Pelanggaran Hukum, Keadilan yang Ideal, dan Soal Berak yang Lupa Disiram

Pelanggaran Hukum, Keadilan yang Ideal, dan Soal Berak yang Lupa Disiram

Mungkin saja terciptanya keadilan yang ideal hanya dengan instrument hukum hanyalah cita-cita utopis belaka yang terlalu muluk-muluk.

Pernah suatu ketika, saya melakukan sebuah kelalaian yang berujung fatal dan akhirnya memunculkan konsep keadilan. Yaitu saya lupa menyiram kotoran sehabis buang air. Saya kira saya sudah menunaikan tugas saya dengan benar. Namun, saat itu saya harus menjemur cucian karena mengejar matahari yang kian tinggi. Alhasil, saya jadi abai.

Tentu saja saya mengakui kesalahan itu. Sialnya waktu jumatan kian dekat. Setelah turun dari jemuran di lantai atas kosan, suara adzan kedua salat jumat sudah terdengar, membuat saya gupuh dan bergegas untuk berangkat.

Akhirnya, saya berlari dan melewati toilet kosan, membiarkan tanggungan saya terbengkalai begitu saja. Barangkali menyirami hati dengan khotbah jumat lebih prioritas ketimbang menyiram kotoran. Mungkin begitu alibi saya waktu itu. Alhasil, kosan geger. Buntutnya meresahkan masyarakat kosan.

Bayangkan, kerukunan dan ketertiban publik kos di jumat yang berkah terancam buyar gara-gara sepotong senja kotoran kemambang. Hal ini membuat saya mulai berkontemplasi dan berandai-andai. Kelalaian kecil yang menyangkut hajat orang banyak, jika pada masyarakat luas, konsekuensinya mungkin akan lebih buruk. Penegak hukum bisa saja memberikan sanksi pada saya atas perbuatan yang dalam kajian pidana disebut sebagai ‘kenakalan’.

Perlu diketahui, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), sebagai rujukan aturan publik, mengatur kenakalan ini dalam Pasal 489 Buku III tentang pelanggaran. Pelanggarnya dapat didenda sejumlah maksimum dua ratus dua puluh lima ribu rupiah. Jika perbuatan yang sama dilakukan dua kali dalam rentang waktu tak lebih dari setahun, pelanggar dapat dipenjara maksimal tiga hari. Ngeri lur.

Dalam kajiannya, Buku III tentang ketentuan pelanggaran ini cukup menarik. Berbeda dengan Buku dalam KUHP lainnya, ia tidak memerlukan unsur subjektif dalam pembuktiannya. Artinya, mau sengaja ataupun tidak, jika terbukti bahwa kamu berbuat kesalahan, macam saya yang lupa menyiram kotoran tadi terbukti, dan orang-orang risih dengan kejorokanmu, ya kamu dianggap bersalah.

Sebenarnya, perbuatan ‘nakal’ apa saja yang bisa membuatmu berurusan dengan hukum? Menurut R. Soesilo, kenakalan yang dimaksud dalam pasal ini bersifat ‘keranjang’. Artinya, apapun, saya ulangi, segala perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian atau kesusahan bagi masyarakat, yang tidak diatur dalam bab khusus dalam KUHP, dapat dianggap sebagai kenakalan. Pelaku corat-coret di muka umum biasanya juga didakwa dengan ketentuan ini.

Namun, pasal ini tidak dapat diterapkan kepada para pelanggar lalu lintas; seperti lupa membawa SIM, tidak pakai helm, atau pelanggaran sepele lainnya, hukuman maksimum biasanya berupa denda, tak pernah sampai dipenjara.

Selain itu, Buku III tentang pelanggaran ini memiliki keunikan lain. Percobaan pelanggaran menurut ketentuan ini tidak dapat dikenakan sanksi. Contoh begini, ada orang yang ketika berkendara membawa helm namun sengaja tidak digunakan. Sejurus kemudian, di ujung jalan muncul razia lalu lintas. Polisi jalan raya melihatnya dan spontan saja ia kenakan helm. Mencoba untuk melanggar -tidak pakai helm- semacam ini tidak dapat dihukum.

Tapi, ini hanya berlaku sementara karena berdasarkan rumusan KUHP yang baru, Buku III akan dilebur ke dalam Buku II yang nantinya tindak ‘kenakalan’ dikategorikan sebagai tindak pidana. Artinya, boker sembarangan dan corat-coret tembok berisiko untuk dibui.

Kembali ke permasalahan ‘kenakalan kecil’ saya tadi. Saya sepenuhnya mengakui bahwa kejadian itu akibat kesalahan saya. Tentu saja, saya pun menerima ‘sanksi’ dengan sepenuh hati.

Sanksi yang saya dapat juga dalam skala yang relatif kecil, yaitu dalam lingkup kosan. Mulai dari pesan berupa anjuran seperti: “tolong mas, kalau berak disiram!” sampai yang bernada satir, “masa yang berak kucing?” Ada juga yang mengirimkan emoji raut muka berwarna hijau yang mengekspresikan perasaan menahan muntah.

Saya merasa seperti dipermalukan di depan muka seluruh penghuni kos. Namun jika dipikir lagi, toh masih mending ketimbang harus membayar denda seperti yang ditentukan KUHP.

Meskipun begitu, ada hal yang membuat saya curiga. Yaitu soal perilaku ‘penghakiman’ oleh teman-teman kos saya. Apakah perilaku menghukum itu memang demi menciptakan keadilan, ataukah instingtif semata, yaitu untuk mempermalukan pelanggar?

Nyatanya, semenjak pesan-pesan mengutuk itu muncul hingga kemudian saya kembali ke kosan, tak ada satu pun yang rela untuk sekedar menyiram kotoran yang sudah nganggur selama dua jam lebih itu..

Tentu saja ini bukan dalih untuk mangkir dari kewajiban saya. Namun, karena akar masalahnya adalah kotoran yang lupa disiram, maka menyiram kotoran adalah selogis-logisnya penyelesaian. Dan pikir saya, masa harus nunggu saya balik ke kosan untuk sekedar menyiram kotoran? Saya nggak playing victim loh ini, cuma gumun aja.

Hal ini membuat saya sadar, bahwa mungkin saja terciptanya keadilan yang ideal hanya dengan instrument hukum hanyalah cita-cita utopis belaka yang terlalu muluk-muluk dan akhirnya kandas. Hukum, betapapun komplit dan kompleksnya, terletak pada nurani penegaknya.

Pikir saya, betapa damainya suatu kondisi di mana jika ada orang melakukan kesalahan, lalu orang lain mencoba mendengarkan dan mencari solusi bersama. Bukan untuk dulu-duluan menghakimi.

Toh nyatanya, mekanisme penciptaan keteraturan yang saklek dan tak kenal kompromi seperti hukum pidana, yang seluruhnya hanya berisi larangan dan sanksi, sejatinya bukanlah untuk mewujudkan keadilan. Namun hanya instrumen untuk menghukum yang salah.

Karena saya yakin bahwa manusia bukanlah satu unit robot yang mutlak bisa diatur dengan kata per kata. Oleh karena itu, konsep soal keadilan justru tertanam pada sifat kemanusiaan itu sendiri.

Saya pribadi cenderung untuk tidak sepakat dengan konsepsi Homo Homini Lupus (manusia terhadap manusia lainnya adalah serigala) ala Thomas Hobbes, yang seakan mengerdilkan bahwa manusia tidak punya kontrol atas nuraninya, atas apa yang dinilai adil dan tidak adil, baik dan buruk, atau pantas dan tidak pantas.

Sebenarnya, toh tidak ada ruginya jika manusia hidup berdampingan, tanpa saling menjatuhkan, saling sayang, dan saling bekerja sama. Ya kan? Bukankah setiap kita terlahir dari dua orang yang saling bersepakat untuk mencintai?

Namun lagi-lagi, ini cuma hasil renungan saya sehabis kena paidoh satu kos gara-gara lupa menyiram kotoran.

Editor: Rizqi Ramadhani Ali
Penulis
Zainal Mustofa

Zainal Mustofa

Bekerja di PT. Mencari Cinta Sejati sembari berusaha segera lulus dari FH UB.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel