Sediksi.com – Sejak zaman dahulu, manusia sebagai makhluk sosial pasti punya upaya untuk memahami satu sama lain. Nah, dari situ muncul metode-metode untuk mengklasifikasikan kepribadian manusia lain agar lebih mudah memahami dan mengenal orang lain serta mempercepat proses pengidentifikasian secara sosial terhadap seseorang atau kelompok.
Pada zaman dahulu identifikasi tersebut umumnya mengacu pada geografis atau berdasarkan dari mana seseorang berasal. Seperti misalnya orang Arab itu begini, orang India itu begitu, dan sebagainya. Namun sekarang banyak metode yang digunakan, seperti zodiak, feng shui, weton, dan bahkan golongan darah.
Artikel ini akan menjawab apakah proses klasifikasi kepribadian berdasarkan golongan darah itu valid atau hanya sekadar isapan jempol? Simak ulasannya.
Stereotip Kepribadian Berdasarkan Golongan Darah
Menentukan kepribadian orang berdasarkan golongan darah adalah mitos dan tidak benar. Ada banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa golongan darah tidak ada kaitannya dengan kepribadian.
Pada tahun 2014 bahkan ada sebuah penelitian kolaboratif yang melibatkan 10.000 orang Amerika dan Jepang. Penelitian Kengo Nawata berjudul No Relationship Between Blood Type and Personality: Evidence from Large Surveys in Japan and the US itu bertujuan untuk mencari jawaban soal apakah golongan darah menentukan kepribadian seseorang.
Jawabannya tidak ada!
Jadi, menurut penelitian itu, penentuan kepribadian berdasarkan golongan darah itu tidak valid.
Dari Mana Mitos Kepribadian Berdasarakan Golongan Darah Berasal?
Memetakan kepribadian berdasarkan golongan darah ini sempat populer beberapa tahun lalu. Bahkan ada komik khusus yang mengukuhkan stereotip soal kepribadian berdasarkan golongan darah ini yang sempat ramai di Korea dan Jepang. Bahkan buku terjemahan cetak ulangnya sempat mengisi rak depan toko buku besar di Indonesia.
Stereotip atau mitos ini muncul pertama kali di Jepang pada 1927 yang mana pada saat itu terdapat tulisan yang dipublikasikan oleh Takeji Furukawa, seorang dosen di sekolah perempuan di Tokyo. Namun, gagasan ini berangkat dari sikap rasisme dan politis sebagai reaksi atas pemberontakan Taiwan pada tahun 1894.
Hal ini didasarkan pada persentase golongan darah dengan tujuan mendiskriminasi bangsa Taiwan. Kira-kira narasi yang dibangun adalah orang Taiwan yang lebih dari 40% bergolongan darah O adalah orang yang barbar, tidak mau mengalah, rakus, tidak suka berpikir, keras kepala, dan oportunistik.
Konsep kepribadian berdasarkan golongan darah ini lalu dihidupkan kembali oleh Masahiko Nomi pada 1920. Masahiko Nomi adalah seorang wartawan yang sama sekali tidak memiliki latar belakang medis namun sampai menerbitkan 9 judul buku yang membahas kaitan kepribadian dan golongan darah.
Ia mengadopsi ide dari Takeji Furukawa untuk membangun narasi soal superioritas orang Jepang, yang mayoritas bergolongan darah O dan A. Klasifikasi ini cenderung mengidentikkan orang dengan golongan darah O sebagai seorang yang memiliki sifat ksatria, samurai sejati, dan prinsipil. Lalu golongan darah A sebagai orang yang tertata, terstruktur, dan sempurna.
Sementara itu, orang dengan golongan darah AB diidentikkan sebagai kepribadian yang absurd dan tidak tertebak. Lebih parahnya lagi, orang dengan golongan darah B diidentikkan sebagai kasta terbawah dengan sifat yang pemalas, tidak dapat diandalkan, pemberontak, dan tidak dapat berkomitmen.
Dampak Stereotip Golongan Darah
Di Jepang, konsep kepribadian berdasarkan golongan darah atau dikenal sebagai kitsueki-gata ini masih banyak dipercaya. Bahkan sampai ke tahap yang serius terkait pekerjaan dan keprofesian. Misalnya pernah terjadi beberapa perusahaan di Jepang, termasuk Mitsubishi, yang mewajibkan calon karyawannya untuk melakukan tes golongan darah dalam proses rekrutmen karyawan.
Bahkan dalam budaya populer, kepercayaan ini masih melekat pada masyarakat Jepang. Misalnya biografi penokohan pada manga yang masih mencantumkan golongan darah sebagai klasifikasi sifat karakter, horoskop mingguan yang ditayangkan di acara TV populer berdasarkan golingan darah, dan bahkan penjualan buku pedoman kepribadian berdasarkan golongan darah yang setiap tahunnya bisa mencapai 5 juta kopi terjual.
Implikasinya tentu saja serius. Ada banyak kasus bullying berdasarkan golingan darah yang tercatat. Bahkan sempat dijadikan narasi politik, penentuan gaji atlit, dan bahkan pembagian kelas untuk anak-anak TK di Jepang.
Lalu mengapa kepribadian berdasarkan golongan darah menjadi populer dan seakan cocok dengan karakter pembaca? Nah, di sini terjadi cacat logika atau logical fallacy yang memengaruhi pembacanya. Lebih tepatnya adalah bias selektif atau cherry picking yang berarti hanya mengambil satu buah sampel yang menjadi representasi dari keseluruhan.
Analoginya, kamu mengambil buah ceri yang bagus dari sebatang pohon yang buahnya banyak busuknya lalu dengan serampangan menganggap bahwa semua ceri di pohon tadi sebagus buah ceri yang kamu ambil.
Dalam psikologi, fenomena ini disebut dengan barnum effect yaitu proses identifikasi diri yang bias oleh proses seleksi tadi. Misal dari 10 deskripsi tentang ciri-ciri golongan darahmu ternyata ada 4 yang cocok. Maka secara bawah sadar kamu membenarkan atau memvalidasi bahwa memang karaktermu seperti itu. Lebih parahnya lagi, kamu bisa saja mengdopsi sifat-sifat lainnya yang justru bukan berasal dari diri sendiri.
Sejarah Penemuan Golongan Darah
Penggolongan darah pertama kali dicetuskan oleh Karl Landsteiner pada 1901. Gunanya adalah agar transfusi darah bisa berjalan dengan sukses dengan membedakan golongan darah mana yang cocok antara si pendonor dan pasien yang menerima donor darah.
Jauh sebelum itu, transfusi darah telah lama dikenal oleh manusia. Misalnya tradisi di Yunani, Mesir, Eropa Utara, Amerika Tengah, dan Arab yang meminum darah sebagai bentuk kepercayaan bahwa mereka akan mewarisi kekuatan dari orang yang darahnya diminum.
Catatan pertama yang merekam hasil transfusi darah pada manusia secara medis bisa dilacak pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1665 di Inggris. Di mana Richard Lower, seorang medis melakukan transfusi darah domba kepada seorang pria ODGJ dibantu oleh Arthur King.
Dari hasil eksperimen fisiologis inilah, para medis setelahnya mengetahui bahwa transfusi darah untuk pasien memiliki kemungkinan berhasil dan gagal yang lumayan tinggi. Pada saat itu belum dikenal adanya penggolongan darah berdasarkan hemoglobin ini.
Sampai akhirnya Karl Landsteiner menemukan bahwa keberhasilan transfusi darah ini ditentukan oleh golongan darah. Golongan darah, secara umum ditentukan dari ada atau tidaknya zat antigen (eritrosit) pada permukaan membran sel darah merah yang dipengaruhi oleh jumlah protein dan karbohidrat pada sel darah merah.
Nah, transfusi darah yang golongan darahnya tidak cocok dapat menyebabkan pengentalan atau pembekuan darah yang berakibat pada kematian pasien. Atas penemuannya, Karl Landsteiner mendapatkan penghargaan Nobel di bidang fisioterapi dan kedokteran pada tahun 1930.
Karl Landsteiner mengklasifikasikan golongan darah berdasarakan antigen ini ke dalam 4 golongan. Yaitu A, B, AB, dan O. Pada golongan darah A terdapat antigen A. Pada golongan darah B terdapat antigen B. Pada golongan darah AB terdapat antigen A dan B. Pada golongan darah O tidak terdapat antigen A ataupun B.
Antigen adalah senyawa protein yang dapat memicu kekebalan tubuh. Fungsi antigen itu sendiri berguna untuk merangsang respon imun tubuh terhadap benda asing. Sehingga tubuhmu bisa terlindungi dari ancaman asing seperti penyakit.
Jadi kepribadian berdasarkan golongan darah memang tidak ada hubungannya, ya.