Sediksi.com – Senin (27/11) Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2023 menyelenggarakan simposium 4 yang membahas repatriasi benda-benda purbakala Indonesia. Kegiatan ini merupakan rangkaian acara yang dilakukan di Universitas Negeri Malang.
Topik-topik simposium 4 dibawakan oleh empat pemateri dari berbagai latar belakang. Dr. Ali Akbar dari Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, menerangkan dua konsep terkait pengembalian benda-benda purbakala Indonesia. Konsep tersebut merupakan pemikiran Edy Sedyawati di tahun 2005.
Inti pesan tersebut ialah mengenai konsep repatriasi dan konsep reekshibisi. Benda-benda purbakala yang telah diambil tersebut harus dikembalikan tetapi juga mesti dipamerkan.
“Harus disajikan atau dipamerkan karena sebelumnya di sana juga dipamerkan,” kata Ali Akbar.
Menurutnya terkait ilmu pengetahuan dan cara memamerkan benda-benda tersebut tak ada masalah. Sebab ia optimis sumber daya di Indonesia yang ada sudah mumpuni.
Di sisi lain, Prof. Dr. Marieke Bloembergen dari Universitas Leiden menjelaskan alasan kenapa banyak benda-benda purbakala lama dikembalikan oleh pemerintah Belanda padahal pemerintah Indonesia sudah lama mencanangkan. Menurutnya ada banyak perubahan yang terjadi di museum-museum Belanda tempat arca-arca itu ditempatkan setelah dicuri.
Repatriasi Arca Singosari
Saat ini Belanda punya komisi khusus untuk mengurus repatriasi setelah mendengar opini repatriasi pemerintah Indonesia. Komisi khusus juga melakukan riset atas objek yang diambil.
“Ini bukan cuma soal repatriasi, kami juga ingin ada produksi pengetahuan. Setiap objek yang diminta kembali, dilakukan riset. Bukan hanya asal-usul benda itu tapi juga sejarah prakolonial, koneksi dengan negara lain berkaitan objek tersebut,” ujarnya.
Hal ini diperkuat dengan Ali Akbar yang menyatakan situasi kebatinan di Belanda yang merasa repot dengan pengurusan koleksi yang ada. Generasi muda Belanda juga merasa malu atas penjajahan yang dilakukan bangsanya di masa terdahulu.
“Beberapa generasi muda itu tidak nyaman museumnya menceritakan penjajahan atau penaklukan. Suasana pascakolonial sudah beda,” tambahnya.
Saat ini arca-arca Singosari yang direpatriasi sudah berada di Museum Nasional. Sisa-sisa arca yang belum dikembalikan menjadi pekerjaan rumah berkelanjutan yang terus diperjuangkan.
Dr. Wayan Jarrah Sastrawan menyampaikan materi manuskrip-manuskrip dari Lombok yang dikembalikan ke Indonesia. Ia memaparkan dari perspektif berbeda.
Wayan menekankan pengambilan benda-benda di masa lalu tidak hanya terjadi antara negara penjajah dengan Indonesia tapi juga antar bangsa. Seperti halnya koleksi lontar Kerajaan Lombok yang tak bisa dipisahkan dari perang dan kekerasan.
“Sangat dibutuhkan penelitian asal-usul (provenance research) yang lengkap dan mendalam. Kita mesti memerhatikan sejarah prakolonial dan benda cagar budaya yang direpatriasi,” kata Wayan.
Symposium 4 juga dihadiri pemateri lain yaitu Dr. Helene Njoto mengenai ‘Koleksi Naskah-naskah Jawa John Crawfurd di British Library: Sebuah Ikhtiar – Apakah Pantas Dikembalikan dari British Library London ke Perpustakaan Nasional atay Perpustakaan Widya Budaya, Keraton Yogyakarta?’
Prof. Dr. Agus Aris Munandar, Guru Besar Universitas Indonesia, menyampaikan pemaparan kedua. Ia membahas pentingnya 4 arca Singosari yang sudah dikembalikan dalam konteks Sejarah Kertanegara.
Baca Juga: Akrobatik Diksi Para Insinyur