Sediksi.com – Salah seorang Gen Z menjawab lebih nyaman kerja freelance karena menawarkan fleksibilitas yang dirasa tidak bisa didapat di kerja kantoran.
Gen Z lainnya masih berjuang agar bisa menjadi karyawan tetap karena dalam pengalamannya sebagai karyawan honorer yang rawan di-cut, membuatnya juga berharap segera mendapat pekerjaan yang nyaman. Dua contoh tersebut, hanya sebagian kecil dari berbagai realita pahit yang dihadapi Gen Z di dunia kerja saat ini.
Sudah sering terdengar kalau Generasi Z (kelahiran 1997-2012) jadi kambing hitam menurunnya kualitas pekerja masa sekarang. Stereotip terhadap karyawan Gen Z pun banyak.
Mulai dari lemah, sensitif, maunya instan gaji tinggi, hobi pindah-pindah pekerjaan (job-hopping), dan masih panjang lagi daftarnya.
Gen Z yang sering disebut hobi job-hopping atau karyawan kutu loncat ini sebenarnya sedang mencari peruntungan yang lebih baik: gaji lebih tinggi, benefit lebih layak, work-life balance, lingkungan kerja yang sehat, rekan kerja dan atasan yang suportif serta mengayomi, dan masih panjang juga daftar untuk ini.
Sambil mengejar peruntungan, mereka juga bertanya-tanya setidaknya pada diri sendiri berkali-kali, punya karier yang nyaman dan layak itu memang bisa terwujud, atau selama ini hanya mitos?
Sedangkan pihak eksternal (bukan Gen Z) masih terpaku dengan segala stereotip yang menempel pada Gen Z tadi, yang kemudian mengerucut dengan munculnya asumsi loyalitas karyawan gen Z di tempat kerja cenderung rendah.
Loyalitas karyawan Gen Z memang lebih rendah
Tahun 2017, survei situs karier Jobplanet menunjukkan 57,3% dari total 4.550 responden yang merupakan Gen Z pindah kerja setelah setahun. Sebanyak 33,2% responden bertahan selama dua tahun. Lalu 3,2% untuk 3-4 tahun dan 5,8% untuk lebih dari lima tahun — yang ternyata justru lebih tinggi.
Sementara itu, persentase Gen Y atau Milenial (berusia 21-35 tahun saat itu) dengan total responden 81.800 orang yang pindah kerja setelah setahun sebesar 30,2%. Sedangkan Gen X (35 tahun ke atas) dengan total responden 7.100 orang, ada 10% yang pindah kerja setelah setahun.
Tingginya persentase Gen Z bisa dipahami karena pada tahun tersebut banyak dari mereka yang masih sekolah atau kuliah karena angkatan paling tua pun masih berusia 20 tahun. Sebagian Gen Z yang mulai masuk dunia kerja berstatus sebagai lulusan SMA/SMK atau bekerja sambil kuliah.
Poin menarik lain adalah persentase karyawan Gen Milenial yang pindah kerja setelah setahun juga banyak. Persentase tertinggi mereka terletak pada responden yang pindah kerja setelah dua tahun karena mencapai 46,5% yang berarti lebih tinggi dari Gen Z.
Selain aspek tingkat kesetiaan karyawan di atas, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kedekatan karyawan dengan perusahaan yang bisa memengaruhi kesetiaan mereka kepada perusahaan. Semakin tinggi kedekatan dan kepuasan karyawan dengan perusahaan tempat kerjanya, semakin kecil kemungkinan mereka pindah kerja.
Tahun 2023, perusahaan jasa profesional Mercer Indonesia mempublikasikan laporan yang menunjukkan bahwa tingkat kedekatan karyawan Indonesia dengan perusahaannya mencapai 80%. Data tersebut diambil tahun 2018 – 2022 dengan menggunakan 40.443 responden dari 41 perusahaan di Indonesia.
Skor kepuasan responden secara keseluruhan (overall satisfaction) di tempat kerja sebesar 77, bersedia untuk menetap (stay) di pekerjaan tersebut 71, dan bisa melihat peluang ke depan (look forward) masih bertahan di tempat kerja yang sama mencapai 71, dimana sekalipun angka terakhir ini setara dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, tapi lebih rendah dari skor global. Secara keseluruhan, skor tersebut bisa dikatakan cenderung tinggi.
Dilansir dari Kompas, Director of Career Services Mercer Indonesia Isdar Marwan mengatakan bahwa puncak tingginya kedekatan karyawan dengan perusahaan terjadi pada tahun 2020 ketika pandemi.
“Jadi karyawan merasa saat pandemi itu mereka benar-benar diperhatikan,” ucapnya melalui Zoom pada 22 Juni tahu lalu.
Sedangkan pasca pandemi, justru skor tersebut malah merosot. Dari enam dimensi yang digunakan untuk mengukur tingkat keterlibatan karyawan yang terdiri dari pride, motivated, recommended, overall satisfaction, look forward, dan stay, hanya satisfaction yang mendapat skor sama. Sedangkan dimensi lainnya mengalami penurunan skor.
Sehingga Isdar kemudian menyimpulkan bahwa pasca pandemi, tingkat kedekatan karyawan dengan perusahaannya rata-rata mengalami penurunan.
Ini berarti kedekatan karyawan Indonesia dengan perusahaan atau kepuasan mereka secara keseluruhan terhadap tempat kerjanya saat ini lebih rendah dari periode sebelum-sebelumnya. Tidak hanya khusus dialami Gen Z, tapi juga Milenial dan Gen X.
Apa yang diinginkan karyawan Gen Z?
Jika ingin mewujudkan karyawan Gen Z yang bukan kutu loncat dan pastinya loyal ke perusahaan, maka harus tahu apa yang diinginkan.
Sejak empat tahun lalu Sandra, seorang freelance desainer grafis merasa lebih nyaman dibanding harus bekerja di satu perusahaan yang mengharuskannya rutin ke kantor.
Sebelum ini, dia sudah punya pengalaman kerja paruh waktu sebagai desainer grafis dengan sistem hybrid selama kurang lebih dua tahun saat masih berkuliah.
Dengan freelance, Sandra mengaku mendapat lebih banyak keuntungan karena lebih fleksibel dan pekerjaannya sendiri memungkinkan untuk dikerjakan di mana saja.
Kemudian, dia juga bisa mengambil proyek apapun dan dengan jumlah yang dikehendaki. Jika pengalamannya dengan klien tertentu dirasa sudah cukup atau ogah lanjut, dia bisa memutuskan untuk tidak menerima tawaran dari klien tersebut tanpa harus konsultasi atau menunggu persetujuan pihak lain.
Di usianya yang ke-27 tahun ini, Sandra sebenarnya masih punya keinginan untuk kerja kantoran sebagai karyawan tetap asalkan tiga syaratnya terpenuhi. Pertimbangannya, dia ingin ketika nanti sudah menikah dan punya anak, pemasukan dan rutinitas kerjanya lebih teratur dan tertata.
“Fleksibilitas, jadi aku masih bisa nggak harus rutin ke kantor kayak sekarang. Kedua, rekan kerja yang nggak toxic karena aku juga tipe yang lebih nyaman kerja sendiri. Terakhir, punya creative director atau atasan yang nggak kolot dan bisa diajak ngobrol kayak kita ngobrol ke temen” katanya saat bercakap.
Kami juga mewawancarai Dina, seorang pegawai kontrak pemerintah daerah yang sebelumnya bekerja sebagai staf notaris selama setahun sejak lulus sarjana tahun 2019.
Dia sudah menjadi pegawai kontrak selama empat tahun dengan tanda tangan perpanjangan kontrak yang dilakukan setiap enam bulan sekali.
Setiap enam bulan sekali itu juga, Dina merasa gelisah karena apakah kontraknya akan diperpanjang, atau justru kena cut kali ini. Kendati punya keinginan untuk pindah kerja, dia tetap berharap agar tidak kena cut. Sebab Dina juga menyadari sulitnya mendapat kerja saat ini.
Dalam kasus Dina, jarak usianya jauh sekali dengan rekan kerjanya yang kebanyakan sudah Gen X atau seumuran dengan orang tuanya. Kondisi ini membuatnya sulit membaur dengan nyaman, apalagi merasakan punya rekan kerja yang satu frekuensi.
Saat masih berstatus pegawai baru, dia juga mengalami kultur pegawai junior apalagi yang masih baru masuk harus menunggu sampai pegawai senior pulang. Meskipun waktu sudah menunjukkan jam pulang.
Setelah beberapa tahun, Dina akhirnya berani tenggo, pulang tepat waktu tanpa harus menunggu seniornya duluan. “Toh, bukan mereka yang menggaji saya jadi yaudahlah yaaaa akhirnya aku bersikap masa bodoh” Ucapnya.
Ketika ditanya apakah akan ambil kesempatan kalau bisa jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di tempat kerja yang sekarang, Dina mengiyakan. Sebab menurutnya apabila sudah jadi PNS kariernya akan lebih nyaman dan terjamin.
Soal faktor apa yang bisa membuatnya yakin tidak pindah-pindah kerja, Dina menjawab dengan mantab: gaji! “Kalau ini karena aku butuh gajinya dan aku sadar aja kalau cari kerja sekarang sulit. Selama aku merasa mampu untuk bertahan di tempat ini juga.”
Faktor terakhir yang diharapkan adalah punya setidaknya satu rekan kerja yang bisa dijadikan teman ngobrol dengan nyaman agar tidak terlalu kesepian, rekan kerja yang satu frekuensi.
Podcast “NGEBACOT BARENG HRDBACOT ep.4” berjudul Menjadi Kutu Loncat Anti Kepleset yang dirilis tahun 2022 dengan pembawa acara yang terdiri dari Gen Z dan Milenial menyebutkan beberapa faktor yang bisa membuat karyawan tidak pindah kerja. Terutama di era sekarang yang mana model leadership tradisional seperti yang ditempuh Gen X dan Milenial sudah tidak efektif dan perlu diubah.
Pertama, tentu saja leadership. Agar karyawan betah dan aktif berkontribusi positif untuk perusahaan, diperlukan orang-orang dengan kemampuan leadership yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh karyawannya.
Kedua, kesempatan. Karyawan cenderung bersedia untuk bertahan di perusahaan tempat kerjanya jika punya kesempatan yang diharapkan. Bisa jadi kesempatan naik jabatan, fleksibilitas, mengeksplorasi kreativitas, dan sebagainya.
Terakhir, goals. Dalam artian, apa yang diincar dari perusahaan tersebut yang sekiranya sama atau sejalan dengan yang diincar karyawan tersebut. Bisa juga soal benefit apa saja yang ditawarkan perusahaan seperti jaminan pensiun yang sudah pasti jadi goals jangka panjang setiap orang di dunia kerja.
Disadari atau tidak dunia sudah berubah dan akan terus mengalami perubahan. Globalisasi yang didukung dengan pesatnya kemajuan teknologi dipuji karena dianggap memajukan peradaban manusia dan sebagainya. Tanpa disadari, segalanya berubah secara pesat, terlalu cepat bahkan. Kerasa, nggak?
Dengan pace atau laju kehidupan yang lebih cepat dan nampaknya akan semakin cepat ke depannya, Gen Z dituntut bisa berhasil dalam waktu cepat dan dengan standar yang lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Di tengah perubahan demi perubahan yang terjadi begitu cepat ini, satu tahun bukan waktu yang singkat.
Ketidakpastian ini tentu saja dialami semuanya, bukan hanya Gen Z. Namun cara Gen Z menghadapi hal ini adalah dengan bekerja di perusahaan yang menjamin kenyamanan dan kesejahteraan mereka — yang ternyata semakin jarang di masa sekarang.