Di sela-sela euforia keberhasilan Rio tembus F1 yang diberitakan semua media, saya cukup tertarik membaca running text di salah satu stasiun televisi swasta. Di kalimat yang berjalan itu tertulis, “Many Pacquaio diputus kontrak oleh Nike”. Sebagai Apparel pendukung utama Pacman, pemutusan kontrak ditengarahi karena pernyataan yang dilontarkan Pacman tentang isu LGBT saat diwawancara stasiun Televisi Lokal Filipina.
Beberapa hari akun sosial media saya juga sedang ramai notifikasi, awalnya saya cukup senang karena biasanya ponsel saya cenderung sepi. Namun ketika saya telah bersemangat membuka satu-persatu, kebanyakan isinya adalah pesan berantai, entah ajakan untuk aksi menolak berantas elgibiti, atau nasehat” untuk lebih plural dan humanis sebagai manusia terhadap insan yang lainnya, malah ada juga yang nyebar link tentang hal-hal yang bersangkutan dengan semacam itu seperti, 10 Perusahaan besar dunia yang mendukung LGBT, 10 aktor ganteng dunia yang ternyata berorientasi pada hubungan sejenis.
Namun jika anda ingin mencari info secara komprehensif, anda tak akan menemukannya di tulisan ini. ada baiknya anda lebih rajin menyimak setiap pemberitaan di segala bentuk media. Karena media kita rupanya sudah mulai bisa move on dari kasus kopi sianida, karena sekarang sudah punya garapan baru yang lebih hot. Ya, mulai dari rame-rame kalijodoh, tim menor mencari bakat, atau yang terbaru tentang si Saipool yang jadi tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur. Selain itu memang fenomena LGBT yang merebak kembali tak luput jadi sasaran tembak media.
Seperti kemarin tentang beberapa media yang memberitakan pandangan dan pernyataan sikap dari majelis-majelis Agama terhadap isu LGBT, dimana intinya sih mereka menolak segala bentuk propaganda LGBT, namun tetap menghargai hak-hak perseorangan untuk dilindungi keamanannya sebagai warga negara. Bukan hanya itu bahkan dari dalam parlemen yang diwakili Komisi VIII, mengaku siap jika diminta pemrintah untuk menggarap usulan UU yang mengatur khusus tentang LGBT, meskipun akhirnya toh tidak jadi karena hal itu dianggap menyangkut urusan hal sensitif dan paling pribadi.
Hmmm, entah kenapa bagi saya mahasiswa lugu yang sedang berjuang meneliti hubungan absurd kedelai dan hama yang menyakitinya, hal ini terkesan seperti sebuah hal terencana dan tersistematis (wiiidih). Loh bukannya apa, kalo bicara tentang sebuah cinta dan perasaan hal semacam ini sudah ada sejak jaman dulu kala, sejak jaman Sodom dan Gomorah masih menjadi sebuah kecamatan yang bertetangga, sejak Sam Darwin juga sibuk menjodoh-jodohkan antara jerapah dan lumba-lumba, atau juga pada saat Cak Mendel serius melihat sebuah pewarisan sifat keturan dari biji kacang-kacangan.
Nah dengan segala hal perkiraan saya (yang telalu banyak nonton Digimon), saya kok jadi jadi curiga jikalau hal seputar LGBT yang kembali marak diangkat di tengah kehidupan masyarakat adalah, bentuk setting untuk sebuah agenda besar pada kondisi dunia. Yah, jika dibahasakan dalam bentuk yang cenderung lebih misterius adalah semacam bentuk Koensispasi atau Elumienasi.
Terlepas dari bentuk apapun motif mencuatnya kembali isu LGBT, saya termasuk orang yang menyikapi isu ini dengan biasa saja. Seperti sepotong lirik dari Efek Rumah Kaca, “Jatuh cinta itu biasa saja”, menyikapi LGBT pun hendaknya juga seperti itu. Bagi golongan laki-laki single bersertifikat (jomblo), hendaknya merasa senang, terhadap keberadaan golongan LGBT. Karena hal ini sedikit banyak akan mengurangi saingan pria tampan dalam peta persaingan mendapatkan wanita idaman. Namun kadang kita juga merasa sedih ketika harus mendengar ucapan yang sering dilontarkan wanita jika ” Semua laki-laki itu sama saja”.
Pada hakikatnya, pemilihan bentuk sikap memang kembali pada setiap individu atau kelompok. Namun sangat disayangkan jika dalam tataran masyarakat dan ranah pendidikan, banyak kampus yang justru cenderung memilih bersikap paranoid terhadap segala bentuk hal dan kegiatan yang mengangkat isu seputar LGBT. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu atas pelarangan diskusi yang dilakukan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Gema Keadilan FH Undip, juga yang terjadi di kampus Brawijaya FGD yang akan diselenggarakan oleh BEM FISIP akhirnya tidak berlangsung karena ijin acaranya tidak keluar.
Ya selama ini pengelompokan sikap pro dan kontra hanya dilihat dari sudut pandang bentuk aksi. Aksi heroik turun ke jalan berteriak lantang dengan spanduk dan megaphone adalah representasi golongan yang kontra dan diadakan ruang diskusi mengkaji sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang adalah bentuk cerminan dari golongan yang pro. Yah kan jadinya ngeri seperti sebuah peribahasa “karena tinta printer sebotol rusak skripsi se bendel”. Apapun itu seharusnya semua pihak saling bersikap dewasa, menjaga diri dan saling menguatkan. Jangan hanya karena sifat paranoid bisa jadi segala hal yang beratribut mencurigakan bisa langsung kena cekal. Kan jadi lucu jika suatu saat ada judul berita “Karena dianggap membawa paham menyimpang lagu Pelangi-Pelangi dicekal dan tidak boleh dinyanyikan”.
Maka dari itu melalui tulisan singkat ini, penulis berpesan kepada diri penulis sendiri, dan kepada para pembaca yang budiman, agar kita selalu mampu bersikap bijak dan tidak saling menganiaya. Dan janganlah kita suka menganiaya kawan kita yang dalam kondisi berbeda. Karena menurut sebuah ungkapan lama, Doa orang yang teraniaya biasanya dikabulkan. Dan hal yang saya takutkan ketika menulis tulisan ini, saya didoakan mereka yang berbeda dan merasa teraniaya untuk suka dan menaruh perasaan sama mereka. Awww Maaf, Aku bukan lawan jenismuu!