Selamat pagi Abah… Selamat pagi emak..
Selamat pagi kamu,.. iya kamu.
Met pagi gaes.., mangat hari ini
Mengawali hari dengan mengucapkan salam pada orang lain adalah suatu hal yang sangat menyenangkan. Karena salam adalah doa, dan di dalam doa terselip kebaikan. Terlebih untuk seseorang yang kita sayangi, sungguh manis sekali!
Seperti kalimat diatas, itu merupakan contoh-contoh salam yang sering kita dengar, lalu manakah kalimat salam yang baik dan benar? Ehh bukan… Maksud saya, kalimat-kalimat diatas adalah beberapa salam yang tiba-tiba terlintas begitu saja dipikiran saya. Setelah tanpa sengaja, saat seperti biasa melakukan rutinitas membaca berita di pagi hari, saya menemukan tulisan yang berjudul “Potret Para Pemain Keluarga Cemara Kini”.
Secara sadar dan tanpa intimidasi dari siapapun, ingatan saya tiba-tiba mendapat stimulan ikut melagukan sepotong lirik di lagu pembuka dari tayangan serial keluarga fenomenal di era 90-an yaitu Keluarga Cemara. Bukan hanya lagunya, pelan-pelan saya juga teringat ceritanya, tokoh-tokoh nya, dan kesejukan kehidupan mereka. Walaupun melekat dalam ingatan dalam waktu yang hampir bersamaan, jalan cerita Keluarga Cemara berbeda (antitesa) dari jalan hidup Keluarga Cendana.
Serial keluarga yang diproduksi oleh Atmo Production besutan sastrawan Arswendo Atmowiloto itu, secara garis besar berkisah tentang sebuah keluarga yang harus menjalani hidup pas-pasan setelah sang Abah yang awalnya berkecukupan sebagai pengusaha harus beralih menjadi penarik becak karena usahanya bangkrut setelah mendapat fitnah (huuu sedih). Diperankan Adi Kurdi sebagai Abah, dan Novia Kolopaking sebagai Emak, dan juga tiga putri mereka Euis, Agil dan Ara, kisah sederhana mereka yang mulai tayang pada tahun 1996 bertahan cukup lama hingga tahun 2004.
Entah memang masa tahun 90-an adalah masa yang paling berkesan atau tayangan serial semacam ini banyak meninggalkan pesan. Yang pasti hal-hal sederhana yang mengedepankan ciri khas keluarga Indonesia dengan nilai ketimuran yang saat ini sudah mulai sulit ditemukan.
Padahal menurut beberapa teori sosial yang pernah saya simak di buku teman saya, bahwa faktor dominan yang paling mempengaruhi untuk terjadinya penyimpangan sosial adalah (justru) di dalam keluarga. Kurangnya kesadaran orangtua dalam menanamkan nilai kebaikan, tidak pedulinya orangtua terhadap perkembangan dan pergaulan anak, juga kondisi keluarga yang selalu menunjukkan terjadinya konflik akan mempengaruhi mental dan perilaku anggota keluarga untuk mengimitasi tindakan yang serupa.
Dalam sebuah teori yang lain yang kali ini saya simak dari Bang Aris Merdeka Sirait di layar kaca, bahwa Pencegahan sebuah penyimpangan sosial yang paling utama dan pertama (harus) dilakukan didalam keluarga. Penanaman karakter dan norma-norma sosial yang baik terhadap anak, kepedulian orangtua dalam melihat perkembangan dan pergaulan anak, serta berupaya melakukan tindakan-tindakan kebaikan di dalam keluarga sehingga menjadi teladan yang baik untuk anak, adalah hal yang mampu menjadi tindakan preventif untuk mencegah penyimpangan sosial yang muncul dan tumbuh dari atau di dalam keluarga.
Dalam hal ini pemilihan tayangan, khususnya televisi, akan cukup berpengaruh dalam setiap karakter dan sikap keluarga, krisis tayangan bermutu sebagai teladan dalam siaran televisi nasional cukup mempengaruhi, nyatanya saat ini tayangan yang disebut tayangan keluarga dan tayangan laik ditonton semua usia adalah tayangan yang memamerkan kemewahan, kemesraan cinta anak baru gede, bahkan konflik rumah tangga yang saling mengumbar aib. Sinetron macam Tukang bubur naik ojek, ganteng-ganteng serigala jalanan, atau putaran, naik kelas menjadi tayangan keluarga yang ditayangkan saat Primetime dengan durasi tayang yang begitu panjang.
Melihat fenomena yang terjadi, maka sangat riskan jika saat ini keluarga hanya mengandalkan peran tayangan media sebagai panutan untuk menuju keluarga yang cerdas bahagia. Karena bisa jadi salah persepsi dalam menanggapi penyimpangan sosial dalam keluarga justru akan memunculkan penyakit sosial. Misalnya dalam hal asmara, salah kaprah yang menganggap tidak mempunyai pasangan a.k.a Jomblo adalah aib dan sebuah penyakit, maka setiap keluarga ramai-ramai menyuruh anak-anak mereka untuk mendapatkan pasangan dan melarang untuk mendekati kaum jomblo (teraniaya) karena takut ketularan. Hal ini secara tak langsung juga mendukung hilangnya budaya ketimuran dan menyuburkan tindakan kenakalan remaja yang menyebabkan meningkatnya angka hamil di luar nikah dan jumlah anak-anak terlantar.
Dalam hal gaya hidup misalnya, keluarga dengan kategori menengah keatas saat ini cenderung lebih membiarkan anak-anak mereka mengikuti gaya hidup mewah dalam kehidupan glamor sebagai bagian dari identitas yang membedakan mereka dengan golongan dibawahnya. Hal ini secara tidak langsung juga turut memudahkan dalam penyebaran narkotika dan obat-obatan terlarang, padalah menurut kepala BNN, Budi Waseso, angka penggunaan Narkoba yang didominasi kaum muda pada tahun November 2015 kemarin tercatat sudah menyentuh angka 5,9 juta orang pengguna, dan ini berpotensi akan terus meningkat.
Dengan semakin minimnya tayangan dengan pesan moral yang baik untuk keluarga, maka sebaiknya upaya-upaya pencegahan dalam gejala penyakit sosial juga harus menyentuh lapisan lainnya, misalnya dengan mengadakan diskusi-diskusi di ruang pendidikan, atau mungkin juga seminar-seminar menyenangkan yang membahas seputar keluarga, asmara dan narkoba, sehingga dalam ruang pendidikan selama ini definisi ilmu yang didapatkan bukan hanya tentang sains dan tekhnologi, namun juga ilmu tentang kepekaan sosial dan keluarga. Karena Permata yang paling indah adalah keluarga, dan kepekaan yang paling indah adalah tidak menanyakan kapan nikah!?