Mencurigai Spongebob Sebagai Antek Kapitalis

Mencurigai Spongebob Sebagai Antek Kapitalis

Spongebob merasuki dunia anak-anak, lalu apa yang terjadi pada penontonnya saat di usia dewasa?

Sejak kecil saya rajin menonton kartun ini di Gl*bal tv. Bagi saya, mulanya kartun Spongebob hanyalah sebuah hiburan belaka yang diisi dengan gelak tawa riang gembira dari si tokoh utama yakni Spongebob Squarepants. Sebatas itu.

Tapi semakin ke sini, saya justru mencurigai bahwa kehadiran karakter Spongebob memiliki maksud picik. Kisah hewan bawah laut dari filum porifera dengan etos kerja luar biasa ini nampak bukan hiburan untuk anak-anak walau terdapat label SU (Semua Umur) yang artinya boleh ditonton oleh semua usia di atas 2 tahun.

Mengutip Uberfacts, 25% penonton kartun Spongebob adalah orang dewasa yang tidak memiliki anak. Tentu mereka tak punya alasan “menemani anak nonton”. Data yang lain, sebuah survei di Inggris di tahun 2019 juga menyebutkan kalau 40% dari total 1 juta responden penonton usianya di atas 16 tahun. Lah!

Mengapa banyak penggemar kartun absurd ini adalah orang dewasa? Apa maksud lain dari popularitas tokoh Spongebob yang seakan mengamini semangat ‘Kerja, kerja, kerja!‘ sekalipun ia bekerja di bawah tekanan seorang bos kapitalis bernama Mr. Krabs?

Kerja, kerja, kerja ala Spongebob

Alih-alih sebagai tontonan yang menemani waktu sarapan anak-anak sebelum berangkat sekolah, kuat kecurigaan saya bahwa keberadaan tokoh Spongebob merupakan upaya mempengaruhi penonton agar tertanam mental workaholic sejak dini.

Spongebob merupakan gambaran ideal tentang seorang pegawai yang teladan, disiplin, terbaik, dan loyal. Tentunya demi keuntungan perusahaan. Semua itu berasal dari segala hal yang baik-baik dari sudut pandang kapitalis pemilik perusahaan, siapa lagi kalau bukan Tuan Krabs.

Sepanjang waktu, bahkan di luar jam kerja, Spongebob mengenakan pakaian kerja yang rapi, sopan, serta kemeja putih berkerah lengkap dengan dasi merahnya yang merepresentasikan bahwa seorang pekerja yang baik harus totalitas dengan pekerjaannya. Hidup untuk bekerja, bukan sebaliknya.

Spongebob yang disiplin, sangat pantang untuk telat datang ke tempat kerja sebagaimana yang ditunjukkan dalam episode “New Digs”. Dalam episode ini, Spongebob terlambat kerja hanya satu menit saja, namun ia merasa berdosa sepanjang hidupnya. Bahkan ia rela tinggal dan tidur di Krusty Krab atas kemauannya sendiri sebagai wujud totalitasnya dalam bekerja.

Wajar bila ia mendapatkan penghargaan sebagai pegawai teladan sebanyak 374 kali berturut-turut sebagaimana yang ada dalam episode “Employee of the Month.”

Lagi-lagi, ini menguatkan kecurigaan saya jika karakter ini dibentuk untuk mempengaruhi standar nilai di masyarakat. Bahwa masyarakat kelas pekerja harus memiliki etos kerja tingkat dewa sebagaimana Spongebob.

Selain etos kerja, loyalitas adalah kunci kesuksesan bagi setiap atasan pekerja. Misalnya dalam episode “Squeaky Boots”, Spongebob rela tidak digaji berbulan-bulan hanya untuk mendapatkan sepatu berdecit. Begitupun dalam episode “One Krab’s Trash”, Spongebob rela tidak digaji berbulan-bulan hanya untuk sebuah topi minum soda bekas.

Itulah pentingnya untuk mengabdi pada atasan. Tak perlu banyak tanya, apapun yang atasan perintahkan tugas kita hanya melaksanakannya.

Gambaran karakter Spongebob yang bahkan rela “digobloki” majikan itu dapat dilihat sebagai upaya menanamkan nilai ideal kepada anak-anak yang menontonnya. Apalagi kalau bukan buat mencetak generasi kelas pekerja dikemudian hari yang menguntungkan para kapitalis.

Bagaimana Kehidupan Penonton Spongebob Saat Ini?

Serial Spongebob Squarepants bisa dilihat dari kacamata industri budaya dari Adorno dan Horkheimer. Spongebob memungkinkan, memengaruhi, dan memanipulasi kesadaran para konsumennya untuk pemenuhan motif ekonomi kapitalis.

Artinya, penggambaran Spongebob yang bekerja dalam film dapat diterima dan dikonsumsi dengan mudah oleh masyarakat sebagai tontonan hiburan. Kartun ini menciptakan sebuah kesadaran palsu yang dimasukkan ke dalam idealisme pribadi konsumen dengan dipandang ‘hanya’ sebagai sebuah film.

Film hingga saat ini masih menjadi jenis industri budaya yang paling ampuh untuk memengaruhi masyarakat dengan cara yang lembut, halus, bahkan tidak disadari langsung oleh masyarakat. Tau-tau, ujug-ujug, masyarakat terlena, meresapi film, bahkan menauladani sebuah tokoh dalam film.

Jika diperhatikan lagi, karakter Spongebob bukanlah anak-anak, melainkan orang dewasa yang memiliki pekerjaan sebagai koki masak di sebuah restoran lokal yakni Krusty Krab. Hanya tingkah lakunya yang digambarkan periang dan kekanak-kanakan meskipun sebenarnya memiliki usia dewasa.

Lantas mengapa film ini seakan diperuntukkan hanya untuk anak-anak? Suasana pada setiap episodenya cenderung serupa: riang gembira dan penuh gelak tawa. Ya hal ini karena ia berusaha mendominasi, menarik perhatian, dan memancing kedekatan para penontonnya. Singkat cerita, Spongebob sangat mengerti dunia anak-anak.

Eh tapi, kenapa banyak penggemarnya di usia dewasa? FYI, Spongebob udah ada sejak 1999. Sudah lebih dari dua dekade sehingga memenuhi syarat nostalgia.

Kalau kita cek google trend, volume pencarian kata kunci yang berkaitan dengan Spongebob mencapai puncaknya di tahun 2019. Humor yang ada dalam kartun ini seakan ikut tumbuh mengikuti usia penontonnya.

Saat ini, sebagian penggemar Spongebob di masa kecil mungkin sudah bekerja sebagai waiters, juru masak, atau pekerjaan lainnya yang jika digolongkan berada di kelas buruh. Di usia matang dengan kehidupan pekerjaan yang tak jauh berbeda dengan Spongebob, nostalgia itu datang.

Belum ada bukti cukup untuk mengatakan bahwa Spongebob berhasil meng-influence jutaan anak di seluruh dunia menjadi seorang buruh ideal ala Spongebob. Sebagian di antaranya, mungkin justru mengidolakan Squidwards Sang Pemberontak. Meski itu tak banyak mengubah keadaan karena keduanya hidup di bawah sistem yang sama bernama kapitalisme.

Editor: Fajar Dwi Ariffandhi
Penulis
Mohammad Maulana Iqbal

Mohammad Maulana Iqbal

Terkadang sedikit halu. Juru ketik tugas anak SD asal Gresik.
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel