Skena musik di Indonesia hari ini kayaknya mulai lesu. Karya musik yang lahir hanya jadi fenomena, tak mampu melegenda.
Kebanyakan orang sepertinya sepakat kalau puncak kejayaan musik di Indonesia itu ada di tahun 90-an hingga awal 2000-an. Semua karakter lagu hampir ada dan banyak yang berhasil komersil.
Mulai dari punk, rock, hingga jazz. Musisi pada masa itu tidak hanya memikirkan bagaimana supaya karyanya laku di pasaran. Lebih dari itu, karya yang dilahirkan punya kualitas yang bisa dibanggakan.
Buktinya, lagu-lagu pada zaman itu kembali dibawakan musisi masa kini, entah itu di cafe atau di-remake dengan jenis sound modern. Lagu Kangen-nya Dewa, misalnya.
Generasi sekarang bisa tahu dan menyukainya bukan karena kebetulan, atau karena band Dewa masih eksis. Tapi, karena kualitas lagu itu yang berhasil melintasi zaman.
Sebenarnya cukup sulit mengukur kualitas sebuah karya musik karena pada akhirnya semua akan kembali pada selera pendengarnya. Sementara itu, selera pendengar tidak bisa disalahkan. Tapi, bisa diarahkan, kok.
Fenomena vs Legenda
Lagu-lagu pop dan dangdut Jawa yang populer dengan istilah “ambyar” dulunya hanya akrab di telinga kalangan tertentu. Sekarang musisi yang berada di jalur itu sudah mendapatkan panggung yang lebih berkelas.
Salah satunya Denny Caknan yang belakangan mencuri perhatian. Video klip-nya bahkan mencapai angka ratusan juta kali ditonton.
Padahal dulunya, tipe lagu seperti itu hanya populer di kalangan orang pinggiran. Faktanya, lagu seperti itu sudah pernah eksis di masa lalu karena jasa sang maestro, almarhum Didi Kempot.
Lalu, ada fenomena musisi indie yang dilabeli musik “senja”. Ia biasanya memiliki karakter lagu folk dengan instrumen yang tidak ribet dan lirik yang puitis. Float dan Sore sudah pernah melakukannya.
Atau, dengan formula musik yang sama tapi dengan lirik yang lebih gamblang dan kritis macam Iksan Skuter. Iwan Fals di masa lalu pun sudah pernah mempopulerkannya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, apa yang membuat karya musik tahun 90-an bisa melintasi zaman? Karena mereka menawarkan apa yang tidak ditawarkan kebanyakan pasar.
Padi, Dewa, Sheila on 7, dan Gigi, misalnya, memainkan jenis musik yang berbeda dan diterima masyarakat dalam era yang sama. Mereka memang masih berada dalam jalur mainstream, namun lebih bervariasi.
Baca Juga: Menjadi Jomblo Idealis Seperti Morrissey
Sementara musisi sekarang agaknya cenderung FOMO. Jika berhasil pada satu formula, maka formula itu kemungkinan besar akan dipertahankan tanpa pembaharuan. Baru kemudian kelabakan kalau trend-nya sudah berganti.
Contohnya, solois Nadin Amizah dengan karakter suaranya yang khas dan liriknya yang puitis. Saat ini masih diterima, tapi tidak ada jaminan akan bertahan lama. Karena semua lagu yang ia rilis punya formula sama. Lagu Sorai, Rumpang, Seperti Tulang, hingga Bertaut terasa seperti boneka Barbie yang ganti kostum saja.
Selanjutnya, Fourtwnty. Dari album pertama hingga sekarang juga tidak jauh berbeda. Kasarnya, hanya ganti lirik. Saat ini masih digemari, namun perlahan telinga kita akan bosan dengan suguhan musik yang itu-itu saja.
Hal ini juga tidak jarang mengakibatkan antara karya satu dan lainnya jadi jomplang. Karya sebelumnya viral, karya selanjutnya biasa saja.
Baca Juga: Bikin Media Musik Itu Nggak Gampang!
Panggung Konser sebagai Parameter Paling Adil
Berapa banyak musisi era sekarang yang punya fans fanatik seperti Sobat Padi, Baladewa, atau Slankers, yang benderanya berkibar di mana-mana?
Para penggemar ini bukan hanya fanatik, tapi juga loyal. Jangan melihat dari sisi kemungkinan rusuh saat konser. Tapi, lihat bagaimana mereka menjaga denyut musisi favoritnya hingga konser mereka saat ini masih terus digemari.
Mari kita bandingkan penonton konser musisi masa kini dengan penonton konser musisi tahun 90-an. Terlihat sama-sama ramai. Tapi, jumlah penonton hanya sekadar angka.
Lebih dari itu, kita mesti melihat karakteristik penontonnya. Terakhir kali Sheila on 7 menggelar konser di Jakarta, penonton yang hadir tidak hanya datang dari berbagai era, tua dan muda. Namun juga dari berbagai macam kalangan, mulai dari warga lokal, penggemar dari kota lain, hingga kalangan artis dan selebriti.
Atau, berkaca pada konser Dewa yang memenuhi stadion. Itu hanya sekadar angka, tapi lihat dulu siapa yang nonton. Mulai dari orang biasa, selebriti, sesama musisi, hingga pejabat datang dengan status yang sama, sebagai Baladewa.
Kalau Slank, tidak perlu ditanya lagi, ya. Bahkan, saat konser musisi lain, bendera Slankers tetap berkibar.
Semua itu bukan sekadar fenomena. Karena setiap kali mereka menggelar konser, kejadian yang sama terulang kembali. Ini yang disebut legenda. Semua pencapaian itu tidak akan didapatkan kalau karya mereka biasa-biasa saja.
Padahal kalau boleh jujur, jalur mereka di industri musik dulu jauh lebih sulit. Belum ada media sosial, biaya rekaman masih mahal, dan sumber daya tidak selengkap sekarang.
Tapi, lagu mereka begitu mudah dikenang. Bukan hanya lirik, namun juga intro hingga melodinya yang begitu mudah diingat dan terngiang-ngiang di kepala.
Lalu, mengapa parameternya konser? Karena panggung adalah bahan paling adil untuk menilai kualitas musisi. Kalau dari media penyebaran, tentu keduanya sudah berbeda. Dulu masih pakai kaset atau CD, sekarang sudah bisa jualan streaming online.
Intinya, mereka bisa, kok, membuat musik yang tidak “murahan” dan variatif, tapi tetap laku di pasaran. Sekarang keadaannya berbalik. Pasar yang mengontrol musisi. Akhirnya, para musisi terkesan takut eksplorasi.
Musisi yang idealis hanya bertahan di jalur tertentu. Ketika keuntungan berkurang, maka mau tidak mau banting setir menelurkan karya yang sedang viral.
Akibatnya, telinga kita kekurangan pilihan. Musisi pun tak lagi semangat mengeluarkan satu album utuh karena takut jika lagu-lagu lainnya tak selaku single-nya.
Salah masyarakat? Bukan. Selera memang tak bisa dipaksakan. Tapi, apresiasi terhadap karya berkualitas bisa dibiasakan.