Saya tersenyum kecut ketika ada orang yang meromantisasi Jalan Dhoho sebagai Malioboro-nya Kota Kediri, peh ora iso ngono! Alasannya sih, Jalan Dhoho dibuat mirip sama Malioboro Yogyakarta, tapi buat apa sih?
Kalau kamu gak tahu Jalan Dhoho, nih kukasih paham. Jalan Dhoho merupakan kawasan pertokoan yang terletak di pusat kota. Ia dekat dengan Kantor Walikota, dekat dengan stasiun, dekat dengan alun-alun, dekat dengan Pecinan, serta fasilitas publik lainnya. Melihat pemandangan seperti itu, bayangan sebagian orang akan merujuk pada Malioboro.
Persamaan selanjutnya, baik Jalan Dhoho maupun Malioboro sama-sama pusat pertokoan di masing-masing daerahnya, bahkan sejak zaman kolonial. Sebagai dampaknya pusat perekonomian sejak kolonial, baik Jalan Dhoho maupun Malioboro, sama-sama kaya akan bangunan-bangunan lama yang berjejer di kawasan tersebut.
Dari persamaan-persamaan tersebut, barangkali, membuat Jalan Dhoho digaungkan sebagai Malioboro-nya Kediri. Tapi bentar, emang seharus itukah Jalan Dhoho diromantisasi layaknya Malioboro? Emang selayak apa Jalan Dhoho untuk bisa bersanding sejajar dengan Malioboro?
Saya tidak tahu sejak kapan angapan-anggapan itu ada. Namun barangkali saya boleh berpendapat, ada beberapa hal yang menjadikan selamanya Jalan Dhoho tidak akan menjadi seperti Malioboro. Pokoknya menyamakan Jalan Dhoho dengan dengan Jalan Malioboro udah aneh sih!
Baca Juga: Mengintip Manusia Sarkem dari Dekat
Opone Malioboro, Isinya Cuman Bangunan Tua Tak Terurus
Sebagai kawasan pertokoan sejak zaman Hindia Belanda, tak kaget jika bangunan-bangunan lama berjejer di kawasan Jalan Dhoho. Sebagian bangunan tersebut sudah direnovasi dan menjadi mall, sebagian lainnya masih terjaga bentuknya sejak dibangun.
Namun ironisnya, justru yang masih terjaga bentuknya malah yang tidak terawat dan terbengkalai karena tidak berpenghuni. Kayaknya bangunan-bangunan bersejarah ini luput dari pandangan pemerintah, deh. Bangunan-bangunan lama yang harusnya memberikan kesan haritage pada kawasan Jalan Dhoho justru memberikan kesan angker nan serem karena terbengkalai.
Bahkan, jika kita memasuki Jalan Dhoho, kita akan disambut oleh bangunan empat lantai yang terbengkalai. Gedung itu konon akan dijadikan sebuah mall, tapi entah, beberapa youtuber justru menggunakannya sebagai konten uji nyali.
Jadi, masihkah bisa dikatakan Jalan Dhoho romantis? Mistis, iya.
Infrastruktur Jalan yang Gitu, Deh!
Kemudian perihal jalan, trotoar Jalan Dhoho tidak romantis. Trotoar Jalan Dhoho hanya berukuran sekitar 1-2 meter, hanya cukup digunakan berjalan untuk dua orang. Untuk menyalip pejalan kaki pun kadang agak susah. Belum lagi jika ada PKL. Salah satu yang membuat Malioboro romantis adalah trotarnya yang lebar untuk beberapa orang, bahkan terdapat kursi-kursi di sepanjang trotoar. Apakah Jalan Dhoho bisa seperti itu?
Mungkin bisa, jika trotoar diperlebar. Namun jika diperlebar ke luar, maka hanya akan mempersempit jalan raya. Karena parkir kendaraan berada di ruas kiri juga menguras luas jalan raya. Dengan jalan yang steril untuk dua mobil, kadang lalu lintas di Jalan Dhoho padat dan macet. Mana bisa kita meromantisasi Jalan Dhoho dalam keadaan macet, cobak.
Kemudian jika memperlebar trotoar ke dalam, maka akan memotong bagian depan bangunan-bangunan di sisi kiri dan kanan jalan. Padahal justru bangunan-bangunan itulah yang membuat Jalan Dhoho diglorifikasi sebagai Malioboro-nya Kediri.
Dengan posisi dilematis ini, emang boleh Jalan Dhoho diromantisasi sebagai Malioboro-nya Kediri?
Mencari Daya Tarik Jalan Dhoho Bak Malioboro, Belum Nemu!
Bukan hanya itu saja, problem berikutnya adalah wisatawan. Jika menjadikan Jalan Dhoho layaknya Malioboro, tentunya harus tahu, akan di-kemana-kan wisatawan-wisatawan dari luar kota. Masalahnya adalah tidak ada parkiran yang luas di Jalan Dhoho. Jika ingin menggaet wisatawan manca, seharusnya Jalan Dhoho memiliki parkiran tersendiri, bukan di sepanjang jalannya.
Kemudian, apa produk khas dari Kediri yang bisa ditawarkan di Jalan Dhoho. Sejauh ini, toko-toko di Jalan Dhoho masih menjual barang-barang yang umum, bukan yang dengan ‘identitas Kediri-an’. Justru tahu kuning yang oleh-oleh khas Kediri malah berada di Jalan Yos Sudarso.
Memang sih, masih satu kawasan dengan Jalan Dhoho, tetapi Jalan Yos Sudarso terkesan jauh dari Jalan Dhoho apabila jalan kaki. Yang membuatnya jauh adalah adanya bangunan kosong dan tutup di sepanjang Jalan Dhoho menuju Jalan Yos Sudarso. Apalagi jika malam hari, dengan minimnya penerangan membuat orang malas berjalan kaki.
Baca Juga: Mencari Jodoh di Kampung Inggris Pare
Namun terlalu nanggung jika menggunakan kendaraan besar. Wisatawan biasanya lebih tertarik langsung mengunjungi Jalan Yos Sudarso untuk membeli oleh-oleh daripada ke Jalan Dhoho. Di lain sisi, pertokoan di Jalan Dhoho memang pasarnya adalah kebutuhan masyarakat Kediri sendiri. Sehingga tidak ada yang bisa dijual untuk wisatawan manca.
Problem-problem lain mungkin ada, seperti kabel listrik yang berjubel di sisi kanan jalan, menutupi keindahan bangunan-bangunan Jalan Dhoho. Atau mungkin fasilitas toilet umum. Tentunya itu merupakan PR pemerintah, ya, hehehe.
Setelah kita berkeliling Jalan Dhoho, masihkah kita tetap akan meromantisasi jalan Dhoho sebagai Malioboro-nya Kediri. Saya menangkap agaknya itu masih jauh dari harapan. Jalan Dhoho selamanya tidak akan bisa menyaingi Malioboro.
Jika dipikir-pikir, selama ini siapa yang memutar roda perekonomian Jalan Dhoho: adalah masyarakat Kediri sendiri. Jarang ditemui, orang jauh-jauh dari luar kota untuk menikmati pemandangan Jalan Dhoho. Untuk kuliner pecel, mungkin masih oke.
Biarkan Jalan Dhoho sebagaimana adanya, di luar catatan tetap membenahi hal-hal yang memang harus dibenahi. Siapa pun boleh ke situ, tapi jangan berharap ia seperti Malioboro. Justru karakter Jalan Dhoho nampak ketika ia menjadi dirinya sendiri.
Tapi jangan lupa infrastrukturnya diperhatikan, juga! Apa harus kirim surat ke pemerintahan Kediri? Hmm, ide yang menarik!