Dracula adalah seorang bangsawan. Seorang mantan panglima perang di abad ke-15, masa dimana perang salib berakhir. Pengabdiannya terhadap gereja berhenti, sejak ia merasa dikhianati Tuhan. Kematian Elisabeta, istrinya, dirasa tak sebanding dengan perjuangan keras hidup dan mati dalam membela jalan Tuhan. Dracula menjadi Vampir, hidup abadi dalam sebuah kastil, di Transylvania.
Empat abad berlalu. Tahun 1897, Dracula mengetahui ada wanita mirip Elisabeta di London, Inggris. Kenangan manis bersama sang istri kembali memenuhi hari-harinya. Romantika kisah Dracula pun dimulai sejak saat itu. Kesan mengerikan dalam film Bram Stoker’s Dracula tenggelam ke dalam drama percintaan antara Dracula dengan Wilhelmina Murray alias Mina.
Francis Ford Coppola, sengaja tak mengeksplorasi sisi menyeramkan pada diri Dracula. Film yang diadaptasi dari novel Bram Stoker yang diterbitkan pada 1897 itu, lebih menonjolkan karisma Dracula sebagai seorang pecinta sejati. Ini mengundang kritik dari penggemar film horor pada zaman itu. Namun, tak berarti film ini gagal. Film ini sukses besar dengan meraih tiga piala Oscar dan pendapatan melimpah, $ 215 juta dari budget $ 40 juta.
Oh iya, mendengar kata Vampir dalam Bram Stoker’s Dracula mungkin pembaca akan mengingat Twilight Saga, film vampir kekinian yang pada penayangannya mendapat respon positif sekaligus Baper dari para remaja. Namun, saya menyarankan bila ada yang tertarik menonton film Dracula, lebih baik tidak mengingat alur cerita dalam film Twilight Saga.
Mari bersikap bijak. Film ini dirilis 13 November 1992. Saat itu saya masih berusia 6 bulan 3 minggu 6 hari. Stephenie Meyer sang penulis Twilight masih jadi ABG labil, usianya baru 18 tahun 10 bulan 2 minggu 6 hari. Sedangkan anda, anda, anda dan kamu, iya kamu, pada saat itu sedang menangis cantik di gendongan bidan atau dokter bersalin.
Jadi, ketika mengetahui dalam film ini, Dracula si vampir bisa berubah menjadi manusia serigala, maka sungguh tak bijak bila anda berkata, “film macam apa ini? Kok bisa vampir berubah jadi manusia serigala. Dasar sutradara kampungan! Pasti gak pernah lihat Twilight”. Helloooww, itu tali sepatu udah diikat? Atau masih terurai kayak saraf otakmu?
Oke, back to topic. Begini pembaca sekalian, pada delapan menit pertama dalam film ini, saya sudah dipertontonkan dua kali adegan ciuman. Hal ini membuat saya menebak, bakal ada adegan-adegan erotis lainnya dalam film tersebut. “Ah, tak ada bedanya dengan film horor Indonesia zaman sekarang,” keluh saya saat itu.
Tebakan saya pun terbukti. Beberapa kali adegan mempertontonkan wanita yang tengah bertelanjang dada, memperlihatkan payudara secara utuh, lengkap dengan puting susunya. Namun, ada nuansa berbeda saat menonton artis dalam film ini memerankan adegan menantang itu. Meski payudara mereka terlihat secara utuh, lantas tak menghilangkan kesan mistis. Entah saya yang bodoh atau bagaimana, menurut saya, pertunjukan bertelanjang dada para wanita tersebut justru membuat adegan tersebut lebih hidup. Inikah yang dimaksud erotika dalam seni?
Berbeda dengan aksi Dewi Persik, Julia Peres, Nikita Mirzani, Tyas Mirasih, maupun Sinta Bachir. Mereka memang tak sampai mempertontokan puting susu, hanya sebatas belahan dada atau punggung tak berbusana. Meski begitu, apa yang mereka jadikan alasan, erotisme dalam seni, tak begitu kental dirasa.
Gerak tubuh dan raut wajah saat beradegan panas, tak se-elegan para wanita dalam film Bram Stoker’s Dracula. Alih-alih disebut seni, lekuk tubuh dan kenakalan tak wajar para wanita tersebut jadi terkesan sebatas upaya sutradara di balik layar untuk memancing “burung” pria berdiri.
Meskipun begitu, saya patut akui, kedua film di atas sama-sama menjual sensualitas wanita sebagai “barang dagangan” atau komoditas utama. Sebagaimana Afrizal Malna pernah menyebutkan, keindahan tubuh wanita hanya menjadi alat personifikasi sineas untuk kepentingan industri.
Di luar itu semua, saya masih memberi apresiasi terhadap film horor Indonesia. Sebab, film horor Indonesia masih lebih terhormat. Setan wanita Indonesia punya kehendak dan otoritas, pasca kematian mereka. Meski semasa hidupnya, hanya menjadi korban arogansi pria.
Lihat saja film-film horor masa kini. Seorang wanita akan jadi setan, setelah pria diculik, diperkosa, dibunuh, kemudian dibuang. Lalu bangkit untuk membalaskan dendam. Dan setelah bangkit, memiliki kekuatan dan kuasa untuk berkehendak. Ya, sampai pada momen itu, para setan tengah memperjuangkan feminisme. Feminisme orang mati. Ini lebih baik, daripada vampir di Bram Stoker’s Dracula, yang lebih mirip budak iblis.
Hal lain yang saya dapati ketika menonton film ini, adalah latar belakang setan-setan dalam dunia barat dan Indonesia. FYI, novel Bram Stoker tentang Drakula adalah novel yang mampu mengubah persepsi visual masyarakat Inggris terhadap vampir. Sebelumnya, vampir digambarkan sebagai monster haus darah yang menyeramkan. Namun, pasca novel ini diterbitkan, penggambarannya berubah. Stoker lebih menonjolkan kebangsawanan vampir, dibandingkan wajah ganas dirinya.
Nah, kenapa orang-orang Indonesia tak mencoba cara ini? Bukankah keren, bila genderuwo tidak tinggal di atas pohon melainkan istana, pocong tak tinggal di kuburan melainkan di hotel, kuntilanak tak tinggal di terowongan melainkan di apartemen, dan sundel bolong tak meminta kerupuk melainkan pizza?
Atau, agar lebih keren dan tak selalu terkesan kejam, pegiat film Indonesia bisa mengganti peran para setan yang biasanya mengganggu orang-orang, menjadi pahlawan super penyelamat dunia. Mereka berkelompok dan membentuk kesatuan untuk melawan kejahatan di Indonesia.
Pasti seru, melihat pocong, kuntilanak, genduruwo, kolong wewe, tuyul sampai sundel bolong, bersatu padu melawan Jokowi, SBY, Setya Novanto, Aburizal Bakrie, Ahok, serta pejabat lain yang (dalam film) selalu memihak koorporasi dan tak peduli rakyat kecil.
Kemudian ditambah bumbu-bumbu cinta antara setan dan manusia pada film tersebut. Misalnya, di tengah pertarungan, hati genduruwo berkecamuk. Atas nama keadilan, ia harus membunuh Luhut Panjaitan agar negara ini bebas dari boneka-bonekaan. Namun, hal itu tidak bisa ia lakukan, karena Luhut Panjaitan adalah ayah kandung dari Rengganis yang diperankan Chelsea Islan, wanita yang telah dipacarinya selama lima tahun. Ia takut, ketika Luhut mati di tangannya, Rengganis pergi meninggalkannya dan memilih nikah dengan sang mantan, yang tidak lain adalah Gundala Putra Petir.
Namun sepertinya, sekalipun ada pegiat film yang berinisiatif menggarap jalan cerita tersebut, belum tentu film ini diizinkan tayang. Bukan karena para setan tak ingin tampak baik, melainkan karena para pejabat tak akan mau masyarakat menganggap mereka lebih busuk daripada setan. Bukan begitu?