Beberapa waktu lalu, saya secara khusus mengkritik Malaka Project. Dengan tegas saya katakan, program beasiswa tidak akan menyelesaikan masalah pendidikan.
Alih-alih mendapat respon dari para foundernya, justru Ardiansyah yang kebakaran jenggot. Dia merespon lewat opini Alfian, Malaka Project, dan Pendidikan Untuk Semua.
Dalam tulisan tersebut, cukup terlihat bahwa Ardiansyah lebih mirip public relation Malaka Project yang melakukan klarifikasi ketimbang seorang opiner.
Tidak ada argumentasi baru selain cocoklogi dan afirmasi informasi. Dapat dilihat pada kalimatnya yang berbunyi, “Ada tesis, antitesis, dan sintesis yang sudah ditulis di web yang dikelola oleh tim Malaka Project di sana,”
Ardiansyah kalau jeli dan tekun membaca persoalan panjang pendidikan, apa yang dialektikakan Malaka Project pada webnya, saya berani katakan, itu bukanlah hal baru. Bahkan lebih banyak klise dan duplikatnya.
Malaka Project hanya sedang meniru cara-cara lama yang terbukti elistis dan tidak pernah menyelesaikan masalah pendidikan secara menyeluruh. Beasiswa dengan tegas saya katakan kembali, itu cara nenek moyang (kolonial).
Terekam jelas pada era politik etik—yang tujuan sebenarnya merupakan ajang balas budi dan produksi tenaga kerja murah.
Kalau Ardiansyah ingin serius beropini, dia perlu memberi pembacaan baru terhadap Malaka Project, bukan malah memugar kembali apa yang justru sudah dikritisi seseorang.
Hal tersebut sangat dapat dipahami, lantaran Ardiansyah sama seperti para founder Malaka Project—yang memang bukan orang atau pegiat pendidikan. Jadi sangat wajar bila mereka buta dengan persoalan substansi pada pendidikan Indonesia.
Sampai-sampai Ardiansyah beragumen, Ya gimana yaa, kan mereka yang punya project, terserah mereka dong. Duit-duit mereka juga. Bukankah yang begitu adalah bentuk nyata individualisme level akut?
Lewat tulisan ini saya akan coba urai dan kritik kembali Malaka Project dengan perspektif lebih jauh. Barangkali bisa menambah referensi Ardiansyah dalam membuat sudut pandang argumentasi opini.
Beasiswa dan Politik Etik
Permodelan beasiswa sudah dipraktekkan saat era politik etik awal pergerakan nasional, bagaimana Belanda mengadakan pendidikan untuk pribumi sesuai dengan karakter kebutuhan mereka—yang tentu tidak semua orang dapat akses pendidikan.
Alhasil, orang-orang pribumi waktu itu telah bersaing dengan golongannya sendiri, sesama rakyat miskin sekaligus kalangan elite.
Justru kalau kita memahami fakta sejarah tersebut, para pemikir kerakyatanlah (revolusioner) yang pada akhirnya memanfaatkannya untuk kebangkitan nasional. Mereka antara lain Soetomo, HOS Tjokroaminoto, Muhammad Hatta, Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, Muhammad Yamin, dan Douwes Dekker.
Mereka mampu melakukan antitesis lantaran mereka berpikir materialisme (membumi, memijak tanah, dan berorientasi sosialis, alias ke arah kerakyatan pembebasan-perjuangan kelas). Hasil dari antitesis tersebut adalah kemerdekaan (sintetis) itu sendiri dengan menanamkan pikiran keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Jadi, kalaupun ingin menjadikan para pendiri bangsa tersebut sebagai contoh suksesnya program beasiswa, Malaka Project atau dapat diwakilkan Ardiansyah harus mampu menjawab, konsep progresif apa yang mereka suguhkan untuk dapat memberi pembebasan dan perjuangan kelas?
Kalau pertanyaan tersebut gagal dijawab Malaka Project, komunitas ini akan terjebak pada dua wajah yakni ambigu (kanan-kiri) sekaligus—yang ujung-ujungnya akan berakhir menjadi bisnis media baru yang lebih besar dan sentralistik.
Masyarakat Tontonan
Malaka Project dalam pembacaan lanjutan saya, justru hanya sedang membuat bisnis media yang lebih besar. Ferry Irwandi dalam unggahan Momen Penting (YouTube) mengatakan “Gagasan Malaka Project: satu media YouTube yang akan menambah pengetahuan, memberikan edukasi, memberikan kesempatan manusia berpikir lebih baik, kesempatan orang-orang untuk memahami masalah lebih baik,”
Sekilas, sungguh sangat luar biasa. Namun ungkapan itu sebenarnya sangat klise sekali, tidak memiliki nilai kebaharuan. Semua orang yang terjun di dunia pendidikan mengucapkan itu. Walaupun akhirnya ya gitu-gitu aja. Sekalipun tetap dianggap baru, itu pun karena memang era “baru” hari ini seperti itu. Jadi apa tawaran perubahannya?
Saya menangkap, pada akhirnya Malaka Project akan bergerak pada ruang-ruang produksi konten—yang tentunya isi kontennya berdasarkan narasi dari karakter masing-masing influencer.
Dari konten itulah mereka akan mencoba menamainya sebagai edukasi. Sederhananya, dapat diartikan begini, Malaka Project adalah media informasi digital yang memuat konten edukasi yang disesuaikan dengan gaya narasi wacana ide para teknokrat kontennya.
Pembacaan itu, tentu saya masksudkan sebagai spekulatif semata karena Malaka Project memang masih baru jalan. Belum banyak hal, program, atau rentetan aksi yang bisa dirangkumkan, kecuali yang sudah nampak jelas adalah beasiswa.
Namun bukan berarti Malaka Project tidak bisa dipotret arah gerak dan gayanya. Dengan bermodal jejak-jejak yang sudah ada, kita tetap bisa mencoba melakukan pembacaan.
Dalam kanal YouTube Malaka Project dapat dilihat bersama, bahwa mereka sudah mulai memproduksi konten-konten untuk dikonsumsi subscriber-pengikutnya. Sudah berkumpul sekitar 100 ribu lebih subscriber sejak awal posting sekitar sebulan lalu (Oktober-November).
Coba saja perhatikan, corak dan pola edukasinya seperti spekulasi saya, tidak jauh dari penyuguhan wacana idealisme teknokrat kontennya.
Tidak menutup kemungkinan dalam permodelan lanjutan dan pengembangannya nanti, pola-pola seperti itu akan menjadi seperti webinar-webinar pelatihan “intelektual” lainnya. Sejenis media pikiran alternatif.
Dengan isi kajian sesuai cakupan idealisme kreatornya: Ferry Irwandi bahas ekonomi, Coki Pardede bahas basis sikap ateismenya, Cania Cita jadi feminis rasionalnya, dan kreator lain akan sama menyesuaikan.
Bukankah model beginian sudah seperti kacang goreng yang justru masuk dalam kajian matinya kepakaran?
Tidak ada hal baru dan segar. Mereka hanya sedang menggelembungkan popularitasnya lewat kolaborasi (gurita bisnis media digital). Lebih gampang dianalogikan demikian, saat pemilik RCTI, Indosiar, Trans, Net, TVOne, dan MetroTV bergabung membentuk stasiun TV bersama bernama TV Revolusi.
Perlu disadari bersama, justru dengan mereka berkelompok menciptakan media baru yang lebih besar, cukup mengindikasikan mereka sedang menuju sentralisasi informasi.
Tidak Ada Makan Siang Gratis
Tentu, mereka akan bilang semua gratis, membantu membentuk pemikiran rakyat untuk gerakan masyarakat baru. Nanti ditambah sajian data, kuratorial konten, infografik, dan sebagainya.
Namun perlu diperhatikan juga, bahwa dalam masyarakat tontonan, yang dijual sebenarnya bukan soal tontonannya, melainkan adalah penontonnya itu sendiri.
Seperti apa yang dikatakan Yuval Noah Harari, “Jika Anda menginginkan informasi yang dapat dipercaya, bayarlah banyak uang untuk itu. Jika anda mendapatkan informasi secara gratis, Anda mungkin adalah produknya.”
Lebih mudah bila memakai pandangan Agus Sudibyo dalam Jagad Digital, bahwa sebenarnya di era digital tidak pernah ada makan siang gratis.
Mungkin para influencer itu dapat saja mengatakan telah memberi informasi, edukasi, dan juga motivasi bagi pemirsanya. Nyatanya, hal itu tidak sepenuhnya dapat diterima. Para penonton tetaplah massa yang diam—yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk menarik iklan dan kerjasama profit jenis lainnya.
Diperhatikan lebih lanjut, Malaka Project hanyalah bentuk perkembangan media siar televisi dan sejenisnya. Apa yang disebut Masyarakat Baru dalam Malaka Project sebenarnya tidak lebih dari permodelan informasi di era masyarakat digital yang gemar menonton.
Selebihnya, para populis digital tersebut tetaplah sekumpulan teknokrat digital yang sedang bekerjasama menjalin persatuan dalam wadah proyek media yang lebih besar dan sentral bernama Malaka Project.
Iklan dan kerjasama profit lainnya tentu akan sangat sulit dihindari. Terlebih lagi harapan mereka seperti yang dikatakan Ferry Irwandi, kuota beasiswa tidak menutup kemungkinan akan bertambah.
Dari mana modal untuk itu? Dana beasiswa dari modal patungan pribadi akan sulit bertahan bila perluasan dan pengembangan akan dipilih.
Jawaban paling realistis tentu dengan sedikit banyak diambilkan dari perputaran bisnis media mereka. Satu hal yang pasti, mereka adalah influencer digital—yang tentunya cara memutarkan ekonomi keuntungan lewat digital bukanlah hal yang susah.
Ini bukan lagi dari netizen, oleh netizen, untuk netizen. Apalagi perubahan sosial. Terlebih lagi masyarakat baru.
Bagaimanapun, pada dasarnya Malaka Project tetaplah pihak swasta yang sedang menggemukkan jangkauan popularitas dan kapitalnya.
Baca Juga: Mencurigai Spongebob Sebagai Antek Kapitalis