Sediksi – Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) mendesak pemerintah agar menulis ulang sejarah Indonesia tentang peristiwa tahun 1965.
Tujuan penulisan ulang sejarah peristiwa 1965 yaitu meluruskan fakta sejarah, termasuk mengakomodasi kesaksian masyarakat yang saat itu menjadi korban.
Harapannya, rentetan peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM sekitar tahun 1965-1966 bisa dipahami secara utuh oleh generasi mendatang sebagai pelajaran agar tidak terulang lagi.
Beda versi peristiwa 1965 ini muncul karena simpang siur apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Tiap pihak melihat peristiwa itu dengan sudut pandang yang berbeda.
Merespon dorongan masyarakat tersebut, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyampaikan bahwa pemerintah tidak akan menulis ulang informasi sejarah tentang peristiwa 1965 versi resmi pemerintah.
Menurut Mahfud, sejarah selalu punya versi tergantung dari sosok yang menyampaikan.
Ia mempersilakan dan memastikan pemerintah akan mendukung bila ada sejarawan atau masyarakat umum melakukan penelitian tentang peristiwa 1965.
Tetapi, pemerintah tidak akan menjadikan hasil penelitian atau penelusuran ulang peristiwa 1965 tersebut sebagai versi tunggal sejarah peristiwa 1965-1966 yang secara resmi diakui pemerintah.
Pernyataan Mahfud tersebut disampaikan saat berdialog dengan para eksil 1965 di Amsterdam, Belanda, Minggu, 27 Agustus 2023.
Hal ini menimbulkan persepsi di kalangan pegiat HAM seakan pemerintah masih setengah hati dalam pengungkapan kejahatan serta pelanggaran HAM masa lalu.
Beda versi peristiwa 1965
Peristiwa 1965 versi pemerintah
Puluhan tahun pemerintah mengonstruksi sejarah peristiwa 1965 melalui kurikulum di buku pelajaran sejarah di sekolah.
Di era Orde Baru, film dokumenter Pengkhianatan G30S/PKI juga menjadi tontonan wajib masyarakat masa itu di bawah rezim Presiden Soeharto.
Narasi peristiwa tahun 1965 dari masa Orde Baru inilah yang sampai saat ini ditangkap publik menjadi narasi resmi versi pemerintah.
Versi pemerintah, kejadian tanggal 30 September 1965 di Indonesia dicatat sebagai upaya merebut kekuasaan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) demi mengubah ideologi Pancasila menjadi komunisme.
Tetapi langkah PKI berhasil digagalkan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang kini berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dari sini dinarasikan bahwa PKI berupaya naik ke puncak kekuasaan dengan cara kudeta dan menculik petinggi militer angkatan darat.
Tujuh jenderal angkatan darat menjadi sasaran PKI.
Enam jenderal dan satu orang kapten ditemukan tewas di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk mengamankan situasi, termasuk menangkap petinggi PKI.
Sementara itu di akar rumput, kabar kudeta dari PKI dan pembunuhan jenderal-jenderal tersebut menyulut emosi masyarakat sehingga terjadi kekerasan dan pembunuhan terhadap orang yang dicurgai terlibat PKI serta organisasi sayapnya.
Kekerasan juga menyasar warga etnis Tionghoa yang dianggap terlibat PKI.
Penangkapan dan pengasingan tanpa melalui pengadilan juga dialami orang-orang yang dicurigai mempunyai relasi dengan PKI.
Pemerintah tidak merilis secara resmi jumlah korban peristiwa 1965, namun diperkirakan ratusan ribu orang menjadi korban akibat kejadian tersebut.
Selepas kejadian itu, PKI dibubarkan dan ideologi komunisme, marxisme, dan leninisme dilarang di Indonesia melalui TAP MPRS No XXV Tahun 1966.
Presiden Soekarno yang sebelumnya mendapat dukungan parlemen dan memiliki hubungan yang harmonis dengan PKI mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Imbas peristiwa 1965-1966 juga dirasakan oleh diaspora Indonesia di luar negeri.
Sebagian besar dari mereka menjadi eksil dan harus kehilangan status kewarganegaraan karena dicurigai terlibat PKI atau karena mengaku setia kepada pemerintahan Presiden Soekarno.
Peristiwa 1965 versi pegiat HAM
Menurut aktivis HAM, narasi pemerintah tentang peristiwa 1965 perlu ditulis ulang segera karena Presiden Jokowi sudah mengakui dan menyesalkan kejadian tersebut.
Narasi korban dari peristiwa 1965 dari sisi masyarakat perlu diakomodasi agar tindakan semena-mena yang menimbulkan pelanggaran HAM berat tidak terulang lagi.
Saat peristiwa 1965 terjadi banyak warga yang mengalami penangkapan dan dipenjara tanpa melalui proses hukum, diasingkan, harta bendanya dirampas dan dijarah, dicabut haknya untuk bekerja, bahkan anggota keluarganya dibunuh begitu saja karena dituduh terlibat PKI.
Selain itu, pegiat HAM menilai labeling terhadap PKI yang dilakukan pemerintah lewat narasi peristiwa 1965 menyebabkan korban dan keluarganya mendapat stigma negatif hingga menimbulkan trauma.
Narasi yang berkembang bertahun-tahun lewat promosi pemerintah menyebabkan kesan bahwa seluruh anggota PKI terlibat pembunuhan jenderal-jenderal di tahun 1965.
Narasi saat ini dibangun seakan-akan semua anggota PKI terlibat dan mengetahui agenda dari elit PKI, termasuk penculikan jenderal-jenderal yang dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa.
Dengan menulis ulang sejarah dan pengakuan oleh pemerintah diharapkan dapat menghapus stigma negatif tersebut.
Langkah itu juga menjadi jalan bagi korban serta keluarganya berdamai dengan pengalaman maupun kenangan menyakitkan dari peristiwa 1965.
Karena tidak tepat mengeneralisir bahwa seluruh anggota PKI terlibat dalam kejahatan merencanakan pembunuhan jenderal tinggi angkatan darat.
Pada peristiwa 1965 versi pegiat HAM, kesewenang-wenangan yang terjadi setelah peristiwa 30 September 1965 dan PKI dibubarkan perlu ikut dimasukkan dalam penjelasan pemerintah sebagai bentuk pelurusan sejarah.
Dengan begitu generasi mendatang dapat memahami situasi peristiwa 1965 secara utuh, termasuk kondisi politik pemerintahan saat itu dan tragedi kemanusiaan yang terjadi setelahnya.
Penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM
Presiden Joko Widodo mewakili pemerintah mengakui dan menyesalkan peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu pada 11 januari 2023.
Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 yang dikeluarkan Presiden Jokowi pada bulan Maret, pemerintah sedang mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Presiden juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.
Peristiwa 1965 termasuk salah kasus prioritas dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang penyelesaiannya ditangani oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (TPPHAM).
Fokus pemerintah kini memulihkan hak korban peristiwa 1965 yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri.
Aktivis HAM kecewa karena penulisan ulang sejarah terkait peristiwa pelanggaran HAM berat tidak menjadi salah satu agenda penyelesaian, walaupun poin tersebut masuk ke dalam rekomendasi sesuai Inpres No. 2 Tahun 2023.
Tanpa penegasan pemerintah lewat penulisan ulang sejarah peristiwa 1965, dikhawatirkan cerita para korban dan keluarga korban justru tidak dipercaya publik sehingga penyelesaian kasus HAM berat oleh pemerintah malah jadi sia-sia.