sebagai alat tukar perdagangan internasional. Momentum ini lantas diikuti sebagian besar negara di dunia untuk lepas dari dominasi dolar Amerika Serikat.
Dedolarisasi mulai dilakukan negara-negara anggota BRICS seperti Rusia, Brazil, China, India, dan Afrika Selatan. Selain negara-negara anggota BRICS, langkah dedolarisasi juga diambil negara-negara di Asia Tenggara untuk memperkuat kepercayaan internasional terhadap mata uang lokal.
Beberapa negara ASEAN yang sudah mulai dedolarisasi diantaranya Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Indonesia juga mulai menggunakan rupiah untuk transaksi perdagangan bilateral dengan beberapa negara di Asia seperti Jepang, China, dan Korea Selatan.
Dedolarisasi Indonesia gunakan LCS
Mengutip laman resmi Bank Indonesia, pemerintah menggunakan mekanisme Local Currency Settlement (LCS). LCS yaitu istilah untuk menyebut bentuk kerja sama pembayaran menggunakan mata uang lokal masing-masing negara dalam transaksi bilateral.
Mata uang yang digunakan dalam LCS menyesuaikan tempat transaksi perdagangan tersebut disepakati. Sebagai gambaran, jika Indonesia melakukan perdagangan bilateral dengan Thailand dan transaksi disepakati di Indonesia, maka transaksi akan menggunakan rupiah. Tetapi, jika kedua negara sepakat menggunakan baht untuk transaksi maka penyelesaian perdagangan dilakukan di Thailand.
Sebagai fasilitator transaksi perdagangan bilateral, masing-masing negara memiliki Appointed Cross Currency Dealer (ACCD). ACCD merupakan bank yang telah ditunjuk oleh kedua negara yang terlibat dalam transaksi perdagangan bilateral dengan menggunakan LCS.
ACCD ditunjuk oleh masing-masing bank sentral negara terkait yang menggunakan LCS. Dengan mekanisme ini, negara-negara tidak lagi menggunakan dolar Amerika Serikat untuk transaksi perdagangan bilateral.
Indonesia sendiri sudah mulai melakukan dedolarisasi sejak tahun 2018. Upaya tersebut terus dilanjutkan dengan menguatkan mekanisme LCS melalui Perturan Bank Indonesia No 22/12/PBI/2020 tentang Penyelesaian Transaksi Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal Melalui Bank.
Bank Indonesia menyampaikan bahwa LCS dilatarbelakangi tingginya dominasi dolar Amerika Serikat dalam pasar keuangan domestik masih tinggi. Hal itu menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi lebih rentan.
LCS diharapkan mampu membuat nilai tukar rupiah menjadi lebih stabil, mendorong perbaikan ekonomi domestik, dan mendorong rupiah masuk ke pasar keuangan yang lebih luas. Lebih jauh, dedolarisasi diharapkan bisa mengurangi efek krisis global terhadap perekonomian Indonesia.
Menurut Kepala Riset Monex Investindo Ariston Tjendra, dikutip dari Republika, efek dedolarisasi masih belum bisa dirasakan maksimal saat ini. Saat ini dolar masih mendominasi perdagangan global dan menjadi cadangan devisa mayoritas negara di dunia.
Efek dolarisasi baru akan terasa setelah negara-negara secara bersama-sama mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat.
Warisan sistem Bretton Woods
Dolar Amerika Serikat mendapat tempat sebagai mata uang global menggantikan emas yang jumlahnya semakin terbatas sebagai nilai tukar tunggal. Sistem Bretton Woods menjadikan Amerika Serikat sebagai pemain penting perdagangan global, meskipun Amerika Serikat gagal mempertahankan nilai tukar dolar terhadap emas.
Sejauh ini kerja sama ekonomi multilateral masih menggunakan dolar Amerika Serikat. Masih belum ada pengganti yang cocok untuk menunjang transaksi perdagangan multinasional.
Kelompok ekonomi BRICS sejauh ini sangat berambisi untuk memiliki mata uang bersama yang bisa mengganti dominasi dolar Amerika Serikat. Rencana tersebut disebut-sebut ikut menjadi pembahasan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara BRICS di Afrika Selatan bulan Agustus ini.
Beberapa pihak menilai upaya BRICS tersebut belum akan terwujud dalam waktu dekat. Sebab beberapa tahun terakhir, negara anggota BRICS ikut terimbas krisis finansial akibat harga minyak yang jatuh di tahun 2014, efek perlambatan ekonomi karena pandemi Covid-19, dan perang antara Rusia-Ukraina.