“Bersamamu mengajarkanku, apa artinya kenyamanan, kesempurnaan, cinta…”
Kalimat tersebut pasti telah familiar di telinga para remaja hits sekarang. Yap, itu merupakan penggalan reff dari lagu “Kesempurnaan Cinta” yang dipopulerkan oleh Rizki yang tak lain adalah anak sulung seorang komedian, Sule. Rizki bukan satu-satunya pemuda yang akhirnya memilih memulai karir di bidang entertainment khususnya penyanyi. Nama-nama lain seperti Isyana Sarasvati, Raisa, Afgan, Vidi Aldiano, dan lainnya telah memenuhi pasokan hiburan televisi kita. Dan hampir seluruh lagu yang dibawakan bernafaskan percintaan, romansa, dan kegalauan.
Publik pernah ternganga ketika grup Coboy Junior mengorbit dengan membawakan lagu berjudul. “Kamu”. Seketika, CJR begitu mereka disapa, menggaet fans para siswa SMP hingga SMA. Mungkin, beberapa anak SD juga sudah mahir menghapal lagu ini. Kurang lebih begini sebagian liriknya,
“Mungkin inilah rasanya rasa suka pada dirinya
Sejak pertama aku bertanya facebook-mu apa nomermu berapa
Mungkin inilah rasanya cinta pada pandang pertama
Senyuman manismu itu buat aku dag dig dug melulu …”
Sama sekali tidak sesuai dinyanyikan dengan anak seusia mereka kala itu, apalagi segmentasi lagu ini pada akhirnya dinikmati oleh kalangan anak di bawah 17 tahun. Produser lagu ini sepertinya juga tidak mau ambil pusing, yang penting penjualan keping CD laris, yang penting panggilan manggung berdatangan. Masalah finansialnya selesai. Persoalan mendasar pada akhirnya sandarkan pada objek perasaan bernama cinta. Jika membahas topik ini mulai dari penyanyi sekelas CJR hingga Iwan Fals pasti akan lancar bercerita. Objek perasaan ini mudah sekali dieksplor sehingga para musisi solois, band, duo, atau trio akan memilih topik ini sebagai lagu mereka.
Kemudahan mengeksplor ide seni dari objek perasaan bernama cinta akhirnya diperumit, agar topik ini menjadi tidak selesai untuk dibahas. Mulai dari jatuh cinta, pacaran, putus, long distance relationship (LDR), selingkuh, pemberi harapan palsu (PHP), cinta beda agama, cinta sesama jenis dan permasalahan atas nama cinta lainnya dijadikan komoditas. Semakin menyentuh sebuah lagu tentang cinta bisa memberi ruang sejuk bagi para penikmat dan para produser musik akhirnya.
Hasil yang sama-sama menguntungkan ini pada akhirnya menjadi lingkaran yang tidak terputus. Pemuda sebagai segmentasi utama yang diobok-obok perasaannya tanpa memberikan imbangan dengan karya yang bisa mengoyak-koyak intelektual mereka. Pemuda menjadi pusat komoditas akan cinta. Belum lagi didukung dengan televisi nasional yang menyiarkan tayangan pernikahan artis, FTV, sinetron, dan reality show berbasis cinta. Setiap hari, topik yang disuguhkan kepada generasi bangsa berputar-putar pada persoalan asmara.
Saya rasa akan menjadi logis jika hal ini ditarik ke dalam faktor penyebab matinya gerakan pemuda di Indonesia. Pemuda sudah enggan hadir dalam forum-forum bedah buku, dan lebih memilih ke bioskop nonton London Love Story. Pemuda jenuh diberi tugas dan memilih apel ke pacarnya. Kalau Jaman Orba dulu, mahasiswa jenuh di kampus bisa demo lengserin Soeharto. Ingat aksi mahasiswa 1998, pemuda kala itu seakan tonggak bangsa yang jenius dan pasti menjadi kontributor dan inovator untuk bangsa. Orang segagah Soeharto saja bisa dilengserkan, kurang angker gimana coba. sekarang? Pemuda, remaja, bahkan anak SD pun lebih sibuk melengserkan hati gebetannya.
Mereka bisa berdiskusi (baca: curhat) tentang kegalauan hatinya tentang pacar yang tak kunjung melamar. Mereka bisa menghapal lagu-lagu cinta dengan lihai. Mereka selalu teralih memilih film bergenre romantis dari pada politis. Realita merekam bagaimana respon remaja ketika bioskop akan memutar AADC 2 dan ketika bioskop akan memutar HOS Tjokroaminoto. Berbeda. Tingkat antusias menonton genre romantis dan genre politis sangat njomplang. Seakan, sejak pemerintahan Orde Baru berhenti, perjuangan beralih pada merebut hati mertua saja.
Meski sudah berganti generasi, dari Peterpan hingga Noah, pembahasan cinta semakin dibuat kreatif. Pemuda makin senang berkutat di pusaran asmara. Saya juga sempat heran ketika ada acara Festival Melupakan Mantan pada 13 Februari lalu di Yogyakarta. Saya pikir, pemuda sangat kreatif mengemas kegiatan. Segmentasinya tentu tidak ada bapak-bapak atau ibu-ibu yang sudah menikah, meski saya yakin mereka juga pernah punya mantan. Yang saya herankan lagi, kegiatan melupakan mantan kekasih menjadi suatu gerakan bersama yang dipelopori pemuda dan memiliki banyak pengikut. Apakah sudah habis topik permasalahan di negeri kita, sehingga gerakan ini perlu sekali diadakan?
Media tetap menjadi dalang utama. Coba hitung, berapa banyak pemuda yang membaca Tempo dengan pemuda yang membaca Hipwee? Coba hitung, berapa banyak pemuda yang hadir di kelas diskusi isu internasional dengan pemuda yang hadir di kelas cinta? Dan pemuda masih saja tidak sadar jika sudah dijadikan komoditas atas nama cinta. Fenomena ini tentu saja memicu rangsangan cinta yang kuat terhadap pemuda berusia sebelum 20 tahun. Di usia sebelum 20 yang telah mengerti banyak tentang cinta, para pemuda mayoritas sudah membicarakan “siapakah jodohku kelak?”. Visioner memang, tapi visioner yang seperti ini bisa ditunda ketika pendidikan dan petualangan pencarian jati diri belum usai. Faktor ini bisa jadi merupakan salah satu pemicu mengapa pertumbuhan penduduk di Indonesia selalu bertambah? Karena keinginan menjadi manten seakan tidak bisa dielak oleh para pemuda yang sudah jatuh hati setengah mati.
Tulisan ini tidak bermuara pada kesimpulan menyepelekan objek perasaan bernama cinta itu sendiri. Anugerah Tuhan yang satu ini saya akui semakin rumit, apalagi memasuki era digitalisasi dan Masyarakat Economi ASEAN (MEA). Mengapa? Karena perempuan atau pun laki-laki akan sulit merasakan cinta ketika kualifikasi mereka terhadap calon pasangannya adalah “sudah kerja apa?”. Pada akhirnya, cinta tidak sesimpel ketika bapak ibu kita menikah. Dan pemuda menjadi wajar ketika harus memperjuangkannya. Yang tidak wajar adalah ketika hanya memperjuangkan cinta tapi tidak memperjuangkan yang lain. Berjuang skripsi cepat selesai misalnya. Salam.