Sediksi – Pemilihan umum merupakan pilar demokrasi yang memungkinkan rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan sosok pemimpin negara maupun tingkat daerah. Sering terjadi orang mengatakan bahwa ia golput dalam pemilu.
Munculnya fenomena “golput” atau golongan putih dalam pemilihan telah menjadi perdebatan yang kompleks. Apa arti golput dan apa konsekuensinya?
Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang arti golput dalam pemilihan dan meninjau hukum golput dalam pemilu.
Arti Golput dalam Pemilihan Umum
Golput, singkatan dari golongan putih, merujuk pada sikap pasif para pemilih yang memilih untuk tidak memberikan suaranya dalam pemilihan umum, atau membuat suaranya menjadi tidak sah.
Sebagian melihat golput sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang dianggap korup atau sebagai bentuk apatisme terhadap perpolitikan di Indonesia.
Sikap golput sering dianggap sebagai bentuk perlawanan warga terhadap kondisi politik yang dianggap tidak sesuai dengan harapan mereka.
Beberapa golputers menganggap bahwa tidak memberikan suara mereka adalah cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap kandidat yang ada atau terhadap seluruh sistem politik. Namun di sisi lain, ada juga yang mengritik golput sebagai tindakan yang kontraproduktif.
Mereka berpendapat bahwa tidak memberikan suara justru melemahkan partisipasi demokratis dan memberi kesempatan kepada kelompok atau individu tertentu untuk mendominasi hasil pemilihan dengan dukungan yang lebih kecil.
Sejarah Golput di Indonesia
Istilah “golput” pertama kali muncul mendekati pelaksanaan Pemilu pada 5 Juli 1971, yang menjadi suatu peristiwa demokrasi dalam memulai era Orde Baru.
Pada Pemilu tersebut, jumlah partai politik peserta mengalami penurunan signifikan dibandingkan Pemilu 1955 akibat pembubaran beberapa partai.
Termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Terdapat delapan partai lama, satu partai baru, dan satu organisasi peserta Pemilu pada tahun 1971.
Penemuan istilah “golput” pada awalnya merujuk pada suatu tindakan khusus, dimana pemilih secara aktif pergi ke tempat pemungutan suara. Namun memilih untuk menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar, bukan pada gambar itu sendiri. Hal ini mengakibatkan suara mereka menjadi tidak sah dan dianggap tidak berpengaruh.
Gerakan ini pertama kali diinisiasi oleh sekelompok pemuda dan mahasiswa yang mengungkapkan ketidaksetujuan mereka terhadap pelaksanaan Pemilu 1971. Mereka menciptakan simbol golput berbentuk segi lima yang kemudian dipasang di beberapa lokasi di Jakarta.
Tanggapan terhadap gerakan golput pada awalnya adalah represif dan tidak disukai pemerintah. Pemerintah Orde Baru meresponnya dengan sikap sinis, menyatakan bahwa para pelakunya adalah mantan anggota gerakan mahasiswa seperti Mahasiswa Menggugat (MM) dan Komite Anti Korupsi (KAK).
Dilansir dari Tirto, beberapa pejabat pemerintah bahkan menyebut gerakan ini sebagai upaya untuk merusak reputasi pemerintahan. Keamanan negara juga mengambil langkah-langkah untuk menekan gerakan ini, termasuk penangkapan kelompok golput di depan Gedung Kodim.
Siapa yang Pertama Kali Memunculkan Istilah Golput?
Imam Walujo Sumali, mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Kebayoran, memainkan peran penting dalam menciptakan istilah “golput”. Dalam artikelnya yang berjudul “Partai Kesebelas untuk Generasi Muda,” dia memunculkan ide membentuk Partai Putih sebagai alternatif bagi generasi muda yang merasa tidak puas dengan partai politik yang ada.
Partai Putih dijelaskan sebagai partai tanpa simbol yang memiliki gambar garis segi lima berwarna hitam di atas dasar putih polos.
Walaupun gerakan golput pada Pemilu 1971 gelombangnya tidak sampai besar, tetapi tetap memberikan dampak. Pemerintah Orde Baru berhasil mengintimidasi masyarakat, menciptakan rasa takut jika masyarakat tidak memberikan suara.
Meskipun Menteri Penerangan Budiardjo meramalkan bahwa golput akan hilang dengan sendirinya, kenyataannya jumlah golput terus meningkat pada pemilu-pemilu berikutnya. Pada Pemilu 1977, angka golput mencapai 8,40 persen, dan setelah reformasi, angka tersebut terus meningkat, mencapai 29,01 persen pada Pemilu 2009.
Saat ini, pengertian golput lebih luwes daripada pada awalnya, mencakup warga yang tidak menggunakan hak suara mereka, ataupun sengaja membuat suara mereka tidak sah. Alasannya beragam, baik itu karena kesadaran politis atau alasan lainnya. Merantau dan tidak dapat pulang kampung, misalnya.
Apakah Golput dalam Pemilu dapat Dipidana?
Dalam konteks hukum pemilu, golput bukanlah tindakan pidana. Secara umum, undang-undang pemilu di berbagai negara cenderung tidak memberikan sanksi langsung kepada mereka yang memilih untuk tidak memberikan suara.
Kecuali pada kondisi khusus yang diatur dalam Pasal 284 UU Pemilu yang berbunyi:
Dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk:
- tidak menggunakan hak pilihnya;
- menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
- memilih Pasangan Calon tertentu;
- memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau
- memilih calon anggota DPD tertentu,
dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Pada pasal di atas, orang yang dapat dikenai pasal adalah terbatas pada “pelaksana dan tim kampanye pemilu”, serta dibatasi pada tindakan “memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan.” Sehingga pasal ini ditujukan pada oknum tertentu saja.
Pasal di atas bertujuan untuk menjaga terlaksananya pemilihan yang bersih dan menjaga agar oknum-oknum dari penyelenggara pemilu serta tim kampanye paslon tidak melakukan tindak penyelewengan dan pemanfaatan kekuasaan.
Sementara itu, untuk pasal yang berlaku kepada khalayak umum, lebih pada tidakan suap serta pemaksaan untuk golput. Itu pun dalam rentang tertentu, yaitu “pada saat/hari pemungutan suara” saja. Aturan tersebut tertuang dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 515 UU Pemilu
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.
Pasal 523 ayat (3) UU Pemilu
Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.
Oleh karena itu, tindakan khalayak umum di luar hari pemungutan suara yang bersifat non-makar seperti menulis opini soal ajakan untuk golput, menyatakan alasan mengapa memilih golpiut, atau mengutarakan bahwa memilih untuk golut itu tidak apa-apa, tidak dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan pasal-pasal di atas.
Sebab tindakan itu dilindungi oleh pasal lain yang menjaga hak asasi tiap individu untuk bebas mengekspresikan pilihan politiknya seperti pada Pasal 23 ayat (1) UU HAM yang menjamin kebebasan seseorang untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
Keyakinan politik itu salah satunya adalah untuk bersikap abstain atau golput. Namun perlu diingat bahwa hal itu terbatas pada konteks pemilu sesuai dengan pasal di atas.
Sanksi lain berupa sanksi sosial dan lain sebagainya tetap perlu diperhitungkan karena sebagai individu kita hidup di lingkungan sosial dan dalam kondisi di mana perbedaan preferensi politik dapat berpotensi menimbulkan masalah.
Sebagai catatan, artikel ini bukan naskah akademik ataupun tafsir hukum sehingga tidak dapat dijadikan rujukan untuk kasus tertentu dan hanya bersifat informatif.
Apa Kerugian Golput dalam Pemilu?
Meskipun hukum golput dalam pemilu tidak secara eksplisit diatur, perdebatan tentang apakah seharusnya ada sanksi atau tidak bagi golput terus berlanjut.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa hak untuk memilih juga mencakup hak untuk tidak memberikan suara, dan sanksi terhadap golput dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia.
Sementara itu, yang lain berpendapat bahwa pemilih memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam proses demokrasi dan bahwa ketidakpartisipasian dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Secara lebih luas dampak golput dalam pemilu bisa menciptakan konsekuensi tak terduga seperti efek bola salju. Misalnya dalam sistem pemilihan umum untuk lembaga legislatif, di mana perolehan suara partai sangat penting
Golput dapat memberikan keuntungan tidak langsung kepada partai atau kandidat tertentu dengan basis dukungan yang lebih kecil. Sehingga akan terjadi ketimpangan porsi kekuasaan. Sementara pada pemilihan presiden, golput dapat mempengaruhi legitimasi pemerintahan yang terpilih.
Seorang pemimpin yang terpilih dengan persentase suara yang rendah akibat tingginya golput mungkin menghadapi tantangan untuk memperoleh dukungan dan kredibilitas yang cukup dalam menjalankan pemerintahan.
Sehingga sangat mungkin kestabilan pemerintahan yang akan dipertaruhkan, sehingga dapat berakhir kepada hal-hal yang buruk di masa mendatang. Misal kebijakan yang diterbitkan tidak mendapat dukungan masyarakat, atau bahkan terjadi chaos.
Setelah memahami arti golput dalam pemilihan dan hukum golput dalam pemilu, kita menemukan bahwa fenomena ini memiliki implikasi yang kompleks dalam konteks individu maupun negara secara luas.
Golput dapat dilihat sebagai bentuk protes atau tindakan pasif yang mungkin memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil pemilihan dan legitimasi pemerintahan.
Dalam melangkah menuju pemilihan yang lebih inklusif dan representatif, perlu adanya diskusi terbuka dan mendalam tentang peran golput dalam dinamika politik masyarakat.