Sediksi.com – 14 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 8 Januari 2010, sebuah bus yang membawa timnas sepak bola Togo disergap oleh pemberontak bersenjata saat melintasi perbatasan dari Republik Demokratik Kongo ke provinsi Cabinda, Angola.
Insiden penyerangan bus timnas Togo, 2 hari sebelum dimulainya Piala Afrika 2010 (AFCON) di Angola ini, berlangsung sekitar 30 menit, menewaskan 3 orang dan melukai 9 lainnya, termasuk beberapa pemain dan anggota staf tim.
Insiden ini sontak mengejutkan dunia dan memunculkan situasi ketidakpastian terhadap kelanjutan turnamen antar negara-negara Afrika tersebut. Banyak yang mempertanyakan mengenai situasi keamanan dan politik di wilayah tersebut.
Artikel berikut akan menguraikan peristiwa penyerangan bus timnas Togo 2010, menelusuri penyebabnya, serta membahas dampaknya, baik terhadap para korban penyerangan maupun situasi sepak bola di Afrika secara umum.
Peristiwa Penyerangan Bus Timnas Togo 2010
Timnas Togo, yang saat itu diperkuat oleh penyerang bintang, Emmanuel Adebayor, berhasil melaju ke Piala Afrika untuk ketujuh kalinya dalam sejarah mereka. Mereka tergabung di Grup B bersama Pantai Gading, Ghana, dan Burkina Faso.
Tim Les Éperviers sendiri dijadwalkan memainkan laga pertama mereka melawan Ghana pada 11 Januari di Cabinda, sebuah wilayah enklave kaya minyak di Angola. Secara geografis, kawasan ini dipisahkan dari seluruh Angola oleh wilayah Republik Demokratik Kongo.
Cabinda sendiri telah menjadi lokasi konflik separatis berkepanjangan antara Front Pembebasan Enklave Cabinda (FLEC), sebuah kelompok pemberontak yang menginginkan kemerdekaan bagi kawasan tersebut, dengan pemerintah Angola.
Pada tanggal 8 Januari, timnas Togo menaiki bus di Pointe-Noire, sebuah kota di Republik Kongo, dan bertolak menuju Cabinda. Mereka didampingi konvoi keamanan dua mobil dan pengawalan polisi yang disediakan oleh otoritas Angola.
Saat mendekati perbatasan, mereka dihentikan oleh petugas imigrasi yang melakukan pemeriksaan paspor dan visa. Sekitar satu jam kemudian, iring-iringan ini melanjutkan perjalanan dan menyeberang ke Cabinda.
Namun, tak lama setelah memasuki provinsi tersebut, sekelompok pria bersenjata tiba-tiba melakukan penyerangan, termasuk menembaki bus tersebut dengan senapan mesin. Supir bus, Mario Adjoua, tewas seketika, dan bus tidak dapat bergerak.
Para penumpang, yang merunduk di bawah kursi, terjebak di dalam bus saat aksi penembakan terus berlanjut. Tim keamanan membalas tembakan, namun mereka kalah jumlah dan kalah persenjataan dari para penyerang.
Penyerangan itu sendiri berlangsung sekitar 30 menit lamanya, hingga pasukan tambahan Angola tiba dan mengusir para penyerang.
Serangan tersebut menyebabkan tewasnya 3 orang dan 9 lainnya luka-luka. Selain supir bus, korban tewas lain ialah asisten manajer, Améleté Abalo, dan komentator stasiun TV Togo, Stanislas Ocloo.
Sementara 9 orang yang mengalami luka-luka antara lain penjaga gawang Kodjovi Obilalé yang tertembak di bagian belakang dan harus menjalani operasi, pemain bertahan Serge Akakpo, manajer tim Hubert Velud, fisio tim Divinelae Amevor, dokter tim Tadafame Wadja, Waké Nibombé, dan Elista Kodjo Lano.
Para pemain dan anggota staf lainnya menderita syok dan trauma, dan beberapa mengalami luka ringan akibat pecahan kaca dan pecahan peluru.
Adebayor, salah satu yang tidak terlalu terdampak dari serangan ini, harus membawa rekan satu timnya yang berteriak-teriak ke rumah sakit. Dia kemudian menggambarkan serangan itu sebagai “salah satu hal terburuk yang pernah saya alami dalam hidup saya.”
Latar Belakang Aksi Penyerangan
Sayap militer FLEC (FLEC-PM) mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Meskipun demikian, Sekretaris Jenderal FLEC, Rodrigues Mingas, menyatakan bahwa penyerangan tersebut bukan ditujukan kepada timnas Togo, melainkan kepada pasukan Angola yang mengawal mereka.
Ia mengatakan bahwa timnas tersebut terjebak dalam baku tembak operasi militer yang dilancarkan kelompoknya terhadap tentara Angola.
Ia kemudian menambahkan bahwa serangan tersebut merupakan pesan kepada pemerintah Angola dan komunitas internasional bahwa Cabinda bukan bagian dari Angola.
FLEC-PM sendiri merupakan kelompok pecahan dari FLEC asli, yang didirikan pada tahun 1963 sebagai gerakan nasionalis yang menentang pemerintahan kolonial Portugis di Cabinda.
Setelah Angola memperoleh kemerdekaannya dari Portugal pada 1975, Cabinda dianeksasi oleh negara Angola, meskipun terdapat protes dari FLEC dan mayoritas penduduk Cabindan, yang memiliki identitas etnis, budaya, dan sejarah yang berbeda dari wilayah Angola lainnya.
FLEC kemudian melancarkan perang gerilya melawan pemerintah Angola dan berupaya menjadikan Cabinda sebagai negara yang berdaulat. Konflik di antara kedua pihak sendiri telah berlangsung selama berdekade-kade dan memakan banyak korban jiwa.
Cabinda sendiri merupakan aset strategis dan ekonomi bagi Angola karena menghasilkan lebih dari setengah pendapatan minyak negara tersebut.
Pemerintah Angola telah mengerahkan pasukan militer dalam jumlah besar di kawasan tersebut dan berusaha menekan gerakan separatis melalui kekerasan dan penindasan.
Di sisi lain, FLEC telah mengalami perpecahan dan fragmentasi internal, serta kehilangan banyak dukungan rakyat dan kapasitas militernya.
Pada 2006, pemerintah Angola menandatangani perjanjian damai dengan faksi FLEC-Renovada pimpinan António Bento Bembe, yang menjadi menteri urusan Cabinda di kabinet Angola.
Namun, faksi lain di FLEC, seperti FLEC-PM, menolak perjanjian tersebut dan berjanji untuk melanjutkan perjuangan bersenjata. Serangan terhadap tim Togo merupakan aksi paling terkenal yang dilakukan FLEC-PM sejak pembentukannya pada 2007.
Buntut dari Insiden Penyerangan Bus Timnas Togo 2010
Pasca insiden penyerangan bus timnas Togo 2010, seruan boikot Piala Afrika 2010 digalakkan oleh tim Les Éperviers.
Tim sepak bola Togo kemudian mengundurkan diri dari turnamen tersebut dan sempat berupaya membujuk tim lain di grup mereka untuk ikut mundur dari Piala Afrika 2010. Melihat dampak serangan tersebut, para anggota timnas Mozambik yang terbang ke Luanda meminta jaminan perlindungan.
Meskipun demikian, 2 anggota skuad Togo mengatakan bahwa mereka akan bermain di Piala Afrika untuk “mengenang para korban jiwa.”
Salah seorang pemain Togo, Thomas Dossevi, menyatakan bahwa Togo akan melanjutkan kompetisi “untuk menunjukkan warna nasional dan nilai-nilai kami, serta untuk menunjukkan bahwa kami adalah laki-laki.”
Akan tetapi, pemerintah Togo kemudian memerintahkan tim tersebut untuk pulang karena alasan keamanan. Pada 11 Januari 2010, Togo secara resmi didiskualifikasi dari Piala Afrika 2010 sekembalinya mereka ke tanah air.
Tim Les Éperviers sendiri sempat mengajukan permintaan resmi untuk kembali mengikuti turnamen. Namun, permintaan tersebut ditolak meski ada alasan bahwa mereka pulang untuk berduka atas gugurnya anggota tim.
Pada 12 April 2010, kapten timnas Togo, Emmanuel Adebayor, mengumumkan pensiun dari sepak bola internasional. Ia mengatakan bahwa insiden penyerangan bus timnas Togo masih menghantuinya dan ia tidak ingin mengalaminya lagi.
Adebayor sendiri kembali memperkuat timnas Togo pada November 2011 setelah mendapat jaminan terkait keselamatan dari Federasi Sepak Bola Togo (FTF).
Kodjovi Obilalé yang mengalami luka paling serius akibat insiden ini mengalami masalah berjalan dan tidak berpikir untuk melanjutkan karirnya. Biaya rehabilitasi Obilalé sendiri ditanggung oleh FIFA, pemerintah Togo, serta Federasi Sepak Bola Prancis (FFF).
Pada 30 Juli 2010, kontraknya bersama klub Prancis, Pontivy, berakhir dan ia sempat mengalami masalah finansial serius. Beberapa rekannya di timnas Togo sendiri memberikan dukungan pada masa-masa sulit sang pemain, termasuk memberinya dukungan finansial.