Mengkritisi Bimbel SKD CPNS

Mengkritisi Bimbel SKD CPNS

Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Karena yang penting adalah lulus ujian, cara cepat dan fokus hafalan rumus justru terkadang lebih membantu. Namun, bukan berarti attitude seperti itu dapat dimaklumi ada pada tentor dan bimbel. Mereka boleh saja mengajarkan cara pragmatis, tetapi bukan berarti mengesampingkan soal konsep.

Pendaftaran penerimaan CPNS memang sering ramai peminat. Bahkan, pada pembukaan CPNS 2024, terhitung lebih dari 3 juta pelamar berkompetisi dalam tahap Seleksi Kompetensi Dasar (SKD).

Ketatnya persaingan dalam tahap SKD ini tak ayal menjadi peluang bisnis tersendiri dengan munculnya berbagai jasa tentor atau bimbingan belajar (bimbel) SKD CPNS.

Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar di dalam iklim ekonomi saat ini, di mana ketika ada permintaan, di situ pula ada potensi sumber profit. Toh, calon peserta CPNS pun akan merasakan manfaat dengan adanya berbagai bimbel ini, mengingat beberapa materi yang diujikan relatif tidak mudah.

Belum lagi, bagi para pendaftar yang bukan fresh graduate biasanya sudah cukup banyak lupa dengan materi matematika yang dibutuhkan untuk mengerjakan jenis tes intelegensi umum (TIU).

Sebagai bagian dari strategi marketing, sebagian tentor atau bimbel juga mengembangkan branding melalui konten dalam berbagai platform seperti Youtube dan TikTok.

Konten yang paling banyak mereka unggah biasanya berupa pembahasan soal, yang diikuti dengan ajakan mendaftar kelas atau mengikuti try-out yang mereka selenggarakan.

Dari mengikuti berbagai konten itulah saya kemudian mendapatkan keresahan. Bukan pada delivery para tentor—yang menurut saya sudah sangat piawai dalam menjelaskan materi dengan baik—melainkan pada kualitas konten/materi yang disampaikan.

Baca Juga: Prahara Mencari Kerja Sebelum Tes CPNS

Kualitas Pengajar yang Perlu Dipertanyakan

Terdapat beberapa materi yang menurut saya cukup keluar dari integritas ilmu pengetahuan. Selain itu, kualitas soal yang mereka buat cukup sering saya jumpai memuat berbagai kesalahan, baik dalam narasi soal maupun opsi jawaban itu sendiri.

Salah satunya pada pembahasan materi silogisme. Silogisme sendiri berada dalam kerangka ilmu logika yang berada di bawah disiplin filsafat dan matematika.

Ilmu logika sendiri bukanlah sesuatu yang dapat sering dijumpai dalam kurikulum pendidikan formal sehingga banyak dari kita yang nampaknya masih cukup awam dengan bidang keilmuan ini.

Akibatnya, kita sebagai konsumen konten—mulai dari penonton, murid les, ataupun peserta try-out—juga seringkali kurang menyadari adanya kesalahan dalam materi ini. Beda cerita, misalnya, dengan materi-materi matematika numerik dikarenakan kita memiliki modal pengetahuan yang cukup terhadapnya.

Contoh kesalahan pemaparan materi pada konten mereka salah satunya saya jumpai beberapa waktu lalu di platform TikTok, yang disampaikan oleh salah satu akun dengan followers ratusan ribu. Konten tersebut membahas soal seperti berikut:

            Semua guru adalah pendidik.

            Sebagian pendidik adalah pelatih.

            Kesimpulan yang tepat adalah…

Akun tersebut menjelaskan bahwa kesimpulan yang tepat adalah “sebagian guru adalah pelatih”. Kesimpulan ini sendiri keliruatau tidak valid karena seharusnya jawabannya adalah “tidak dapat disimpullkan.”

Kedua premis ini tidak dapat ditarik kesimpulan karena middle term sama sekali tidak terdistribusi. Dalam buku A Concise Introductio to Logic oleh Patrick J. Hurley, penarikan kesimpulan di sini tidaklah valid karena merupakan fallacy of undistributed middle.

Analogi valid atau tidaknya kesimpulan pada pembahasan soal tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut:

Premis MajorSemua guru adalah pendidik.Semua kucing adalah hewan.
Premis MinorSebagian pendidik adalah pelatih.Sebagian hewan adalah reptil.
KesimpulanSebagian guru adalah pelatih.Sebagian kucing adalah reptil.


Tidak valid, bukan?

Dalam konten yang lain, dari akun yang berbeda, dilakukan penarikan dua kesimpulan dari dua premis berikut:

            Tidak ada ilmuwan yang suka makanan cepat saji.

            Semua orang yang suka makanan cepat saji tidak menjaga kesehatan.

Akun tersebut menyimpulkan dua premis negatif ini menjadi “semua ilmuwan menjaga kesehatan”. Lagi-lagi, materi yang diajarkan tidak bersandar pada framework disiplin ilmu yang kokoh.

Kesalahan yang tidak kalah fatalnya juga saya jumpai dalam sebuah live TikTok dari sebuah akun lainnya yang membahas soal try out yang dia selenggarakan.

Sederhananya, dalam soal silogisme yang sedang dia bahas, jawaban soalnya—sesuai dengan rumus yang dia pegang—adalah “sebagian C adalah A”.

Namun, opsi tersebut ternyata tidak ada pada soal pilihan ganda yang tengah dikerjakan. Yang ada hanyalah jawaban yang berpola “sebagian A adalah C”.

Kemudian, si pembahas soal menganggap soal tersebut sebagai bonus karena tidak ada jawaban benar yang tersedia pada pilihan.

Padahal, “sebagian C adalah A” memiliki truth value yang sama dengan pernyataan “sebagian A adalah C”—ini dinamakan obversion dalam logika. Artinya, soal itu ternyata memiliki opsi jawaban yang benar.

Yang membuat saya akhirnya menjadi prihatin pada kasus terakhir ini bukan hanya pada kesalahan pembahasan yang fatal. Di sini, saya juga menyadari bahwa sang pengajar berarti tidak mempelajari terlebih dahulu disiplin ilmu logika secara menyeluruh. Ia hanya bersandar atau langsung lompat pada rumus yang ia pegang.

Ia menyimpulkan soal tersebut tidak memiliki jawaban yang benar karena ia belum mempelajari obversiondan teman-temannya, seperti conversion dan contraposition.

Padahal, hal-hal tersebut merupakan dasaryang harus dipelajari dulu sebelum masuk ke bab silogisme. Ibaratnya, kita langsung belajar berbagai rumus matematika tanpa memahami sifat dasar operasi bilangan penjumlahan dan pengalian.

Jangan Sampai Mengabaikan Integritas

Dari kasus-kasus di atas, timbul lah kesadaran pada diri saya bahwa integritas ilmu pengetahuan cukup diabaikan di sini. Bahkan, tak hanya dalam silogisme. Kesalahan-kesalahan serupa juga saya temui pada beberapa materi lain.

Contohnya, dalam materi Pancasila, di mana beberapa kali saya temui pengajar yang cukup bingung menjelaskan perbedaan pengamalan sila ke-5 dan ke-2.

Hal ini, menurut saya, salah satunya dapat disebabkan karena pengajar belum memahami secara cukup mendalam apa itu sosialisme—yang berhubungan erat dengan sejarah lahirnya gagasan pancasila.

Tak ayal, banyak peserta yang nampaknya masih kesulitan dalam membedakan yang dimaksud “adil” dalam sila ke-5 dan sila ke-2.

Saya tidak begitu masalah apabila dalam bimbel seperti ini metode yang diajarkan lebih berfokus pada cara cepat dan hafalan.

Toh, dalam konteks seleksi masuk seperti ini, wajar bila pendaftar CPNS cenderung pragmatis. Karena yang penting adalah lulus ujian, cara cepat dan fokus hafalan rumus justru terkadang lebih membantu.

Namun, bukan berarti attitude seperti itu dapat dimaklumi ada pada tentor dan bimbel. Mereka boleh saja mengajarkan cara pragmatis, tetapi bukan berarti mengesampingkan soal konsep.

Di sini, integritas ilmu pengetahuan juga perlu dijaga. Sebab, kesalahan materi justru dapat menyesatkan dan merugikan konsumen yang telah memberikan keuntungan bagi mereka.

Bagi saya, tidak masalah satu tentor mengajar semua materi sekalipun tidak memiliki latar pendidikan dari bidang tersebut. Sebab, yang terpenting adalah materi yang diajarkan memiliki standar dan referensi yang jelas.

Dalam kasus silogisme tadi, misalnya, pengajar setidaknya harus bersandar pada sistem logika klasik dengan bersumber pada buku-buku disiplin logika, tidak sekadar ambil rumus dari sembarang sumber.

Tulisan ini sendiri bukan dibuat dengan tendensi menyalahkan, melainkan untuk menyumbang koreksi sebagai bagian dari kontrol sosial.

Jangan sampai aktivitas tentor atau bimbel seperti ini justru terjebak dalam tekanan kapitalisme, sebagimana uraian Giroux dalam Neoliberalism’s War on Higher Education (2014), yang menyebabkan institusi atau entitas pendidikan justru lebih sibuk mengejar keuntungan finansial dan abai akan kualitas konten.

Pemerintah sebenarnya juga dapat mengambil peran dengan menerapkan regulasi. Misalnya, dengan menetapkan kriteria terkait diperlukannya sertifikasi pengajar SKD bagi individu/kelompok yang akan mengajar maupun menyusun modul materi/soal persiapan SKD CPNS.

Dengan begitu, kompetensi dari tentor maupun bimbel akan lebih terkurasi dan terstandardisasi. Bimbel akan menggunakan acuan keilmuan yang sama dalam mengajar dan materi ajar juga akan lebih terjaga integritasnya.

Sebab, sebagian tentor atau bimbel memiliki followers atau basis masa yang sangat besar, yang membuat mereka memiliki power yang besar pula. Sementara di sisi lain, ada begitu banyak peserta yang sangat mengandalkan tentor maupun bimbel semacam ini, termasuk konten-konten yang dihadirkan dalam berbagai platform, untuk bisa lolos dalam SKD CPNS.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat bersama untuk lebih meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab.

Penulis

Ravi Choirul Anwar

Kadang nulis, kadang ngapus
Opini Terkait
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel