Sediksi.com – Pernahkah membayangkan bagaimana rasanya hidup sebagai budak yang ditugaskan untuk menghasilkan anak-anak bagi majikan? Bagaimana rasanya jika kamu tidak memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidup, melainkan dipaksa untuk berhubungan dengan banyak perempuan yang berbeda-beda?
Ini adalah kisah Roque Jose Florencio, atau yang lebih dikenal sebagai Pata Seca, seorang budak dari keturunan Afrika yang dibawa ke Brasil pada abad ke-19.
Pata Seca adalah salah satu contoh dari budak pembiakan, yaitu budak yang dibeli khusus untuk memproduksi keturunan yang memiliki sifat genetik yang diinginkan oleh majikan.
Ia dipilih karena memiliki fisik yang kuat, tinggi, dan bertenaga, sehingga ia dianggap sebagai kandidat ideal untuk menjadi ayah dari ratusan anak yang akan menjadi budak atau pekerja keras di perkebunan.
Namun, di balik kisah tragisnya sebagai budak pembiakan, Pata Seca juga berhasil menemukan cinta dan membentuk keluarga sendiri setelah perbudakan dihapuskan di Brasil pada tahun 1888.
Diperkirakan Pata Seca menjadi nenek moyang langsung dari sekitar 30 persen populasi Santa Eudoxia, Sao Carlos, sebuah kota di negara bagian Sao Paulo.
Selengkapnya mengenai kisah Roque Jose Florencio, akan dibahas di bawah ini.
Kisah Roque Jose Florencio sebagai Budak Pembiakan
Pata Seca lahir di Sorocaba, Sao Paulo, pada paruh pertama abad ke-19 tepatnya pada tahun1829. Sayangnya, ia ditangkap dan diperbudak oleh seorang tuan tanah bernama Joaquim José de Oliveira.
Pada masa itu, perbudakan adalah inti dari perekonomian Brasil, yang bergantung pada tenaga kerja budak untuk mengelola perkebunan kopi, tebu, dan karet. Budak di Brasil diperlakukan seperti hewan ternak, tanpa hak, kesejahteraan, atau penghargaan.
Pata Seca memiliki tinggi badan sekitar 220 cm, atau 7 kaki 2 inci, yang sangat menonjol di antara orang-orang sebayanya. Ia juga memiliki otot-otot yang kekar, tulang-tulang yang kokoh, dan kulit yang hitam pekat.
Karena semua karakteristik ideal itulah, akhirnya Pata Seca dibeli oleh seorang petani di Sao Carlos selama paruh pertama abad ke-19. Hingga akhirnya ia dijadikan sebagai budak pembiakan.
Pata Seca ditugaskan untuk berhubungan dengan banyak perempuan budak yang dipilih oleh majikannya, dengan tujuan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki sifat genetik yang sama dengan dirinya.
Kisah Roque Jose Florencio sebagai budak pembiakan jelas tidak memiliki kebebasan untuk menolak, memilih, atau mencintai perempuan-perempuan tersebut.
Ia hanya menjalankan perintah majikannya, yang mengawasi dan mengatur segala aspek kehidupannya. Pata Seca diperiksa secara rutin untuk mencegah penyakit, diberi makan dengan baik, dan dijaga kebersihan dan kesehatannya.
Tidak ada catatan pasti tentang berapa banyak perempuan yang pernah berhubungan dengannya, atau berapa sering ia melakukan tugasnya sebagai budak pembiakan.
Namun, diperkirakan bahwa Pata Seca telah menghasilkan lebih dari 249 anak dari perempuan-perempuan yang berbeda-beda. Anak-anak tersebut mewarisi status budak dari ayah dan ibu mereka, dan juga menjadi milik majikannya.
Beberapa di antaranya dijual untuk mendapatkan keuntungan, sementara yang lain dipaksa untuk bekerja keras di perkebunan.
Selain menjadi budak pembiakan, Pata Seca juga ditugaskan untuk merawat kuda-kuda dan mengantarkan surat-surat antara perkebunan dan kota.
Karena keberhasilannya dalam menghasilkan sejumlah besar keturunan, Roque menerima perawatan yang lebih baik ketimbang budak lainnya.
Dia diberikan hak istimewa, dan ketika perbudakan dihapuskan di Brasil tepatnya pada 1888, tuannya memberikan sebidang tanah sebagai tanda pengakuan.
Kisahnya sebagai Pejuang, Pemimpin, dan Ayah
Meskipun hidupnya penuh dengan penderitaan dan penindasan, Pata Seca tidak pernah kehilangan semangat dan harapannya untuk meraih kebebasan.
Pata Seca adalah seorang pejuang yang berani dan cerdas, yang sering memimpin pemberontakan para budak melawan para tuan tanah dan pemilik perkebunan. Pata Seca juga memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, yang membuatnya dihormati dan disegani oleh para budak lainnya.
Ia juga memiliki hati yang lembut dan penuh kasih, yang membuatnya mencintai dan merindukan anak-anaknya. Pata Seca tidak bisa mengenal dan merawat semua anak-anaknya, karena mereka tersebar di tempat-tempat yang berbeda-beda.
Namun, ia berusaha untuk mendidik beberapa anaknya yang tinggal di dekatnya tentang cara bertahan hidup, berjuang, dan bermartabat sebagai orang Afrika di tanah asing.
Setelah perbudakan selesai, akhirnya ia erhasil menemukan cinta sejati dan membentuk keluarga sendiri. Pada saat itu, Pata Seca berusia sekitar 60 tahun, dan telah menjadi budak selama hampir seumur hidupnya.
Pata Seca menikahi seorang perempuan bernama Palmira, yang juga mantan budak. Mereka dikaruniai sembilan anak, yang menjadi dasar dari keluarga mereka.
Dari sebidang tanah dari mantan majikannya, sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya sebagai budak pembiakan itu, ia membangun kehidupan baru bagi keluarganya.
Pata Seca menjadi seorang petani, yang memiliki dan mengelola “SÃtio Pata Seca”, yaitu perkebunannya sendiri. Di sana, Pata Seca bekerja keras untuk memproduksi dan menjual rapadura, yaitu gula tebu yang tidak dimurnikan.
Meskipun penghasilannya tidak banyak, ia menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan bermimpi tentang masa depan yang lebih baik.
Pada akhirnya ia meninggal dunia pada Februari 1958, di usia yang ke-130 tahun. Penyebab kematiannya karena terkena tetanus, setelah secara tidak sengaja menginjak paku di pagi hari.
Meskipun mendapatkan perawatan awal dari seorang tabib setempat, kondisi Pata Seca memburuk dengan cepat. Pata Seca meninggal dengan damai, dikelilingi oleh keluarga dan kerabatnya.
Pata Seca dimakamkan di pemakaman umum Santa Eudoxia, Sao Carlos, dengan upacara yang sederhana namun khidmat. Pada nisannya, tertulis nama dan tanggal lahir dan wafatnya, serta sebuah kalimat yang berbunyi: “Pata Seca, o maior reprodutor de escravos do Brasil”, yang berarti “Pata Seca, budak pembiakan terbesar di Brasil”.
Baca Juga: Kisah Timothy Lancaster: Pilot yang Tersedut Keluar dari Pesawat di Ketinggian 5 Ribu Meter
Itulah kisah Roque Jose Florencio yang Jadi Nenek Moyang 30 Persen Penduduk Sao Carlos, kisahnya penuh dengan pengekangan, namun disisi lain juga sebuah keberanian yang luar biasa, untuk menentang perbudakan yang ia alami.