Kedai Hamur Mbah Ndut Kayutangan dengan bangga memasang angka ‘1923’ setelah nama kedai di sudut sebuah papan. Sudah 100 tahun rumah klasik itu berdiri, dan beberapa kali beralih fungsi, dari hunian ke toko sembako hingga sejak beberapa tahun belakangan jadi tempat ngopi.
Kawasan Kayutangan sedang bersolek sejak beberapa tahun belakangan seturut proyek besar pemerintah. Kawasan ini dibayangkan seperti Malioboro, tetapi dengan kearifan lokal.
Pembangunan ini juga jadi momen yang bagus untuk membuka usaha. Kedai kopi maupun coffee shop bermunculan di sepanjang tepian jalan utama kawasan pertokoan Kayutangan. Hamur Mbah Ndut berbeda. Ia tak berada di tepian jalan utama. Kedai ini justru terletak di dalam gang permukiman Kayutangan.
Bagi wisatawan, menemukan Hamur Mbah Ndut seolah menemukan permata di gegap gempita pertumbuhan kota. Kedai ini menawarkan kenangan, menyisipkan cerita-cerita manusia di tengah laju zaman.
Rumah berarsitektur gaya Belanda klasik kolonial itu menarik perhatian pengunjung Kayutangan Heritage. Ada yang sekadar berhenti dan berfoto, ada juga yang menyempatkan diri duduk sebentar sembari menikmati kopi buatan Mbah Ndut atau anaknya, Oktavian.
Menikmati minuman dan camilan setelah jalan-jalan adalah satu dari banyak nikmat yang tak bisa didustakan. Sembari duduk-duduk, kenapa tidak kita menambah kepingan ingatan, kan?
Kalau kita familiar dengan kopi yang mengusung ‘kenangan’, Kedai Hamur Mbah Ndut cocok sekali dengan sebutan itu. Setidaknya, bagi pemiliknya, dan orang-orang yang pernah mengunjunginya.
Rumah satu abad yang diwariskan turun-temurun dan jadi kopian klasik
Rudi Haris atau akrab disapa Mbah Ndut menyambut saya di ruang tamu yang penuh foto memori keluarga, serta piagam tanda jasa veteran. Ia adalah generasi ketiga yang mendiami rumah klasik itu.
Rumah itu dibangun oleh kakek dari Rudi Haris tahun 1923, diteruskan kepada orangtua Rudi kemudian sampailah kepadanya, ditemani anak lelakinya, Oktavian.
Keluarga kecil Rudi tadinya tinggal di Jl. Ciliwung. Namun, ia diminta kembali ke rumah untuk merawat orang tua yang sakit hingga akhir hayat. Ia lima bersaudara, ada yang sudah meninggal dan ada yang tinggal di luar kota. Jadilah ia yang tinggal di rumah satu abad tersebut.
Melalui foto-foto keluarga yang ditunjukan Rudi, Hamur Mbah Ndut masih pada bentuk aslinya. Hanya mengalami pelebaran di bagian belakang untuk memperluas rumah yang ditinggali bersama istri dan ketiga anaknya.
Bertepatan dengan ditetapkannya Kampung Warisan Kayutangan di tahun 2018, Mbah Ndut menyadari peluangnya untuk membangun sebuah kedai kopi bagi para wisatawan.
“Pertimbangannya karena ini kampung wisata, pasti yang berkunjung bukan orang kampung aja tapi banyak wisatawan luar. Habis berjalan mengelilingi kampung pasti lelah dan haus. Nah, saya ambil peluang dari itu saya buka tempat istirahat lah sambil minum kopi, minum es teh,” terangnya.
Mbah Ndut pun siap sedia kalau pengunjung mengajak bercerita dan bertanya ini-itu. Apalagi kebanyakan yang datang adalah wisatawan pecinta heritage. “Di sanalah nilai tambahnya,” imbuh Mbah Ndut.
“Sebenarnya Mbah Ndut itu panggilan ibu saya. Karena tidak ingin menghilangkan nama panggilannya, begitu saya buka usaha kopian maka saya namakan Hamur Mbah Ndut. Kemudian orang memanggil saya jadi Mbah Ndut, jangankan orang biasa, Pak Wali (Sutiaji) aja manggil saya Mbah Ndut,” katanya memulai ceritanya.
Segelas racikan kopi sederhana dan segudang cerita di Kedai Hamur Mbah Ndut Kayutangan
Mbah Ndut senang minum kopi sejak SMP. Namun, baginya kopi, ya, kopi hitam, kopi biasa saja. Bukan kopi banyak macamnya seperti sekarang. Oleh karenanya awal membuka Hamur Mbah Ndut, ia menempatkan kopi tubruk di menu paling atas. Diikuti es kopi susu, Vietnam drip, dan cappuccino.
Sejak awal pengunjung bukan wisatawan lokal saja. Hamur Mbah Ndut pernah didatangi arsitektur muda Malaysia pecinta heritage yang menemukan kopian dari Instagram. Mbah Ndut memperkenalkan cita rasa tubruk sebagai oleh-oleh ilmu, termasuk bagaimana cara menikmatinya.
“Mereka bingung cara minumnya. Saya ajarin. Diaduk, kemudian diamkan. Dalam beberapa menit, minum sampai habis. Kalau minum sedikit-sedikit, kopinya nggak terasa. Coba diminum sampai habis atau separuh, enak sekali, itulah nikmatnya kopi tubruk,” ujarnya.
Berawal dari empat menu. Anaknya, Oktavian, menambah ide menu dengan blackcurrant tea, lemon tea, honey lemon grass, espresso, matcha, dan berbagai menu lainnya. Juga camilan seperti cireng, donat yang laris manis, dan sosis solo.
Perkembangan menu di Hamur Mbah Ndut tak lepas dari suara pelanggan. Misalnya dulu ada mahasiswa Eropa yang minta dibuatkan es kopi, Mbah Ndut menyanggupi. Oleh Mbah Ndut ditambahkan gula aren agar lebih kekinian dan diikuti komentar positif pelanggannya. Hal itulah yang diteruskan Mbah Ndut untuk jadi menu tetap di kopiannya.
“Andalan saya vietnam drip dan kopi susu. Banyak yang ngomong enak sekali. Tapi, kalau saya bikinnya nggak pakai timbangan seperti anak saya,” akunya.
Selain mahasiswa, para peneliti atau akademisi yang sedang mengumpulkan informasi soal kampung heritage juga datang ke Hamur Mbah Ndut, misalnya dari Universitas Brawijaya.
Sebetulnya, bukan kudapan dan cerita saja yang disuguhkan oleh Hamur Mbah Ndut. Sekiranya pengunjung menyukai barang-barang antik, kedai ini punya banyak koleksi yang dipampang guna menambah kesan selow.
Rumah seorang veteran
Barangkali kekayaan cerita Mbah Ndut memang ditunjukkan dari foto dan tanda jasa yang dipajang di dinding. Di sana pula dipajang foto langka, ibu Mbah Ndut dan tokoh Muhammadiyah Malang, Kiai Bedjo Darmoleksono. Keduanya masih punya hubungan keluarga.
“Kalau orang-orang Muhammadiyah lama-lama ke sini, jalan-jalan dan mampir, lalu lihat foto itu, mau diminta. Katanya nyari foto Mbah Bedjo di mana-mana nggak ketemu. Saya bilang jangan, tapi kalau difoto boleh. Itu diambil tahun 1975 waktu nikahnya kakak saya,” katanya.
Di samping foto itu, ada tanda jasa yang ditandatangani Soekarno. Ayah Mbah Ndut adalah seorang veteran yang dimakamkan di Makam Pahlawan Suropati, Malang.
“Dia hanya cerita pernah ikut memanjat hotel, gerilya, ikut angkat senjata di Jembatan Merah,” katanya.
Akan tetapi Mbah Ndut tak mengetahui detailnya karena ayahnya tak banyak bercerita saat jadi pejuang. ‘Nggak usah cerita’ begitulah ucapan ayah Mbah Ndut kalau disinggung perihal perjuangannya.
Tentunya Hamur Mbah Ndut tak hanya menyimpan kenangan baik. Rumah seorang veteran ini juga sempat terdampak Covid-19 dan harus menghentikan usaha sementara.
Buka usaha di 2018, perlahan ramai hingga akhir 2019. Namun, hiruk-pikuk itu tak berlangsung lama sebab pandemi datang. Mbah Ndut harus merelakan usahanya kembali kepada titik awal.
“Ramai, ramai sekali. Tutup hampir tiga tahun sampai Covid mereda,” ujarnya.
Kala itu, Hamur Mbah Ndut hanya boleh dikunjungi untuk penelitian dan harus mengantongi surat Kesehatan. Pengunjung pun harus reservasi sebelum datang dengan durasi singkat.
“Mereka hanya bertanya-tanya sambil memutar, sambil melihat-lihat, hanya di luar saja. Begitu pandemi dinyatakan usai baru buka lagi,” sambungnya.
Kerap disinggahi orang penting
Kenangan lainnya di Hamur Mbah Ndut ialah sebagai tempat singgah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan saudara laki-laki Mbah Ndut sama-sama menempuh pendidikan di AKABRI Angkatan ’73.
“Mereka ke sininya waktu plesir aja. Nggak lama, cuma sebentar-sebentar,” kata Mbah Ndut.
SBY pernah berkunjung beberapa kali bersama tantenya yang saat itu masih tinggal di Malang. Meski tak pernah mengobrol akrab, Mbah Ndut mengingatnya sebagai memori yang memperkaya kenangannya.
Momen terakhir SBY dan keluarganya yang diingat Mbah Ndut ialah saat kakaknya meninggal dunia. SBY datang untuk memberi penghormatan terakhir di Bali (tempat kakaknya bertugas) sebelum diterbangkan ke Malang.
Selain itu, Sutiaji, mantan Walikota Malang juga senang ngadem dan kongkow di Hamur Mbah Ndut. Bahkan beberapa waktu lalu sebelum peletakan jabatan, Sutiaji beristirahat dengan segelas tubruk dan camilan.
“Kemarin Bapak pesan kopi tubruk, kopi hitam. Kalau Ibu kemarin teh susu,” katanya.
Bagi Rudi Haris atau Mbah Ndut, rumah satu abadnya adalah saksi hidup memori-memori lampau. Segala pernak-pernah masih di tempatnya. Sembari mempertahankan kenangan, ia juga membuat kenangan-kenangan baru bersama pengunjung Kayutangan Heritage yang mampir minum kopi dan ingin mendengar ceritanya di Hamur Mbah Ndut.
Cerita dari Hamur Mbah Ndut masih terus berlanjut, dari orang ke orang, dan dari penuturan Rudi dan mungkin dilanjutkan anak-anaknya.
Informasi Hamur Mbah Ndut
Alamat | Jalan Basuki Rahmat 4/938 Kota Malang |
Hari buka | Setiap hari, kecuali Kamis |
Jam buka | – Senin, Selasa, Rabu, Sabtu, Minggu: pukul 09.00-21.00 WIB – Kamis tutup – Jumat: pukul 13.00-21.00 WIB |
Kisaran harga | – Snack/jajanan mulai Rp 4-9 ribu – Minuman kopi mulai Rp 8-15 ribu – Minuman non-kopi Rp 8-12 ribu |