Sediksi.com – Akhir-akhir ini teknologi HAARP sering dikait-kaitkan sebagai penyebab dari suatu bencana seperti gempa besar yang terjadi di Turki beberapa bulan yang lalu, atau yang baru berseliweran di Twitter menyebut tsunami aceh dahulu juga hasil rekayasa bencana dari teknologi HAARP.
Lalu benarkah tudingan-tudingan tersebut? Mari cek fakta tentang apa itu teknologi HAARP dan apakah betul teknologi ini seberbahaya itu bisa digunakan untuk mengancam keselamatan manusia?
Simak artikel ini sampai selesai untuk mengetahui fakta sebenarnya.
Konspirasi Bencana Alam
“TERKUAK…!!”
Seorang pengguna twiter baru-baru ini mengklaim bahwa CIA (badan intelijen pemerintah federal Amerika Serikat) adalah organisasi yang bertanggung jawab atas terjadinya bencana tsunami Aceh 2 dekade yang lalu.
Akun tersebut menuturkan bahwa CIA telah melakukan operasi rahasia dengan menggunakan teknologi HAARP untuk menghancurkan Aceh lewat tsunami.
Lebih parahnya lagi, katanya teknologi HAARP ini dapat digunakan untuk mempengaruhi iklim di seluruh dunia. Katanya climate change adalah hasil dari rekayasa teknologi tersebut, dengan mempercepat krisis melalui modifikasi cuaca.
Konspirasi serupa juga pernah diutarakan saat gempa bumi di Turki beberapa bulan yang lalu. Rekayasa gempa bumi melalui teknologi HAARP ditandai dengan fenomena sambaran petir sebelum terjadi gempa.
Ia menyebut bahwa fenomena tersebut adalah operasi yang dilakukan NATO atau Amerika sebagai operasi penghukum.
Konspirasi-konspirasi seperti ini oleh pakar bencana pernah dijelaskan secara ilmiah, Dikutip dari CNN, fenomena sambaran petir yang terjadi sebelum gempa merupakan peristiwa yang lumrah.
Daryono, sebagai Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteoroli, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan lebih detail kaitan antara pergerakan tektonik dengan petir.
“Saat batuan kulit bumi mengalami/mendapat tekanan yang hebat dan sangat kuat mendekati batas elastisnya, maka sebelum failure maka akan melepaskan gelombang elektromagnetik, dari sinilah awal cerita lightning during the earthquake, pencahayaan gempa “seismoelectric effect,” cuit Daryono dalam akun Twitternya menanggapi fenomena tersebut.
Peristiwa serupa sebenarnya juga pernah terjadi di Indonesia, saat gempa pada 16 februari 2014 di lereng utara Merbabu, Jawa Tengah.
Lebih lanjut Daryono mengatakan bahwa mengkait-kaitkan fenomena gempa tersebut dengan teknologi HAARP adalah angan-angan kosong.
Apa Itu Teknologi HAARP?
Lalu apa itu teknologi HAARP yang sebenarnya? HAARP, singkatan dari High-frequency Active Auroral Research Program atau dalam bahasa Indonesia yakni Program Penelitian Auroral Aktif Frekuensi Tinggi merupakan upaya ilmiah yang ditujukan untuk mempelajari sifat dan perilaku ionosfer.
Dikutip dari NASA ionosfer merupakan pertemuan atmosfer bumi dengan ruang angkasa. Ionosfer membentang kira-kira 50 hingga 400 mil di atas permukaan bumi, tepat di tepi ruang angkasa.
Bersamaan dengan atmosfer atas yang netral, ionosfer membentuk batas antara atmosfer bawah Bumi (tempat kita hidup dan bernafas) dan ruang hampa udara.
Menurut laporan dari University of Alaska Fairbanks teknologi HAARP adalah pemancar berfrekuensi dan berkekuatan tinggi yang paling mumpuni di dunia untuk mempelajari ionosfer.
Ada dua instrumen riset kunci pada program HAARP. Pertama, yakni The Ionospheric Research Instrument (IRI) yang merupakan sebuah transmitter bertenaga tinggi yang beroprasi di rentang frekuensi tinggi.
IRI ini bisa digunakan untuk secara temporer memicu area tertentu pada ionosfer yang bertujuan untuk studi ilmiah.
Kedua, adalah seperangkat instrumen ilmiah dan diagnostik canggih, yang digunakan untuk mengobservasi proses fisik yang terjadi di area tertentu itu (ionosfer)
Kedua instrument tersebut digunakan untuk observasi yang membuat para ilmuan dapat lebih jelas melihat dan mendapat pengertian yang lebih baik tentang proses yang terus terjadi di bawah simulasi alami Matahari.
Dikutip dari CNBC Indonesia, teknologi HAARP ini memang proyek dari Amerika Serikat, yakni proyek bersama Angkatan Udara AS dan Angkatan Laut AS pada tahun 1993 lalu kendali dialihkan ke University of Alaska Fairbanks pada tahun 2015.
Jadi, sudah tau bukan tentang apa itu teknologi HAARP, dan sebenarnya digunakan untuk apa? Teknologi yang satu ini sebenarnya ditujukan untuk meneliti ionosfer. Klaim sebagai teknologi penyebab bencana alam, gempa, banjir sampai perubahan iklim tidak dapat dibuktikan.
Baca Juga: 7 Teknologi yang Memelopori Metaverse