Ketika Daendels Menyuruh Kerja

Ketika Daendels Menyuruh Kerja

Memungkinkah kita membandingkan slogan kerja, kerja, kerja dengan tiga tahun kolonialisme Daendels?
Daendels dan Kolonialisme

DAFTAR ISI

Herman Willem Daendels barangkali merupakan sosok yang sulit dilupakan dari ingatan masyarakat Indonesia. Daendels menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda selama tiga tahun sejak 1808-1811. Namanya sohor karena ia memerintahkan orang-orang bumiputera membangun jalan raya pos sepanjang seribu kilometer dari Anyer hingga Panarukan.

Disadur dari Historia, pembangunan jalan tersebut sebenarnya tidak dimulai dari nol seperti saat mengisi bensin di SPBU. Dia hanya memperlebar dan memperbaiki ruas jalan yang sudah ada di sejumlah kota. Tetapi, pembangunan jalan poros Anyer-Panarukan menuai kontroversi sebab Daendels disebut menerapkan sistem kerja-paksa pada orang-orang bumiputera.

Sejarawan Universitas Indonesia (UI) Djoko Marihandono menemukan bukti sebaliknya. Beberapa dokumen yang dibuat Direktur Jenderal Keuangan Van Ijsseldijk menyebut pekerja diupah sesuai beban kerja mereka. Dalam dokumen tersebut, upah disalurkan pemerintah kolonial melalui bupati kemudian diteruskan pada para pekerja. Tetapi Djoko belum menemukan bukti apakah para pekerja memperoleh upah yang seharusnya mereka dapat.

Sepekan setelah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja disahkan oleh DPR RI, sebagian warganet kembali memperbincangkan Daendels di Twitter. Seperti selalu, perbincangan di media sosial riuh oleh informasi-informasi penting, remeh, bahkan kelakar.

Di tengah situasi seperti saat ini, warganet kembali menganggap Daendels cukup relevan untuk kembali diperbicangkan. Mereka mengingat kembali bagaimana pembangunan jalan poros Anyer-Panarukan kerja-paksa memperburuk keadaan masyarakat bumiputera. Kisah ini digunakan untuk membuat perumpamaan antara UU Cipta Kerja yang mirip dengan watak kolonial.

Salah satu warganet mencuit meme bergambar Daendels dilengkapi kalimat, “Kalo Cuma soal kasi kerja…dulu Dandels juga kasi kerja…”. Gambar tersebut menampilkan Daendels bersama anak buahnya di antara para pekerja bumiputera tengah bekerja mengeruk tanah. Meme ini ditengarai berupaya menyindir UU Cipta Kerja.

Kendati konteksnya bermasalah dan pembahasan melenceng dari tujuan semula, perdebatan berlangsung seru. Warganet saling menimpali dengan argumen-argumen yang mengisyaratkan keragaman perspektif. Muaranya berkisar soal perbandingan hubungan kerja di masa kolonial dan di masa sekarang.

UU Cipta Kerja menuai protes dari berbagai kalangan. Tidak hanya buruh, tapi juga mahasiswa hingga organisasi-organisasi masyarakat. Mereka menilai UU Cipta Kerja bakal memperburuk situasi perburuhan di Indonesia. Apalagi, UU Cipta Kerja disahkan justru ketika pandemi Covid-19 kian sulit dikendalikan.

Baca Juga: Berkisah Jalan Raya Pos dalam Segelas Kopi Pahit

Daendels, Kerja dan Kolonialisme

Kerja membangun jalan Anyer-Panarukan bukan hal yang remeh, dan Daendels dalam bingkai sejarah punya beragam tafsir. Ia dianggap berkontribusi meletakkan cikal-bakal jalan raya yang kini dikenal sebagai jalur pantai utara Jawa. Tapi di sisi lain, ia dianggap mencelakai nasib penduduk bumiputera yang sudah rudin.

Sejarawan Farish Ahmad-Noor adalah salah satu tokoh yang mengecam romantisasi kolonialisme. Ia mengatakan secara tegas bahwa kolonialisme merupakan kebobrokan yang tidak terhindarkan sampai sekarang, tetapi bertahan dalam mitologi dan stereotip buruk yang sudah terinternalisasi sangat lama.

Sejarah memang penuh tafsir dan ditulis melalui selera dan kepentingan masing-masing. Akan tetapi, dalam konteks pembangunan jalan raya pos atau pembangunan lainnya, harus disadari bahwa semua itu dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan kolonial Belanda.

Sulit menganggap Daendels memberi kerja secara cuma-cuma. Kerja bagaimana pun tak pernah cuma-cuma. Kalau cuma dibayar terima kasih, itu namanya bukan kerja, tapi… Yasudah itulah namanya.

Daendels punya motivasi yang berbeda dari sekadar memberi kerja. Selama menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda ia memerintah dengan tangan besi, mereformasi birokrasi feodal dan membangun infrastruktur kolonial.

Sementara rakyat menjadi orang-orang yang menderita dan dikuasai tanpa bisa berbuat banyak untuk melanggengkan kekuasaan kolonial Belanda. Lagipula, hasrat untuk bekerja itu juga harus dibuat layak. Jangan sampai kerja keras, dari pagi ketemu malam, tapi di upah murah. Lalu menganggap itu sebagai hal lumrah hanya ketimbang menganggur dan menghindari cibiran saudara dan tetangga.

Meromantisiasi kerja dan kekuasaan kolonial barangkali tak perlu dilakukan. Sebab, kita perlu untuk berpikir adil sejak dalam pikiran, kata Pram. Lagian, kita kan sudah tidak hidup di era kolonialisme. Apa sebenarnya masih, cuma tidak kita sadari? (frm/rip)

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel