Dunia Ini Begitu Membenci Manchester United dan Saya Tahu Alasannya

Dunia Ini Begitu Membenci Manchester United dan Saya Tahu Alasannya

Dunia Ini Begitu Membenci Manchester United dan Saya Tahu Alasannya
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Tiap MU menderita kekalahan atau kesialan, dunia seketika bergembira. Seakan asupan gula, dalam sekejap sugar rush menjangkiti semua orang.

“Gak Emyu gak makan.”

Begitu celoteh para fans Manchester United atau MU (baca: Emyu) yang kesal saat timnya kerap dijadikan bahan konten di media sosial, terutama konten yang menyindir, menertawakan, atau mengolok-olok klub yang terletak di pinggiran kota Manchester ini.

Penggemar bola paham betul, istilah itu muncul sebagai respons fans MU yang merasa timnya teramat dibenci dunia.

Tiap MU menderita kekalahan atau kesialan, dunia seketika bergembira. Seakan asupan gula, dalam sekejap sugar rush menjangkiti semua orang.

Tak peduli tim yang mereka bela punya rekam jejak rivalitas dengan MU atau tidak. Pokoknya, keterpurukan MU adalah pusat hiburan bagi semua kalangan.

Pernyataan menohok pernah dilontarkan pegiat MU (karena ia enggan disebut pandit), Mohamad Fuad alias Bangfu. Katanya, di dunia ini hanya ada dua tipe manusia.

Pertama adalah fans MU dan kedua mereka yang tidak suka MU. Ini memang sekadar asumsi, tapi saya mengamininya.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai fans tim berjuluk The Red Devils (Iblis Merah) ini, sudah biasa rasanya ketika MU terpuruk, dunia ini justru terlihat lebih gembira.

Saya punya cerita soal ini, yaitu tentang teman saya yang merupakan penggemar Barcelona. Seyogiyanya, ia hanya akan gembira saat Barca menang, atau saat rival beratnya, Real Madrid, menderita kekalahan.

Aneh bin ajaib, ia juga memasukan penderitaan MU sebagai serotonin tambahan dari sepak bola.

Saya pernah bertanya padanya, mengapa ia ikut cawe-cawe saat MU kalah. Teman saya ini tak punya alasan khusus. Ia cuma bilang kalau MU kalah maka ia akan gembira.

Dan kawan Cules (julukan bagi pendukung Barca) saya ini ternyata bukan satu-satunya. Sebagian besar orang yang saya temui juga punya gelagat serupa.

Engagement adalah Kunci!

Dari sini bisa dilihat bahwa bukan hanya jumlah fans MU saja yang tinggi. Namun, ‘haters’ si Iblis Merah juga bisa dibilang sama-sama tingginya.

Ini kemudian menjadi sebuah kombinasi sempurna yang berujung pada tingginya tingkat eksposur terhadap klub pemegang 20 gelar juara liga Inggris ini.

Jurnalis olahraga kenamaan, Ilhamzada, melalui akun Twitter-nya Maret lalu, mengatakan bahwa MU memang menjadi salah satu tim dengan engagement tertinggi di media massa.

Sementara di media yang ia geluti saat ini, berita MU cuma kalah dari bulu tangkis dan Timnas Indonesia.

Tak heran jika di beberapa momentum, Manchester United kerap dijadikan bahan konten oleh mereka yang berkecimpung di dunia olahraga. Dan bahkan, sekaliber perusahaan penyedia jasa trasnportasi, perbankan, hingga brand kondom pun ikut-ikutan.

Selanjutnya, data dari Conviva pada 2022 lalu menunjukkan bahwa MU adalah tim dengan engagement tertinggi di antara klub-klub top Eropa dengan total 2 miliar interaksi, mengalahkan Barcelona (1,6 miliar) dan Real Madrid (1,4 miliar).

Kepulangan sang megabintang, Cristiano Ronaldo, ke Old Trafford pada saat itu menjadi salah satu sumber tingginya perbincangan soal MU.

Meskipun demikian, data Conviva lebih lanjut memperlihatkan bahwa MU sebenarnya bukan tim terpopuler dari sisi jumlah pengikut. Per Mei 2022, total pengikut Real Madrid di Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube berada di angka 281 juta, diikuti Barcelona dengan 267 juta, dan MU 170 juta.

Terlepas dari hal itu, MU agaknya masih jadi tim yang paling konsisten dibicarakan. Alasan masuk akalnya tentu karena MU adalah kontestan liga Inggris, yang mana jadi kompetisi paling disorot di dunia saat ini.

Dunia seolah lupa, bahwa klub besar lain seperti AC Milan, Inter, Juventus pernah dan bahkan masih cukup menderita.

Dunia akan cepat lupa karena mereka bermain di Serie A. Sekejap dibicarakan, setelahnya hilang menguap. Karena MU akan datang sebagai penghibur tiada tara.

Kebencian Terhadap MU: Dulu dan Sekarang

Alasan berikutnya, barangkali karena MU selalu punya momentum untuk dibercandai, terlepas dari bagaimana performa tim secara menyeluruh. Seperti musim lalu saat Iblis Merah takluk 7-0 dari rival abadinya, Liverpool.

Kenyataan bahwa MU finis lebih baik dari Liverpool di akhir musim 2022/2023 serta berhasil memenangkan trofi tak serta-merta mengubur aib ini. Bayangkan, dengan momentum yang sedang bagus pun kesialan masih menimpa MU.

Tidak perlu mengambil contoh aib-aib MU dalam satu dekade terakhir. Bahkan ketika masih dibesut Sir Alex Ferguson pun, tim ini juga menciptakan aibnya sendiri.

Kekalahan 1-6 di Old Trafford atas rival sekotanya, Manchester City, akan selalu diingat bersama selebrasi “Why Always Me” dari Mario Balotelli.

Fakta terakhir mematahkan anggapan bahwa MU baru mulai dibenci setelah Fergie (sapaan akrab Sir Alex Ferguson) tak lagi mengunyah permen karet di depan bench pemain.

Ini lantas mengingatkan saya pada media olahraga kenamaan Bleacher Report (BR Sports) yang beberapa kali mengunggah tulisan bernada kebencian MU.

Di antaranya ialah “10 Reasons to Hate Manchester United” atau “Manchester United, the most Hated club in the world?” Tulisan itu sendiri terbit pada 2008, tahun di mana Iblis Merah berhasil memenangkan Liga Champions dan Premier League.

Kebencian terhadap MU di masa itu tentu saja berbeda dengan sekarang. Ia tidak didasarkan pada momentum bapuk klub, melainkan—asumsi kuatnya—karena sebagian besar warga dunia iri dengan kejayaan King Emyu bersama Fergie.

Tapi kembali lagi triggered-nya adalah momentum. Pada 1999, MU menciptakan keajaiban di final Liga Champions saat menang dramatis 2-1 lewat sepasang gol di injury time, yang sekaligus mengukuhkan Iblis Merah sebagai tim Inggris pertama yang meraih treble winners.

Selanjutnya pada 2008, MU bersama Cristiano Ronaldo—pemain paling populer saat itu hingga saat ini—kembali menjadi jawara Liga Champions.

Dua momen akbar di atas serta dominasi MU selama 2 dekade disebut-sebut menjadi pemicu tingginya glory hunter atau penggemar dadakan berdasar kejayaan.

Dan sejak saat itu, separuh dunia seolah membenci MU. Karena popularitasnya serta kejayaannya yang tak kunjung runtuh. Seperti kata pepatah, makin tinggi pohon makin kencang anginnya.

Saat kejayaan itu memudar seiring dengan pensiunnya Fergie pada 2013, kebencian terhadap MU semakin menjadi-jadi. Keterpurukan sang Iblis Merah nampaknya menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh para pembenci MU setelah sekian lama.

Memang para fans Manchester United harus sadar, mau bagaimanapun kondisinya klub ini selalu akan dibenci. Bahkan bisa jadi seperti cinta.

Banyak yang membenci MU baik dengan atau tanpa alasan sekalipun. Dan banyak yang percaya, bahwa cinta dan benci itu tipis batasnya.

Jadi, teruntuk para fans setia Iblis Merah. Masih kuatkah mentalmu mendukung King Emyu di tengah berbagai masalah, baik di dalam maupun di luar lapangan, yang tanpa ampun terus menerpa? Mari kita lawan dunia!

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis
dicky setyawan

Dicky Setyawan

Insan daerah. Suka merokok sebelum sikat gigi.
Opini Terkait
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel