Sediksi.com – Setiap hari Kamis pukul 15.30, sekelompok perempuan berkumpul di Plaza de Mayo. Hingga sekarang, aksi ini sudah berlangsung selama 46 tahun dan akan terus berlangsung hingga keadilan terwujud.
Sekelompok perempuan tersebut adalah para ibu dari anak-anak yang menjadi korban penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan tindak kekerasan lainnya dalam Perang Kotor Argentina (1976-1983).
Yaitu upaya pembersihan terhadap warga yang dicurigai sebagai pendukung komunisme oleh rezim militer Argentina. Warga usia dewasa, remaja, anak-anak, balita, hingga bayi yang baru lahir telah menjadi korban dalam peristiwa ini.
Kasus yang telah mewariskan generational trauma ini difilmkan dalam sebuah dokumenter ‘The Mothers of Plaza de Mayo’ yang mendapatkan nominasi dokumenter panjang terbaik Piala Oscar setahun setelah dirilis pada 1986.
Film ini disutradarai oleh Lourdes Portillo dan Susana Blaustein Muñoz, dua perempuan pembuat film yang masing-masing berasal dari Meksiko dan Argentina.
Eulogi untuk anak-anak yang menjadi korban penghilangan paksa
Empat menit pertama memasuki film dengan durasi 58 menit, empat ibu menceritakan bagaimana rezim militer Argentina menculik anak mereka.
Dari kisah keempat ibu tersebut, tidak ada anak yang kembali. Kalaupun ada yang berhasil pulang, ia dalam kondisi sudah tewas.
Salah satu ibu di film itu memiliki tiga anak dan tiga-tiganya diculik. Ketika anak pertamanya diculik, ia mengirim kedua anaknya ke Uruguay demi melindungi mereka. Tiga bulan kemudian, keduanya juga diculik oleh pihak militer Uruguay atas komando militer Argentina.
Meskipun film ini fokus pada cerita keempat ibu tersebut, akhir dari film ini menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian. Artinya banyak sekali kasus serupa terjadi di negara-negara lainnya dan lebih banyak lagi yang mendukung gerakan ini.
Negara yang disebutkan dalam film di antaranya Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Spanyol, El Salvador, Guatemala, Chili, Honduras, Peru, dan Lebanon.
Jika cerita yang disampaikan oleh ibu-ibu ini kurang menggugah perasaan kalian, kurang dramatis, atau nampak dibuat-buat seperti yang ditulis oleh Walter Goodman, seorang jurnalis The New York Times usai penayangan film ini tahun 1986, kalian bisa coba tonton video yang dibuat oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Berjudul ‘Every Parent’s Worst Nightmare’, video yang diunggah di YouTube ini menunjukkan reaksi orang tua ketika menyadari mereka kehilangan anaknya di keramaian seperti pusat perbelanjaan dan tempat bermain.
Dengan tagline yang menohok berbunyi: “jika kehilangan anak beberapa menit saja sudah seperti ini, bayangkan kehilangan mereka selama bertahun-tahun.”
Video ini merupakan video kampanye tentang betapa putus asanya orang tua yang terpisah dan kehilangan anak mereka akibat bencana alam dan konflik politik.
Sedangkan anak-anak yang menjadi korban dalam Perang Kotor Argentina ini, sudah tidak pulang dan tidak ada kabar selama 46 tahun akibat konflik politik.
Kegembiraan atas kemenangan Argentina dalam Piala Dunia 1978 hanya untuk junta militer
Tahun 1978, Argentina tidak hanya menjadi tuan rumah Piala Dunia, tapi juga memenangkan kompetisi sepak bola internasional bergengsi ini.
Jumlah rata-rata orang yang datang ke stadion untuk menonton Piala Dunia 1978 di Argentina adalah 42.374.
Jumlah korban meninggal atau hilang dari Perang Kotor Argentina sekitar 30.000.
Kemenangan Argentina atas Piala Dunia ini dirayakan, termasuk Jorge Rafaél Videla, junta militer Argentina.
Tapi juga tidak luput dari perhatian masyarakat yang mengetahui situasi politik di Argentina.
Salah satu ibu dalam film dokumenter tersebut mengatakan dirinya ingat betul semua orang di Argentina berbahagia karena memenangkan Piala Dunia 1978, “kecuali kami.”
Meski banyak yang mendukung gerakan mereka, tapi lebih banyak lagi orang Argentina yang enggan bersuara atas ketidakadilan yang dialami oleh para korban.
Dan membuktikan betapa kuatnya pengaruh militer dalam membungkam masyarakat.
Argentina diambil alih junta militer sejak 1976-1983
Di hari kelima setelah Isabel Perón, presiden perempuan pertama Argentina digulingkan pada 24 Maret 1976, kursi presiden dikuasai oleh Jorge Rafaél Videla, seorang junta militer.
Sejak rezim militer menguasai, semua yang mendukung komunisme, tidak patuh, dan menentang negara pasti dihukum.
Dengan cara ditahan di ratusan kamp penahanan khusus untuk terduga pelaku tindakan ini. Di sana mereka dianiaya hingga tewas.
Dalam penuturan salah satu pelaku dalam dokumenter tersebut, strategi lain yang dilakukan oleh pihak militer adalah dengan membius korban dan dilemparkan dari pesawat ke laut.
Kemudian para perempuan yang ditahan saat sedang hamil, mereka diizinkan hidup hanya sampai bayi mereka lahir. Setelah lahir, bayi tersebut diberikan pada keluarga militer atau simpatisan militer untuk diadopsi.
Setelah masa kepemimpinan Videla berakhir pada 1981, ia bersama kedelapan pimpinan militer lainnya diadili tiga kali pada 1985, 2010, dan 2012.
Tapi masa kepemimpinan junta militer Argentina baru berakhir pada 1983 ketika Raúl Alfonsín, yang berasal dari partai kiri, berhasil terpilih sebagai presiden dan mengembalikan demokrasi di negara yang terkenal karena menghasilkan banyak pemain sepak bola yang hebat.