In each game there are only three minutes
and those of course sub individed into moments
that really matter
in three minutes you win or lose
Demikianlah senandung The Poetry of Johan Cruyff dalam Vrij Nederland, The Republic of Letters, Oktober 1993, yang menggambarkan bahwa sepak bola adalah sepenggal miniatur dari suatu kehidupan yang menyajikan berbagai kemungkinan di luar perkiraan nalar manusia.
Sepak bola tercipta dari berbagai kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan artifisial yang dibikin para seniman lapangan hijau. Semua itu ditentukan strategi bermain, kecerdasan sang pelatih, kelihaian skill individu, dan tentu saja, solidaritas kolektif dalam satu tim. Mereka lah yang akan menentukan berbagai kemungkinan itu.
Kita mungkin sering memprediksi pertandingan yang kita tonton. Tapi yaa belum tentu sebuah pertandingan yang kita prediksi akan benar-benar terjadi, sehebat apapun prediksi kita. Sehebat apapun klub kebanggaan dan idola kita. Seyakin-yakinnya prediksi Coach Justin, ujung-ujungnya kadang meleset juga.
Baca Juga: Sepak Bola Masih Hipokrit Soal Kemanusiaan
Apapun Dramanya, Terimalah Hasil Akhirnya
Kita tidak pernah mengira di tahun 1998, dalam sebuah gelanggang gelaran akbar kompetisi klub sepak bola Eropa akan terjadi peristiwa dramatis yang mengejutkan banyak publik.
Saat itu, Bayern Munich yang telah berada di ujung kemenangan 1-0 atas MU di babak final, terpaksa harus menerima kenyataan getir ketika Tedy Sheringham dan Olle Gunnar Solksjaer sama-sama mencetak gol kemenangan buat MU di penghujung laga. Jarak antara gol Sheringham (90+36 detik) dengan Olle hanya ditempuh dalam 112 detik saja!
Atau kita akan terpesona betapa kemungkinan berupa keajaiban itu telah membuat fans Liverpool bergumuruh pada final Liga Champions edisi 2004/2005.
Ataturk Olympic Stadium jadi saksi masih tersemainya harapan Steven Gerrard dkk., ketika tertinggal 3-0 dari Ac Milan di babak pertama. Gol Gerrard di menit ke-54, Vladimir Smicer dua menit kemudian, dan Xabi Alonso di menit ke-60 benar-benar mengukuhkan sebuah tesis bahwa keindahan sepakbola tercipta dari berbagai kemungkinan.
Skor pun imbang untuk keduanya, dan terpaksa harus dilanjut ke babak adu penalti. Nasib Milan kurang beruntung, sebab di babak inilah dewi fortuna justru lebih berpihak pada Liverpool. Steven Gerrard dkk., berhasil merengkuh tropi Liga Champions untuk kelima kalinya.
Sungguh dramatis! Nyaris tak ada yang mengira sebuah klub yang tertinggal 3-0 di babak pertama akan keluar sebagai kampiun. Tak mengherankan jika banyak media besar di tahun itu melukis laga tersebut sebagai “The Miracle of Istanbul”.
Ataturk Olympic Stadium akhirnya benar-benar menggelayutkan suasana campur aduk: muram, duka, nestapa, suka cita. Sebuah suasana dikotomi nasib yang dialami masing-masing fans.
Bagi fans Milan, tentu hal semacam itu begitu sulit diterima. Bagai pendaki yang hampir menancapkan bendera di puncak gunung, tiba-tiba tersungkur batu besar yang memaksanya terjerembab ke dalam sebuah tubir mengerikan.
Sebaliknya, bagi fans Liverpool ini adalah sebuah puncak kenikmatan dari menyenandungkan lagu kesohor mereka, “You’ll never walk alone”.
Demikianlah sepakbola. Ia adalah sebuah hidup yang sama sekali tidak dapat dihitung secara matematis, apalagi statis. Bukan pula hasil yang diperoleh dari meja para bandar besar dunia, melainkan dari lakon di lapangan.
Barangkali kita akan mengamini Cristiano Ronaldo yang dengan yakin pernah berujar, “Tak ada gunanya semua prediksi. Percuma membuat spekulasi karena tak ada yang terpahat di atas batu dan segalanya dapat berubah setiap saat dalam sepakbola,”
Benarlah puisi Cruyff di atas, dalam sepak bola kalah dan menang hanya ditentukan dalam tiga menit saja. Dalam situasai seperti itu, sebagai fans, kita dituntut untuk bersiap menerima berbagai kemungkinan.
Jika tidak, kerusuhan bisa saja terjadi, karena ego akan menyetir diri kita. Kita tak bisa menerima hasil akhir sebab tim kebanggaan kita kalah, karena kita tak bersiap diri dengan berbagai kemungkinan itu. Lalu, kita dengan gegabah menjustifikasi para pemain sebagai aktor kekalahan.
Seperti yang terjadi pada diri Humberto Munoz, salah satu kartel narkobar terbesar Kolombia, yang bertindak rusuh terhadap Andres Escobar, mantan pemain belakang tim nasional Kolombia, pasca Piala Dunia 1994. Escobar dibunuh secara tragis oleh Munoz lantaran gol bunuh dirinya saat Kolombia jumpa Amerika Serikat, sang tuan rumah Piala Dunia edisi 1994.
Gol bunuh diri Escobar membikin Munoz mengalami kerugian tak tertangguhkan, kalah dalam perjudian usai menggelontorkan uang cukup besar. Sebelumnya, Munoz dengan mantap menjagokan Kolombia berada di atas angin sebagai pemenang atas tuan rumah.
Justru di saat Munoz berkeyakinan seperti itu, ia lupa bahwa sepakbola digelar di atas panggung kemungkinan dan ketakterdugaan. Hingga berujung terhempasnya nyawa Escobar, sang aktor yang dianggap Munoz sebagai biang kekalahan.
Kasus serupa barangkali akan terulang kembali jika dalam diri fans tidak tertambat sebuah upaya untuk belajar terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Baca Juga: Sepak Bola dan Pemujaan Kolosal
Belajar Menerima Kemungkinan, Belajar Mengalami Realisme Nasib
Karena kemungkinan dalam sepakbola adalah bagian dari kontingensi realitas, maka sepak bola pelan-pelan mengajarkan kita untuk mengalami realisme nasib. Sepak bola senantiasa berada di antara dikotomi nasib; kalah dan menang, tawa dan tangis, keberuntungan dan kejatuhan.
Dikotomi nasib ini tentu saja berulangkali terjadi dalam ajang sepak bola. Kita mesti menganggap hal itu sebagai sebuah “kelumrahan”. Tak ada sesuatu yang mesti disesalkan. Sebab sepakbola tak hanya hadir membawa tawa, tetapi juga tangis.
Hal ini pula, yang dengan amat tegas, dinyatakan Shindunata dalam salah satu trilogi sepak bolanya, Bola di Balik Bulan. Bahwa sepak bola kerap melibatkan penontonnya untuk senantiasa berada di antara garis kemenangan dan kegagalan.
Nasib kesuksesan atau kegagalan, tidak terdeteksi dalam suatu pergumulan rentang waktu yang lama, melainkan tiba-tiba terjadi dalam perisitiwa tak terduga.
Tentu, semua orang telah bersepakat bahwa sepak bola memang tercipta dari dikotomi nasib. Dari berbagai kemungkinan-kemungkinan. Namun, tidak semua orang akan berlapang dada menerima hasil yang tercipta, terlebih jika nasib berupa kemalangan itu menerungku dirinya. Inilah pembelajaran tersulit dari sebuah tontonan sepak bola.
Yakinlah, berdamai dengan dikotomi nasib dalam sepakbola merupakan langkah awal melepaskan belenggu fanatisme yang kini menjerat kebanyakan fans. Jangan biarkan benih fanatisme itu menggerakkan anggota tubuh untuk bertindak rusuh.
Barangkali kita perlu meneguhkan sikap agar beterima pada kenyataan yang dihasilkan klub kebanggaan kita. Nikmati saja setiap derap irama yang terjadi.
Untuk kasus ini, belajarlah pada fans Emyu. Fans paling sabar, tidak pernah bikin kerusuhan, juga paling percaya proses. Yaa nggakk?
Intinya, berdamai dikotomi nasib adalah koentji dari segala kemungkinan yang akan terjadi. Hanya dengan cara seperti itu, sepak bola akan jadi tontonan yang berharga, yang kaya akan sederet permenungan-permenungan kemanusiaan. Semoga.