Sediksi.com – Pemerintah Bali berencana akan membangun transportasi Lintas Rata Terpadu (LRT) di bawah tanah atau underground.
Sebagai moda transportasi baru, LRT Bali itu diharapkan mampu mengurangi kemacetan juga menjadi sarana untuk mempersingkat waktu tempat dari atau ke Bandara Ngurah Rai.
Terkait mengapa LRT Bali bakal dibangun di bawah tanah, selengkapnya simak alasannya berikut ini.
Alasan LRT Bali Bakal Dibangun di Bawah Tanah
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Ervan Maksum menyebut ada banyak aturan pembangunan di Pulau Bali.
Salah satu aturan itu, berupa bangunan di Bali tidak boleh tinggi daripada pohon kelapa. Alasan lainnya LRT Bali bakal dibangun di bawah tanah juga tidak boleh menggusur pura.
“Kalau mau pelebaran jalan, di sana banyak pura, Jadi bagaimana caranya? Harus ke bawah satu-satunya cara,” ujarnya saat menjadi pembicara di Diskusi Green Finance Pustral UGM yang dikutip pada Senin, (25/9).
Adapun untuk tahap awal pembangunan proyek LRT Bali ini akan dimulai menghubungkan Bandara I Gusti Ngurah Rai dengan Extended Terminal dan area parkir Kuta Central Park. Di mana lintasannya sepanjang 5,3 kilometer.
Lengkapnya, rencana rute LRT Bali ini dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali ke sentral parkir Kuta menuju Seminyak dan Canggu. Wilayah luar Badung, yakni Sanur, Ubud, dan Klungkung juga akan dilintasi oleh LRT Bali.
Sebenarnya, Sekda Badung I Wayan Adi Arnawa pernah menyebut beberapa bulan lalu terkait keyakinannya bahwa LRT Bali akan menjadi solusi dalam mengatasi kemacetan di wilayah Kuta dan Badung Selatan.
Baginya, pembangunan LRT juga akan menjadi awalan baik bagi masyarakat untuk berpindah dari transportasi pribadi ke transportasi publik.
Pembangunan LRT Bali juga disebut akan mendukung pariwisata yang sustainable. Hal ini karena di Bali seperti Kuta dan Badung Selatan menjadi kawasan pariwisata yang mulai dikenal dengan jalanan macet.
Butuh Anggaran yang Besar
Pembiayaan LRT Bali akan menelan biaya yang cukup besar. Hal ini dikarenakan LRT Bali yang dibangun di bawah tanah membuat anggarannya tiga kali lipat dari pembangunan normal.
Ervan mengatakan biaya investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan LRT Bali ini USD 596,28 juta atau sekitar Rp9,10 triliun (dengan kurs Rp15.370).
Secara detail, Ervan memaparkan besarnya anggaran tersebut. Katanya, dalam jarak 4,9 kilometer jalur LRT bawah tanah bisa menelan biaya Rp5 triliun.
Besarnya anggaran itu, menurut Ervan harus diikuti keterlibatan beberapa pihak dan tidak bisa hanya mengandalkan stand alone dari Dirjen Kereta Api.
Baginya, pemerintah daerah perlu membuat Special Purpose Vehicle (SPV) antara PT Angkasa Pura I dan BUMD sebagai implementing agency.
Juga pembangunan bisa memanfaatkan pinjaman lunak dari pemerintah daerah. Pemerintah juga akan memiliki ide untuk menerapkan Transit Oriented Development (TOD)yakni sewa, parkir, dan iklan dari bandara.
Sehingga, menurut Ervan pendapatan bisa juga didapatkan dari PSC dan TOD untuk pengembalian pinjaman.
LRT Bali Jadi Proyek Keempat di Indonesia
Dengan dibangunnya LRT Bali, maka proyek ini akan menjadi moda LRT keempat di Indonesia.
Sebagai informasi, di Indonesia sudah ada tiga proyek LRT yang sudah dibangun. LRT tersebut yakni LRT Palembang, LRT Jakarta, dan LRT Jabodebek.
LRT Palembang dan LRT Jakarta pertama kali beroperasi bersamaan di tahun 2018 dalam menyambut Asian Games. Sementara, LRT Jabodebek diresmikan pada 28 Agustus 2023 lalu.
Ketiga LRT tersebut dibangun dengan sistem lintasan elevated atau jalur rel layang. Sementara, LRT Bali akan menjadi yang pertama dibangun di bawah tanah.
Ketiga LRT itu juga menelan biaya yang berbeda mengingat panjang lintasannya juga berbeda.
LRT Palembang dibangun dengan panjang lintasan sekitar 23 kilometer yang menelan biaya Rp10.9 triliun atau biaya per kilometernya sekitar Rp473,9 miliar.
Adapun LRT Jakarta yang panjangnya 5,8 kilometer dibangun dengan anggaran sebesar Rp6,8 triliun atau per kilometernya sekitar Rp1,17 triliun.
Sementara, LRT Jabodebek yang panjang lintasannya 42,1 kilometer menghabiskan anggaran investasi mencapai Rp32,6 triliun. Dengan rata-rata biaya per kilometernya sekitar Rp774,3 miliar.