Sediksi.com – Dunia yang dituntut untuk serba cepat dan kompetitif dapat banyak berpengaruh terhadap berbagai aktivitas manusia sehari-hari, tak terkecuali dalam pekerjaan. Hal ini lantas memunculkan berbagai fenomena, salah satu yang dikenal sebagai hustle culture. Lalu, apa itu hustle culture?
Perkembangan teknologi yang semakin mempermudah dan mempercepat banyak sektor kehidupan biasanya dibarengi dengan tuntutan untuk lebih produktif dari sebelumnya. Produktif, dalam konteks hustle culture, umumnya merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan lebih banyak dalam dunia kerja.
Bagi beberapa orang apa itu hustle culture sudah menjadi semacam mindset dan tak jarang menjadi budaya yang diglorifikasi.
Untuk memahami lebih jauh terkait salah satu fenomena dunia kerja era digital ini, berikut ulasan terkait apa itu hustle culture, sejarahnya, dampak yang dihasilkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana cara menghadapinya.
Apa Itu Hustle Culture?
Mengutip dari BBC, apa itu hustle culture ialah suatu fenomena di mana pemikiran atau mindset terkait akan selalu ada lebih banyak hal yang harus dicapai dan diperjuangkan terus digaungkan. Perlu menghasilkan lebih banyak uang, perlu mencapai jabatan yang lebih tinggi, atau terus melampaui target, merupakan beberapa hal yang agaknya umum dijumpai dalam hustle culture.
Kata hustle di sini dapat bermakna mendorong hingga ambang batas secara terus-menerus dan tanpa kenal lelah.
Jika digunakan dalam dunis kerja, mindset hustle culture dapat dikatakan menitikberatkan pada hal-hal seperti aktivitas kerja berdurasi panjang, mengorbankan kehidupan di luar pekerjaan, serta terus mengupayakan produktivitas dan pencapaian tinggi.
Sehingga, tidak keliru jika apa itu hustle culture juga sering dikaitkan dengan budaya workaholism atau gila kerja.
Sejarah Hustle Culture
Masih dari BBC, kemunculan hustle culture dapat dilacak dari fenomena boom kewirausahaan (entrepreneurial) pada tahun 1990an dan 2000an. Para ahli menunjukkan bahwa mindset hustle culture awalnya banyak muncul dari start-up teknologi di Silicon Valley.
Kesuksesan besar perusahaan seperti Google dan Facebook tidak dapat dilepaskan dari budaya kerja intens serta menguras tenaga yang mereka terapkan.
Budaya “kerja keras” seperti ini kemudian ditiru oleh banyak model bisnis lainnya yang melihat hal tersebut sebagai kunci kesuksesan. “Hal-hal seperti ini kemudian melegitimasi gagasan bahwa untuk menjadi sukses, anda harus melakukan kerja berjam-jam,” ujar Nick Srnicek, pengajar ekonomi digital dari King’s College London dikutip dari BBC.
Srnicek lalu menambahkan bahwa pemikiran hustle culture melihat bahwa bekerja terlalu keras tidak didorong oleh motif ekonomi, namun karena memang begini cara orang giat mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Pemikiran-pemikiran seperti ini pun kemudian semakin menyebar seturut perkembangan teknologi, terutama media sosial. Banyak pengguna medsos yang mempromosikan tren hustle culture lewat postingan kesibukan super padat mereka, yang tak jarang dibumbui dengan pencapaian-pencapaian yang berhasil diraih.
Postingan-posting tersebut juga biasanya mengandung berbagai kalimat motivasi atau glorifikasi terhadap budaya gila kerja tersebut, yang mana tidak jarang berasal dari akun public figure atau motivator ulung dengan jumlah pengikut yang tidak sedikit.
Hal semacam ini kemudian dapat menyerang mereka yang rentan atau insecure dengan capaian dan kesibukannya serta mereka yang tidak mau merasa tertinggal.
Sehingga, tidak kecil kemungkinan hal ini dapat menghasilkan efek bola salju, di mana orang-orang tidak mau ketinggalan memamerkan kesibukan serta capaiannya, atau dengan kata lain ikut mempromosikan hustle culture.
Dampak Hustle Culture
Meskipun mengedepankan hustle culture dalam dunia perkerjaan tampaknya membuka jalan menuju kesuksesan, melakukan sesuatu secara berlebihan seringnya malah memberi dampak negatif.
Menempatkan pekerjaan di atas segalanya, memacu diri untuk kerja, kerja, kerja, atau dengan kata lain hidup untuk bekerja dan bukan bekerja untuk hidup, seringnya dapat berujung pada kelelahan fisik dan mental.
Stres, burnout, dan tidak adanya keseimbangan hidup-pekerjaan (work-life balance) merupakan konsekuensi yang umum dihadapi orang-orang yang menerapkan hustle culture dalam dunia kerja.
Selain itu, budaya kerja berlebihan seperti ini juga dapat berdampak pada hubungan sosial dengan sekitar, di mana banyaknya waktu yang dihabiskan untuk bekerja tidak jarang membuat orang-orang lupa bahwa mereka juga memiliki kehidupan sosial atau kehidupan di luar dunia kerja secara umum.
Tips Menghadapi Hustle Culture
Efek-efek negatif semacam ini memang cenderung tidak langsung disadari oleh mereka yang mengalaminya dikarenakan berbagai tuntutan yang menghampiri serta tren hustle culture yang sudah tertanam sedemikian rupa dalam diri beberapa orang.
Namun, bukan berarti dampak negatif hustle culture tidak bisa diatasi. Berikut beberapa tips yang dikutip dari situs Kementrian Keuangan yang mungkin dapat membantu anda dalam menghadapi budaya kerja berlebihan ini.
Membuat Jadwal Perencanaan
Jadwal perencanaan yang disusun dengan baik dapat menghindari terjadinya penumpukan pekerjaan atau deadline. Perencanaan seperti ini dapat menghindarkan anda dari kelelahan serta tetap menjaga produktivitas.
Sadar dengan Keadaan Diri Sendiri
Usahakan untuk bekerja sesuai dengan batasan fisik dan mental diri anda. Hindari mempush diri secara berlebihan dan jangan lupa untuk rehat sejenak jika anda sudah mulai goyah.
Menetapkan target kerja dan pencapaian secara realistis juga termasuk dalam upaya menyadari keadaan diri sendiri. Anda perlu memahami dengan baik sejauh mana batasan kemampuan serta sumber daya yang anda miliki.
Akan lebih baik jika anda mencapai progres kecil secara kontinu dibandingkan dengan menetapkan target tinggi tidak realistis yang mana malah dapat merusak progres serta diri anda sendiri.
Memahami keadaan diri dan memiliki pandangan yang realistis dalam hidup juga akan membuat anda tidak mudah termakan omongan entrepreneur atau motivator yang mempromosikan hustle culture sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kesuksesan.
Kerja, Kerja, Kerja ≠ Meningkatnya Produktivitas
Pahami bahwa kerja berlebihan tidak serta merta meningkatkan produktivitas. Masih dari laman Kemenkeu, dalam penelitian yang dilakukan John Pencavel, terlihat bahwa waktu kerja tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat produktivitas yang tinggi.
Dalam analisisnya, Pencavel menunjukkan bahwa bekerja lebih dari 48 jam per minggu dapat menurun produktivitas dan seseorang yang bekerja 70 jam seminggu bahkan memiliki tingkat produktivitas yang sama dengan mereka yang bekerja 55 jam seminggu.
Itu tadi ulasan mengenai apa itu hustle culture, sejarahnya, dampak yang dihasilkannya dalam kehidupa sehari-hari, serta bagaimana cara menghadapinya. Memiliki dedikasi serta ambisi dalam dunia kerja tentu saja bukanlah hal yang salah.
Namun, yang utama ialah selalu mengevaluasi diri sendiri, termasuk memahami keadaan serta bersikap realistis terhadap apa yang ingin dicapai. Selain itu, usahakan untuk melakukan rutinitas kerja berkelanjutan yang dapat berdampak positif terhadap kesejahteraan diri sendiri, baik secara fisik maupun mental.
Semoga dengan memahami apa itu hustle culture secara mendalam, anda dapat mencapai kehidupan kerja serta kehidupan sehari-hari yang lebih baik.