Seperti Aldi Taher, Mimpi Punya Media Musik itu Perlu Dieksekusi, Bang!

Seperti Aldi Taher, Mimpi Punya Media Musik itu Perlu Dieksekusi, Bang!

Aldi Taher dan Mimpi Punya Media Musik
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Aldi udah tahu, kalo parpol itu dari logika internalnya udah cacat. Apalagi praktisnya. Ya begitu-begitu aja. Stagnan. Kayak media musik.

“Emang manusia gak bingung, manusia di dunia ini semuanya bingung. Nanti kalo udah di Surga baru ga bingung!”

Untuk Bang Randy Levin Virgiawan, kutipan ini datang dari mulut Aldi Taher. Bagi saya, Aldi itu jenius. Berani lempar gagasan atas mimpi idealnya ke partai politik langsung. Ikut dua partai sekaligus, pula. Mana ada politisi Indonesia yang seprogresif dan seberani Aldi Taher? Yang fana waktu, Aldi abadi.

Aldi udah tahu, kalo parpol itu dari logika internalnya sendiri udah cacat. Apalagi praktisnya. Ya begitu-begitu aja, kongkalikong elit politik, pemodal sama pemerintah. Stagnan. Kayak media musik yang Bang Randy utarakan itu. Ya walaupun Aldi bingung, tapi jawabannya jujur dan filosofis. Dunia ini nggak bisa kita pahami sepenuhnya. Kita sama-sama bingung kok.

Dalam tulisan ini, saya nggak bermaksud buat ngebanding-bandingin Bang Randy dengan Aldi Taher, kok. Siapa saya. Beda musisi, beda panggung pastinya. Tapi saya kepikiran bahwa cara Aldi Taher kayaknya bisa memecah kebuntuan dan stagnansi di media musik yang Bang Randy resahkan itu.

Baca Juga: Mengintip Isi ‘Celana Dalam’ Jurnalisme Musik di Tanah Air

Biar Hidup, Media Musik Harus Adaptif

Bang Randy, emang sih selera pembaca itu menentukan. Saya mengamini itu. Tapi, kayaknya terlalu jahat juga kalo bilang media sosial itu membunuh jurnalisme musik.

Meskipun perlu ngos-ngosan kayak parade militer latihan di selokan sambil telentang tertatih, saya percaya kalo pasar bisa dibentuk. Ya meskipun sekrup-sekrup cara pandang lama tentang pasar perlu diperbaharui. Misalnya trend rating musik ternama di Indonesia.

Nah, Indonesia ini nggak jelas dan abstrak. Segmen pasar yang perlu diperjelas barangkali. Tentang kematian jurnalisme musik, barangkali ini tantangan. Kita percaya pengetahuan itu modal dasar buat memahami musik. Pengetahuan adalah penopang peradaban, dan jurnalisme harus jadi bagian itu.

Apa yang perlu dilakukan adalah jurnalisme mesti adaptif memanfaatkan teknologi informasi yang bejibun dan dengan cara yang menarik. Kayak apa yang dilakukan Aldi Taher biar terus eksis dan cuan itu. Perkembangan teknologi kan, keniscayaan.

Kalau Media Musik Adalah Jalan Sunyi, Ramaikan Saja!

Kalo menengok sejarah beberapa Jurnalis yang menghibahkan diri buat jadi jurnalis musik profesional, mereka semua nggak main-main.

Misal Denny Sakrie, Almarhum, pernah nulis antologi liputan judulnya 100 Tahun Musik Indonesia. Meskipun gak mendalam masalah kritik, tapi dia coba mengulas perkembangan genre musik di Indonesia lewat periodesasi genre. Jadi kayak ngelompokin masing-masing genre per era gitu. Asik sih.

Atau yang saya paling suka itu, Om Remy Sylado, Alm. Dia sebagai kritikus, musisi, dan jurnalis musik adalah paket lengkap. Banyak genre, musik, dan pop kultur yang dia ulas dan dia kritik. Misalnya dia pernah ngulas tentang lagu-lagu bertema cinta secara lirikal yang itu-itu aja.

Oh iya, satu lagi, soal pengamat musik. Buat menopang keberlanjutan jurnalisme musik, peran pengamat ini juga punya peran penting. Pengamat yang memang punya basic ilmu pengetahuan tentang musik. Misalnya kalo di dunia jazz ada Tjut Nyak Deviana Dausdjah yang paham betuk tentang oper-mengoper kebudayaan jazz dari tiap benua.

Atau bahkan kayak apa yang juga diluapkan Bang Randy di dalam tulisan soal musik itu, menurut saya asik dan keren.

Kadang saya juga punya mimpi kayak Bang Randy yang kayaknya asik bikin eksperimen tentang jurnalisme musik. Ya meskipun saya belum punya pengalaman sebanyak itu. Tapi saya yakin pasti pasar ada kok bang, yok lanjutin mimpinya, bang.

Intinya, masih banyak kok orang-orang yang rela meramaikan dunia media musik yang sepi-sepi aja. Kalo menempuh jalan di media musik menurut Bang Randy adalah jalan penuh kesunyian, mari ramaikan!

Media Musik Perlu Belajar dari Aldi Taher

Kira-kira nih bang, perlu nggak, punya studi khusus tentang musik itu sendiri? Misalnya ikut belajar di sekolah musik meskipun nggak jadi musisi. Memungkinkan nggak sih?

Kalo memang memungkinkan, bolehlah saya coba-coba bikin Thought Experiment. Pengandaiannya, gimana kalo kita beri ruang ke orang-orang yang satu hobi, tapi nggak punya ruang apalagi uang?

Misal ada jurnalis yang masih menjaga semangatnya buat mencari musik yang bagi dia ideal. Dia juga kebetulan udah jengah dengan media musik yang gini-gini aja. Nyambung soal pertanyaan saya tadi, pasti ada sarjana musik yang paham betul soal musik, tapi nggak dapet ruang di dunia akademik. Karakternya pemalu dan introvert mampus, misalnya. Orang ini bekerja di luar dunia musik, terperosok jadi teller bank misalnya. Kan sayang banget ilmunya cuma buat cerita pengantar tidur untuk pasangannya?

Idenya, adakan ruang pertemuan antara dua orang ini. Satu orang yang bener pengen bergelut mengenalkan dunia musik ke publik dengan “ideal” satunya emang orang yang punya fokus dan instrumen pengetahuan di sana.

Nah, soal uang, untuk awal merintis ya modal nekat aja lah, seperti Aldi Taher. Saya sih yakin kombinasi antara dua orang yang jengah sama realita dan rutinitas bakalan gas pol aja. Kata anak reggae dan pecinta tembang kenangan, cinta tidak memandang harta, ya kan?

Nantinya sambil jalan, saya ada dua saran. Pertama, bentuk koperasi pekerja dengan cara merintis pelan-pelan, atau kedua, mengajukan proposal ke orang kaya yang emang hobi musik. Selanjutnya? Tinggal dicoba, praktisnya gimana. Gagalnya di mana, kurangnya di mana, terus alternatifnya apa.

Tapi ini Cuma Thought Experiment aja sihbang. Istilah kerennya ngehalu. Tapi ya gimana lagi, bener kata Aldi Taher, toh kita sama-sama bingung di dunia ini. Saya member sektenya dia bang, jadi jangan marahin saya, ya. Kalo abang lanjut dan medianya jadi besar, saya tetep jadi konsumen kok, bang.

Sekali lagi saya nggak ada niat buat banding-bandingin, loh bang. Saya cuma kepikiran. Industri dan komunitas musik sekarang kok kayaknya kalah sama Aldi Taher yang bisa eksekusi ide-idenya, biarpun absurd. Tulisan Bang Randy-lah yang memantik saya buat mengemukakan kegelisahan saya.

Saya sepakat kok, sama keresahan Bang Randy. Tulisan kayak gitu bisa nengahin keruwetan antara industri musik, label, skena, sama estetika, yang makin nggak jelas itu. Masa media musik kalah sama Aldi Taher, yang sama-sama nggak jelas tapi tetap hidup dan eksis.

Jadi semangat ya bang, saya doakan semoga bisa bikin media musik yang abang impikan itu. Ya minimal kalo nggak terwujud pengetahuannya dapet lah, mwehehe.

Editor: Mita Berliana
Penulis

Ajmal Fajar Sidiq

Mahasiswa yang seneng film Sci-fi dan anime Isekai
Opini Terkait
Untungnya, Bernadya Menulis Lagu Ini
Paradoks Dangdut: Makin Ambyar, Makin Joget
Sehebat Apa Sih Tan Malaka Sampai Terus Jadi Polemik?
Media musik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel