Saya memulai tulisan ini dengan sepenggal pengalaman. Waktu itu Rabu, jam sepuluh pagi. Saat menemani ibu belanja ke pasar kami mampir ke tempat daging ayam karena ibu mau beli daging untuk isian risol sayur dagangannya.
Mata saya tiba-tiba berbinar waktu melihat dada ayam yang disusun rapi oleh si abang penjual. Permukaan dada ayam itu terlihat mengkilap di bawah lampu remang pasar.
“Seksi amat,” pikirku… “Pasti enak kalau diolah jadi katsu atau dibuat bumbu tepung saos rica.”
Iseng, saya pun bertanya, “Bang, ini dada ayamnya berapaan?”
“40 ribuan aja,” kata si abang. Saya cuma bisa melotot, angguk-angguk sambil garuk kepala.
Barangkali interaksi singkat antara saya dan abang penjual ayam di atas dirasakan juga oleh teman-teman kelas menengah lainnya.
Kadang, mata suka dibuat melotot kalau lihat kenaikan harga pangan yang luar biasa edan. Belum lagi nominal uang kebutuhan sekolah yang mencekik dan susahnya memenuhi hasrat pribadi karena masih ada hal yang dirasa jauh lebih penting untuk didahulukan.
Padahal, nggak ada salahnya juga menghadiahi diri sesekali. Misalnya, sekadar beli batagor sepiring 20 ribu, atau nonton bioskop ditemani popcorn yang kemahalan itu.
Tetapi, sebelum benar-benar melakukan itu, tiba-tiba alam bawah sadar kayak berbisik, “Padahal uangnya ‘kan bisa buat bantu bayar tagihan listrik…” atau “Itu uangnya lumayan, lho, bisa disimpan buat ongkos.” Yaah, jadilah keinginan itu berakhir sebagai keinginan semata yang entah kapan terpenuhi.
Itulah sedikit contoh dari banyaknya permasalahan yang menghantui setiap hari. Rasanya, ada satu hal yang harus dikorbankan setiap harinya supaya dapat menyambung hari esok.
Iya, memang masih bisa makan, minum, dan merasakan teriknya panas matahari di negara tropis tercinta ini. Tetapi, rasanya serba salah dan kayak kejepit. Lantas, apakah ada jawaban untuk semua keresahan ini?
Tidak Cukup Kaya untuk Bisa Hidup Nyaman Setiap Hari, Tidak Cukup Miskin untuk Menerima Sokongan Pemerintah
Saya nggak bisa bohong. Ada saat-saat di mana saya merasa emosi karena hidup jadi masyarakat kelas menengah itu serba nggak adil.
“Nyaman” adalah perasaan yang eksklusif. Hanya dapat dirasakan oleh mereka-mereka yang agaknya tidak pernah napak tanah. Pada saat yang bersamaan, “sokongan” dan “rasa iba” juga jadi barang yang mahal. Seringkali berlaku untuk mereka-mereka yang diukur “sesuai” mendapatkannya.
Kehadiran kelas menengah itu ambigu banget lah pokoknya. Kesulitan masyarakat menengah sering banget ketutup sama kondisi mereka sendiri karena dianggap masih mampu.
Dari luar kelihatannya baik-baik saja: punya rumah yang layak dan kendaraan bermotor. Padahal aslinya luntang-lantung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ya, karena dari awal gajinya bahkan nggak cukup buat disimpan sebagian jadi dana darurat untuk hal-hal di luar kendali.
Belum lagi masih banyak yang mengalami gimana rasanya sampai harus pinjam uang untuk bayar listrik dan air karena sebagian besar gaji difokuskan untuk bayar iuran sekolah anak.
Gali lubang, tutup lubang—tetapi lubangnya tidak pernah tertutup seutuhnya. Maaf, jadinya kayak lebih ke sambat, ya, hehe. Tapi, memang begitu realita yang setidaknya saya rasakan sendiri.
Masyarakat menengah diabaikan sebagai kelas sosial dan tidak mendapatkan kepedulian yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Lucunya lagi, minimnya perhatian pemerintah terhadap kelas tanggung ini juga diakui oleh mereka sendiri.
Sebagaimana yang dikatakan Sri Mulyani dalam acara seminar nasional Outlook Perekonomian Indonesia 2024 bahwa persoalan middle class masih belum jadi fokus utama karena kebijakan pemerintah condong ke masyarakat miskin.
Hal ini terjadi karena masyarakat menengah yang diklaim cukup besar dan dinamis. Gara-gara itu, nggak jarang pengotak-ngotakan pemerintah dalam menyediakan bantuan berujung pada ironi.
Sewaktu berselancar di timeline X, banyak unggahan yang mengeluhkan mengapa KIP (Kartu Indonesia Pintar) adalah program yang bagus, namun sayangnya seringkali jatuh ke tangan yang tidak tepat.
Contohnya, seorang pengguna X yang berucap kecewa karena teman satu kampusnya menerima KIP, tetapi punya iPhone, bisa beli iPad, bahkan bisa makan dan main sepuasnya di mall.
Si pengguna bercerita bahwa dirinya sendiri ada keinginan untuk mendaftar sebagai penerima KIP tapi sungkan karena merasa masih ada yang lebih membutuhkan.
Sedihnya lagi, si pengguna yang dari keluarga biasa-biasa saja suka nggak enak kalau minta ke orang tua ongkos untuk berangkat kuliah. Seketika keluhan pengguna tersebut banjir komentar, dengan mayoritas respons berbagi keluhan dan kekesalan yang sama.
Nggak cuma itu. Ada pengguna X lain ngebuat statement yang asal banget. Dia bilang kalau belajar sukses bisa dimulai dari beli kopi 80 ribu di hotel bintang lima, lalu duduk diam di lobi dan memperhatikan bagaimana orang kaya bekerja.
Mendengar itu, saya ketawa geli melihatnya. Ada-ada aja. Keliatan banget nggak pernah ngerasain satu telur jadi makan malam buat empat anggota keluarga.
Ujian kelas medioker memang besar. Kenyataan menyedihkan lainnya adalah banyaknya masyarakat menengah yang harus menelan kenyataan menjadi generasi roti lapis, bekerja keras menghidupi keluarga dan orang-orang di sekitarnya, dan melupakan diri sendiri.
Kuatnya Daya Juang Kelas Menengah
Kalau ditanya apa, sih, ciri khasnya kelas menengah? Jawabannya, ya, kekuatan daya juang di atas rata-rata. Nggak heran, sih. Soalnya daya juang itu terbentuk karena sistem yang kelihatan banget timpangnya.
Kuatnya daya juang ini juga sudah terbukti lewat sejarah, kok. Banyak peristiwa atau revolusi besar yang dilakukan oleh masyarakat kelas menengah sebagai bentuk protes terhadap ketimpangan itu. Mereka yang ingin tetap hidup melakukan segala cara untuk bertahan.
Lagian, kalau ngomongin sistem emang nggak ada habisnya. Kalau pun semua masyarakat kelas menengah sepakat kerja sama supaya ada perubahan buat semua, pasti sulitnya kebangetan.
Karena secara nggak langsung ketimpangan dalam sistem mempersempit gerakan. Masyarakat menengah cenderung nggak punya logistik yang cukup buat jadi pelicin.
Lha, terus, endingnya masyarakat kelas menengah akan selamanya menjalani hidup yang penuh kekhawatiran, gitu? Suram banget rasanya kalau iya.
Saya rasa akan ada jalan keluar untuk itu semua, tetapi butuh kerja keras yang ekstra—harus bekerja seribu kali lebih keras dari yang lainnya karena berangkat tanpa pegangan dan dukungan apa-apa.
Keluh kesah kelas menengah yang semrawut ini adalah permasalahan yang sulit terselesaikan. Pada akhirnya saya cuma bisa berharap masih ada kesempatan untuk bisa terus melanjutkan hidup meski agak “pincang.”
Baca Juga: Merayakan Hal-hal yang Tak Mudah