Malang memang harum seperti julukannya, Kota Bunga. Keharuman ini mendatangkan puluhan ribu mahasiswa tiap tahun. Tercatat ada 62 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di kota ini.
Ada ratusan ribu mahasiswa yang belajar di berbagai kampus di Malang. Sebagian besar dari mereka merupakan perantau dari berbagai daerah di Indonesia. Wajar belaka karena kota ini juga punya julukan sebagai kota pendidikan, dan punya sejumlah kampus top.
Mereka tentu punya latar belakang unik yang mewakili bagaimana orang-orang tumbuh dan berkembang. Di Malang, itu jadi tantangan buat mereka karena mesti menyesuaikan diri dengan kultur Malangan. Hal-hal mengagetkan yang baru mereka alami di Malang sekali dua mereka temui.
Tiga mahasiswa yang Sediksi temui ini adalah mereka yang menceritakan petualangan menghadapi culture shock atau gegar budaya di Malang. Bukan cuma makanan, kebiasaan jancok-jancokan rupanya juga bikin kaget.
SPOK + ‘Jancok’: kata-kata kota ini
Christy (21) berasal dari pulau yang sama beda provinsi. Ia datang dari salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Meski berasal dari pulau yang sama, kultur di daerahnya dan di Malang ternyata berbeda. Ia pun mengalami gegar budaya atau keterkejutan budaya selama jadi mahasiswa di Universitas Brawijaya.
Memang bahasa Jawa yang digunakan tak jauh beda, tetapi ia merasa agak asing dengan aksen yang ada. Demikian halnya dengan kekagetannya soal kebiasaan menambahkan imbuhan ‘Jancok’ nyaris di semua obrolan.
Di Jawa Timur, orang-orang biasa menggunakan ‘jancok’. Bukan hanya sebuah ekspresi umpatan, tetapi di lain sisi juga menunjukkan keakraban. Ngobrol dengan kawan sebaya rasanya kurang maknyus kalau tak menyertakan ‘jancok’.
Hal ini rupanya jadi keterkejutan sendiri bagi Christy. Bukan karena ia tak tahu eksistensi jancok, tetapi ia tak menyangka kalau kata tersebut bisa meluncur bebas di setiap situasi.
“Kalau dalam bahasa Indonesia itu kan peraturannya SPOK. Nah, di sini (Malang) SPOK + ‘jancok‘ atau ‘cok‘. Terus kalau di daerahku kalau ngumpat buat marah tapi kalau jancok bisa dipakai buat perasaan apa aja. ‘Jancok ih arek iki’. Bisa buat senang juga, ‘jancok seneng banget aku’. Bisa dipakai di dalam suasana dan kondisi apapun sebagai akhiran kalimat,” ujarnya menerangkan keterkejutan awal perihal bahasa.
Baginya yang dibesarkan di keluarga yang tidak biasa dengan kata jancok, “Duh, jangankan misuh-misuh jancok, ngomong anjir saja bapak sudah melotot.”
Sebelum merantau, dirinya menggunakan ‘asu’ untuk mengumpat sebagaimana orang Jawa Tengah umumnya. Ia hanya bisa berkata, “Oh gini ya ternyata,” ketika tahu bahwa jancok atau cok adalah imbuhan bagi percakapan di Jawa Timur.
Di lain sisi, gegar bahasa berikutnya juga ia alami karena masuknya pengaruh gaya bahasa Jabodetabek dengan ‘lo-gue’-nya. Christy biasa mendengar ‘lu-gue’ atau ‘lo-gue’ di kampus dan sekitarnya. Sedangkan ia terbiasa bercakap dengan ‘aku-kamu’.
Saat ‘aku-kamu’ dipraktikkan kepada teman-teman Jabodetabeknya, ia dianggap punya rasa lebih karena bagi mereka aku-kamu hanya dipakai dalam hubungan istimewa.
Pakai ‘aku-kamu’, teman-teman Jabodetabeknya jadi baper. Namun, kalau ikut pakai lu-gue, dirinya medhok pol dan merasa tidak nyaman. Duh, dilemanya.
Soal bahasa juga ada perbedaan tersendiri dengan orang lokal, Christy punya pengalaman menarik. Ia terbiasa menggunakan kromo alus kepada orang lebih tua, misalnya bapak pengemudi ojek online. Ia beberapa kali kaget karena si pengemudi langsung bisa menebak dirinya dari Jawa Tengah.
Oleh bapak ojol diberitahu kalau kromo alusnya terlihat lebih alus daripada orang lokal. Katanya orang Jawa Tengah lebih alus ketimbang Jawa Timur.
“Bukannya orang Jawa Timur juga pakai kromo alus ya?” pikir Christy bingung.
Nasi goreng kok merah, pedas pula
Tidak lengkap rasanya apabila tulisan ini tidak disertai dengan gegar budaya dari sisi makanan. Masih dari Christy, ia heran kenapa nasi goreng Jawa Timur warnanya merah.
“Nasi goreng ya merah,” kata teman saya orang Jawa Timur tulen.
“Nasi goreng ya cokelat,” kata orang Jawa Tengah.
Memang tak ada habisnya kalau debat soal warna mana yang paling pas untuk sajian nasi goreng. Sebagai orang Jawa Tengah, bertemu dengan nasi goreng merah di Malang membuat Christy pikir-pikir ulang kalau mau beli.
Dibesarkan di rumah yang nasi gorengnya berwarna cokelat kecap, Christy kurang bisa menolerir nasi goreng merah, pedas pula.
“Aku enggak terbiasa pedas, nggak suka sambal juga. Nasi goreng di sini nggak ada manisnya sama sekali. Kalau nggak merah, warnanya putih. Gurih sih enak tapi nggak ada manisnya,” kata Christy.
Nasi goreng adalah comfort food-nya. Kastanya setara ayam geprek bagi anak kos yang bingung mau makan apa. Supaya tetap bisa makan nasi goreng, Christy memilih masak nasi goreng sendiri. Resep langsung dari ibunda tercinta.
Secara umum ia tak masalah dengan masakan di Malang, perbedaannya tak terlalu jauh.
Kalau urusan nasi goreng, lain soal. Warna nasi goreng yang cokelat dan rasanya yang ada manis-manisnya itu amat sentimentil. Jadi, baginya mending masak sendiri atau tidak sama sekali.
Pergaulan yang meluncur bebas
Soal pergaulan, Christy yang mengaku anak kabupaten itu lebih kaget. Di sini, apa-apa yang dulu ia anggap tabu justru sering ia dengar.
“Culture shock paling berat menurutku itu lingkungan pergaulan. Mahasiswa macam-macam daerah dan budaya lebur jadi satu. Dulu hal-hal yang kuanggap tabu, tapi sekarang teman-teman di lingkup pertemanan juga melakukan itu,” terang Christy.
Misalnya, open table alias reservasi meja di bar atau club yang secara umum tujuannya untuk minum-minuman keras. Fenomena pacar lelaki bermalam di pacar perempuannya juga bikin Christy kaget.
Berat baginya untuk menalar pergaulan yang ditemui di Malang. Diakuinya ia dibesarkan di kabupaten agak pelosok di Jawa Tengah.
“Aku dulu SMA di kabupaten jadi ketemu orang kabupaten yang istilahnya dalam tanda kutip ‘kabupaten’, culture dan bahasa sama, cara memandang sesuatu juga hampir sama. setelah di UB, ekspektasi yang paling beda lingkungan pertemanannya,” jelasnya.
Tidak lemah lembut tapi nggak bisa frontal
Satria (25) langsung menyebut makanan murah sebagai awal dari gegar budaya yang dialaminya di Malang. Baginya harga di Malang lebih murah 2-3 kali lipat dari daerah asalnya.
Kalau soal harga murah pasti banyak yang merasa sama tetapi saya menemukan fakta lebih menarik dari gegar budaya Satria. Sebagai orang Sumatra yang berasal dari Medan, ia mengira orang Jawa Timur pasti lebih halus. Ia mengira secara umum seluruh orang Jawa pasti bersikap lemah-lembut.
“Rupanya Jawa timur adalah tempat orang-orang yang berjiwa REVOLUSIONER,” katanya menggunakan huruf kapital pada kata terakhir saat saya hubungi lewat Whatsapp.
Bagi Satria, Jatim terkenal dengan ke’kiri’annya. Hal ini membuatnya menyimpulkan orang Jawa Timur justru pantas disebut orang-orang berjiwa revolusioner ketimbang lemah-lembut.
Akan tetapi, bukan berarti sifat orang Sumatra yang frontal dapat serta merta dipraktikkan. Di sinilah letak perbedaan dirinya dengan orang-orang yang ditemuinya di Malang.
“Lebih ke arah filosofi atau adab, sih. Kami (orang Sumatera) kalau ngomong selalu frontal, kan. Nah, orang Jawa nggak gitu. Ceplas-ceplos, tapi juga bisa menahan diri karena ada perasaan nggak enak,” terang Satria.
Ia mencontohkan ada sedikit kesamaan dalam hal bisa ceplas-ceplos, tetapi kemudian berbeda karena orang-orang sini kerap memilih memendam.
Satria merasa bahwa bahasa jadi tantangan paling berat. Ibunya memang orang Jawa Tengah asli tetapi berpuluh tahun lalu sudah merantau ke Medan. Sehingga ia harus belajar bahasa Jawa dari nol.
“Paling berat pastinya bahasa, karena saya berasal dari Medan, mau tidak mau saya belajar bahasa Jawa dari nihil dan akhirnya dalam waktu 1 tahun lebih 2 bulan saya mahir berbahasa Jawa pasar atau biasa disebut ‘Ngoko’,” katanya.
Suatu waktu saat dirinya belum pandai berbahasa jawa, ia pernah diusili oleh temannya. Ia diajari kosa-kata kasar yang kata temannya ‘artinya baik’. Kata yang diajari itu adalah ‘segawon’ atau ‘anjing’.
Ia sudah melewati fase ditertawakan karena pengucapan yang dianggap liyan dan lucu oleh teman-temannya yang berasal dari Jawa. Satria tak surut, ia berusaha terus menggunakan bahasa Jawa.
“Nah, sebenernya nggak masalah mau diketawain kek, mau dijadiin candaan sama orang asli Jawa kek, yang namanya orang belajar kalau ditekuni pasti ujung-ujungnya bisa ‘medok’ juga,” katanya.
Awalnya dia dibilang tak cocok berbahasa Jawa karena logat Medannya masih kental tetapi di saat semester 4 atau 5 ia malah dikira orang Jawa asli. Logat Medannya jadi hilang.
Untuk kromo inggil, Satria belum fasih. Ia mulai belajar kromo inggil saat melakukan penelitian di peternakan rakyat di Kabupaten Magetan pada Juli 2022.
Ngajak makan tapi bayar sendiri dan masih ada diskriminasi buat mahasiswa Timur
Gegar budaya itu juga dialami oleh mahasiswa Timur. Mereka kaget karena di sini ajakan makan itu ternyata bayar sendiri-sendiri.
“Ketika mahasiswa Timur (Papua) diajak makan bukan berarti dia (yang ngajak) yang bayar, melainkan bayar sendiri,” kata Nius Balingga (27), mahasiswa Universitas Merdeka Malang asal Jayapura.
Meskipun orang-orang yang diajak punya uang. Pada budaya yang dikenalnya, siapa mengajak dia yang harusnya membayar. Hal tersebut gegar budaya yang dihadapi Balingga.
“Fakta ini menarik selama saya hidup di perantauan Malang,” ujarnya.
Gegar budaya lain yang dihadapi Balingga terkait sudut pandang orang-orang terhadap identitasnya. Sebagai mahasiswa Papua, dirinya merasa bahwa orang-orang yang beridentitas sepertinya selalu dikaitkan dengan cap perusuh dan pemabuk.
Selain itu, Balingga kaget karena baginya orang Malang tidak bisa membedakan secara objektif mana mahasiswa-mahasiswa Timur yang bermasalah, dan yang tidak. Umumnya, mahasiswa asal wilayah Timur, terutama Papua, digeneralisir dalam satu kata sifat: rusuh.
Padahal, tak semua demikian, dan Balingga secara personal mencari cara agar cap itu pudar dan jika mungkin hilang sama sekali. Ia sebisa mungkin mengikuti kegiatan RT/RW supaya warga sekitar senang terhadapnya.
“Kita membawa dirilah, berusaha bicara dengan komunikatif dan tidak terlalu cepat, dan juga menjaga sikap,” imbuh Balingga.