Mahasiswa tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai pihak yang pernah berhasil membebaskan bangsa ini dari cengkeraman rezim orde baru. Waktu itu, gerakan mahasiswa dalam melawan pemerintah terorganisir melalui organisasi mahasiswa.
Meskipun antara era reformasi dengan orde baru masih menjadi perdebatan mana yang lebih baik untuk masyarakat Indonesia, namun kita semua sepakat bahwa suara mahasiswa waktu itu didengarkan dan diperhitungkan oleh penguasa.
Pada era tersebut, mahasiswa yang melabuhkan dirinya dalam dunia aktivis tidak sedikit yang nunggak kuliah. Bahkan, tidak jarang dari mereka keluar dari kampus tanpa membawa gelar sarjana. Sebab bagi mahasiswa tersebut, belajar di kampus seakan sampingan belaka.
Sedangkan terjun ke lapangan dalam mengawal aspirasi masyarakat maupun melakukan kaderisasi untuk menjaga gerakannya agar tetap dilanjutkan oleh generasi selanjutnya dianggap sebagai tugas mulia. Maka tidak heran, apabila diskusi dan aksi turun jalan lebih banyak diminati.
Namun, perubahan dan perkembangan yang terjadi begitu cepat turut menggeser cara berpikir mahasiswa terhadap dunia aktivis. Hari ini, aktivisme mahasiswa menjelma barang kuno yang tidak menarik atau bahkan cenderung menakutkan.
Buktinya? Telihat pada sedikit mahasiswa yang tertarik untuk berorganisasi. Baik organisasi internal maupun eksternal kampus seperti era sebelumnya.
Ada beberapa spekulasi yang beredar tentang sebab semua ini. Pertama, sebab eksternal. Yakni, sebab yang datangnya dari luar kalangan mahasiswa dan organisasi mahasiswa (Ormawa). Hal itu bisa berupa kebijakan-kebijakan kampus yang membatasi mahasiswanya beraktivitas di luar kampus.
Kedua, sebab internal. Yaitu permasalahan yang timbul dari dalam kelompok mahasiswa dan ormawa itu sendiri. Menurut kacamata saya, ada beberapa hal dalam sebab internal ini.
Baca Juga: Ketika Jurnal Ilmiah Menjadi Ladang Bisnis
Kaderisasi Kuno dan Tidak Relevan
Ormawa butuh generasi penerus untuk memastikan bahwa roda organisasi akan terus berputar dan tujuan-tujuan jangka panjangnya bisa tercapai. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka ormawa harus memiliki kader yang dididik, digodok, dan diolah melalui agenda kaderisasi organisasi.
Pelaksanaan kaderisasi dalam tubuh ormawa bisa berupa pengenalan sejarah berdiri, tujuan berdiri, cara mencapai tujuan bersama, dan hal-hal yang berkaitan dengan organisasi termasuk ideologi organisasi. Pelaksanaan kaderisasi semacam ini mudah ditemukan dalam berbagai bentuk ormawa yang ada.
Berhubung organisasi hanya akan diikuti oleh mereka yang tertarik, maka selayaknya teknik marketing yang diterapkan harus sesuai dengam kecenderungan mahasiswa hari ini sebagai target yang diharapkan tertarik bergabung dengan ormawa bersangkutan.
Mahasiswa hari ini cenderung memilih sesuatu yang bisa mengasah skill daripada mengasah pemahaman tentang gerakan atau ideologi dalam berbangsa dan bernegara. Buktinya, ruang diskusi tampak lebih sepi dari pada kegiatan pelatihan tentang profesi tertentu.
Baca Juga: Ketika Gen Z Jadi Bahan Bully Generasi Sepuh
Selain itu, polarisasi masyarakat yang sangat tajam pada pemilu 2019 lalu membuat masyarakat merasa jenuh dengan keadaan bangsa yang saling menjatuhkan satu sama lain. Masalahnya, pertarungan antar kelompok sangat mudah sekali ditemukan di antara ormawa atau bahkan dalam satu ormawa itu sendiri.
Misalnya, dalam agenda open recruitment (oprec), selain menghias organisasinya dengan pujian agar tampak menarik, tidak sedikit oknum yang melengkapi siaran iklannya dengan mencaci organisasi lain.
Tidak berhenti di situ, tindak lanjut dari open recruitment yang telah dilaksanakan di muka terkadang diwarnai dengan keambiguan. Para penggerak ormawa tidak tahu mau dibawa ke mana para anggota yang berhasil mereka jaring.
Sehingga, ormawa hanya diisi dengan kegiatan seremonial belaka untuk meramaikan suasana meskipun tidak sesuai kebutuhan para anggota.
Maka dari itu, sebaiknya para aktivis mahasiswa tidak terjebak pada agenda open recruitment yang dilanjut dengan ideologisasi saja. Sebisa mungkin, sediakan tempat berproses bagi anggotanya untuk melatih skill mereka. Sebab, inilah yang sebenarnya mahasiswa butuhkan.
Intervensi Senior
Ormawa yang sifatnya kaderisasi meniscayakan adanya senior dan junior. Ini sangat gampang sekali ditemukan dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus. Hal demikian tidaklah buruk selagi senior mengarahkan junior-juniornya meniti jalan proses yang ideal.
Namun nyatanya, wajah pola interaksi senior-junior dalam ormawa tidak jarang melahirkan relasi yang toxic. Bagaimana tidak? Sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu senior menekan juniornya supaya melakukan sesuatu sesuai kepentingan senior, bukan organisasi atau anggota organisasinya. Bahkan ada yang mengorbankan kepentingan organisasi untuk kepentingan senior tadi.
Biasanya, pola-pola komunikasi seperti di atas mudah ditemukan dalam momen-momen pesta demokrasi. Senior akan datang atau memanggil juniornya supaya bisa mendongkrak kepentingannya. Ia tidak mau tau apakah yang ia lakukan bisa berdampak positif atau tidak terhadap organisasi.
Terjebak Politik Praktis
Menjadi aktivis di masa-masa kuliah seakan mengharuskan melek pada isu-isu sosial dan politik. Tidak berhenti di situ, terkadang juga menyemplungkan dirinya dalam agenda-agenda politik praktis itu sendiri.
Apabila kita sepakat tentang pernyataan bahwa kampus merupakan miniatur negara, maka partai politik dalam negara tersebut digambarkan oleh ormawa. Layaknya partai politik, ormawa melaksanakan perekrutan dan kaderisasi berjenjang yang pada akhirnya para kader organisasi ditempatkan di posisi-posisi strategis dalam organisasi mahasiswa internal kampus.
Hal ini sebenarnya sah-sah saja, namun lagi-lagi kemudian menjadi negatif ketika ormawa mulai terjebak dalam persoalan tersebut. Diskusi ilmiah-akademis pada akhirnya akan punah ketika mahasiswa sibuk berebut jabatan.
Yang paling ditakutkan ketika nafsu berkuasa tidak seimbang dengan kemampuan untuk mengisi jabatan yang dituju, maka yang ada dalam ormawa pasca perekrutan hanyalah eksploitasi suara anggota melalui sayap organisasi yang dijadikan kendaraan oleh pihak tertentu dalam berkompetisi.
Itulah alasan yang membuat mahasiswa malas mengikat dirinya dengan ormawa. Dan membuat ormawa tidak menarik lagi.
Tersebut menjadi PR bagi senior-senior ormawa. Banyak yang harus disiapkan untuk menjaring kader. Bukan hanya selebrasi dan serangkaian diklat formalitas yang tidak tahu apa faedahnya itu!
Baca Juga: Sepak Bola Masih Hipokrit Soal Kemanusiaan