Polemik tentang wacana pembuktian keberadaan Tuhan dalam perspektif ilmu pengetahuan tampaknya masih terus berkembang di tengah masyarakat.
Satu dari sekian polemik ini bisa ditinjau melalui perdebatan antara Guru Gembul melawan ustaz Nuruddin yang sempat tayang di kanal Youtube Kaifa Channel beberapa waktu lalu.
Pada kesempatan tersebut, debat ilmiah yang diberi judul “Bisakah Kesahihan Akidah Islam Dibuktikan Secara Ilmiah?” itu sedikit banyak menyinggung tentang apakah ilmu pengetahuan betul-betul mampu menjelaskan persoalan Akidah Islam dengan baik atau tidak.
Akan tetapi, di tengah perdebatan, ada penjelasan fundamental dari salah satu narasumber, yakni ustaz Nuruddin, yang sedikit mengganggu pemikiran saya.
Baca Juga: FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Asal Mula Akidah yang Diperdebatkan
Sebelumnya, saya terlebih dahulu ingin sedikit mengurai kembali bagaimana awal dari debat ketuhanan ini sampai akhirnya pak guru dan pak ustaz dipertemukan.
Debat ilmiah perihal akidah ini, pada mulanya, berawal dari pernyataan Guru Gembul yang kontroversial di media sosial.
Dalam beberapa kesempatan, sebut saja ketika ia diundang mengisi diskusi ke markas Rabithah Alawiyah, pak guru dalam tayangan Youtube-nya secara tegas menyatakan kepada seluruh audiens dan pembicara bahwa “akidah Islam itu haram untuk diilmiahkan.”
Pernyataan ini dipicu oleh pertanyaan Gus Wafi kepada Guru Gembul perihal apakah benar akidah itu tidak ilmiah.
Apa yang disampaikan Guru Gembul itu pun kemudian menjadi pembahasan di mana-mana, hingga mencapai klimaksnya ketika pak guru meluncurkan konten monolog terkait statement serupa di kanal Youtube-nya, sembari menantang penonton untuk berdebat soal akidah yang menurutnya tidak bisa diilmiahkan.
Gayung pun bersambut. Tantangan pak guru soal keilmiahan akidah gegas direspons oleh ustaz Nuruddin bersama tim Kaifa Channel.
Tanpa menunggu lama, tantangan tersebut diterima. Sebuah diskusi ilmiah pun ditetapkan pada 9 Oktober 2024, bertempat di Pusat Studi Bahasa Jepang, Universitas Indonesia.
Pembuktian Rasional tentang Keberadaan Tuhan
Dalam video yang ditayangkan oleh Kaifa Channel itu, ustaz Nuruddin memberi penjelasan (merujuk ke pelbagai referensi dalil serta teori umum), bahwa ia meyakini eksistensi Tuhan dapat dijangkau melalui pendekatan rasional yang bersifat aksiomatik, berdasakan prinsip kausalitas atau hukum sebab akibat.
FYI, pendekatan atau metode rasional, sebagaimana menurut Rene Descartes, sangat mengandalkan kemampuan logika serta nalar deduktif dalam menemukan sebuah kebenaran. Hasil dari pendekatan ini ditentukan oleh cara berpikir sistematis melalui akal, tanpa melibatkan elemen indrawi.
Ustaz Nuruddin menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di semesta ini memiliki sebab, sehingga adanya keteraturan dunia yang sangat kompleks adalah tanda adanya campur tangan pencipta di sana, yakni Tuhan.
Beliau kemudian memberi contoh. Jika audiens tahu tentang keberadaan sebuah pulpen yang beliau pegang, maka pasti juga tahu bahwa pulpen tersebut dibuat oleh pabrik, tanpa perlu mengetahui seperti apa pabriknya.
Sehingga, dapat dibangun sebuah premis rasional bahwa untuk menunjukkan keabsahan eksistensi Tuhan, manusia dapat menggunakan proses berpikir deduktif dengan mengidentifikasi sifat-sifat Tuhan sebagai tanda akan keberadaannya, tanpa perlu mengetahui seperti apa Tuhan itu sejatinya.
Lho, kok tiba-tiba bisa gitu?
Dari penjelasan tersebut, bisa saya simpulkan bahwa metode rasional ustaz Nuruddin secara tidak langsung telah memberi klaim sepihak tentang eksistensi Tuhan.
Pasalnya, pernyataan bahwa Tuhan adalah sebab dari penciptaan alam semesta muncul dari kredo, atau berdasarkan kepercayaan umat beragama, dan bukan berasal dari konsensus ilmiah yang universal.
Bagi saya, meski argumen ini bisa dianggap masuk akal untuk menjelaskan kebenaran tentang adanya Tuhan, namun masih belum masuk akal secara ilmiah dalam membuktikan keberadaan-Nya. Penjelasan pak ustaz ini sungguh mengganggu pikiran saya.
Pembuktian secara Empiris
Di sisi lain, Guru Gembul tampil sangat percaya diri dengan pendapatnya. Menurut pak guru, bukti ilmiah tentang keberadaan Tuhan memerlukan penelitian dengan pendekatan empiris yang dapat diuji melalui observasi atau eksperimen implisit.
Jika Tuhan betul-betul tidak dapat dicapai atau dibuktikan melalui pengetahuan, dalam hal ini melalui metode empiris, maka klaim kebenaran Tuhan tidak dapat dijadikan sebagai fakta ilmiah karena ada unsur otoritatif yang menjadi dasar pengujian ilmiahnya.
David Hume menjelaskan bahwa pendekatan empiris hanya bisa diverifikasi melalui data yang dapat diindera. Ia menegaskan bahwa setiap pengetahuan ilmiah berasal dari pengalaman dan tidak bisa diterima jika tidak mampu diuji secara empiris.
Contohnya, untuk mengetahui air mendidih, maka suhunya harus mencapai 100 derajat Celcius pada tekanan atmosfer normal. Hasil ini bisa diukur saat suhu air mendidih di bawah kondisi standar dan diuji berulang kali secara empiris sampai menunjukkan hasil yang konsisten.
Di titik ini, saya sepakat dengan penjelasan Guru Gembul karena pendekatan empiris yang beliau maksud punya landasan yang kuat. Saat Tuhan tak bisa dijangkau melalui metode empiris, maka tidak ada lagi metode yang bisa menjangkaunya. Ini kemudian menimbulkan masalah krusial pada pembuktian eksistensial-Nya.
Sayangnya, di sepanjang pemaparan materi, pak guru tidak mempersiapkan presentasinya dengan baik seperti yang dilakukan pak ustaz. Ia mengaku tidak mempersiapkannya karena tidak mengira diskusi perihal ‘mengilmiahkan’ Tuhan ini malah akan sekomprehensif itu.
Padahal, bisa saja Guru Gembul lebih menghormati forum dan narasumber dengan tetap menyodorkan argumen yang valid disertai sumber yang kredibel, seperti yang dilakukan ustaz Nuruddin, terlepas dari seburuk apa pun keadaan diskusi di sana.
Alhasil, sikap apatis dari pak guru ini akhirnya membuat beliau menjadi bulan-bulanan pak ustaz dan para audiens diskusi.
Tapi, nggak papa lah. Hitung-hitung dapat menjadi pelajaran buat Guru Gembul biar nanti kalau ada yang ngundang lagi beliau bisa mengidentifikasi jenis undangannya lebih dahulu sebelum hadir.
Paling tidak, beliau bisa membedakan mana undangan diskusi ilmiah dan mana undangan meet and greet.
Tuhan Melampaui Nalar Manusia
Oke, kembali lagi pada konsep ketuhanan. Saya sendiri, toh, tetap yakin dan percaya bahwa gagasan tentang Tuhan yang tak bisa diilmiahkan itu justru semakin membuktikan hakikat Tuhan yang transendental, yang melampaui jangkauan nalar manusia.
Dalam Islam, ada istilah yang namanya “tanzih”. Istilah ini menegaskan bahwa persoalan keberadaan Allah SWT adalah di luar jangkauan nalar manusia. Keterbatasan nalar yang dimaksud ini juga telah dijelaskan secara komprehensif dalam Al-Qur’an Surah Al-Ikhlas (112:4) dan Surah Al-An’am (6:103).
Ayat-ayat tersebut telah gamblang menyatakan betapa lemahnya akal manusia sehingga tak mampu mencapai sedikit pun keberadaan Allah SWT.
Imam Al-Ghazali, misalnya, menegaskan bahwa akal manusia sangat terbatas sehingga tidak mampu menjangkau ranah ketuhanan.
Sedangkan Ibn Taymiyyah, dalam pernyataannya, menyebutkan bahwa untuk menghindari penyimpangan dari keyakinan yang benar, sebaiknya umat Islam tidak menafsirkan sifat-sifat Allah SWT di luar pengetahuan yang didapat melalui wahyu.
Artinya, akidah Islam sama sekali tidak menafikan keterbatasan akal dalam memahami eksistensi Tuhan.
Inilah alasan mengapa saya sepakat dengan Guru Gembul bahwa eksistensi Tuhan memang tidak bisa diilmiahkan karena berada pada ranah belief, bukan ilmiah. Sesuatu yang hanya bisa dicapai melalui belief, tidak bisa diobjektifikasi atau dimaterilkan.
Hakikat Tuhan Tak Bisa Direduksi
Lantas, pertanyaan selanjutnya ialah apakah ketika konsep ketuhanan tidak bisa diilmiahkan maka keyakinan umat beragama terhadapnya bisa jadi akan tereduksi nantinya? Saya sendiri akan menjawab dengan tegas, tidak!
Pernyataan terkait “Tuhan tak bisa diilmiahkan” telah memberi batasan yang jelas terhadap ilmu pengetahuan dalam mencapai hal-hal transendental, termasuk mencapai eksistensi Tuhan.
Saya tekankan sekali lagi bahwa ilmu pengetahuan, secara epistemologis, mustahil untuk dapat menggapai apa yang disebut Kant sebagai realitas yang “noumenal” atau realitas yang ada di luar pengalaman indrawi.
Namun, keterbatasan pengetahuan untuk membuktikan ada atau tidaknya Tuhan secara ilmiah harusnya tidak dapat merusak belief umat beragama serta tidak menggoyahkan iman.
Batasan tersebut malah memberikan penekanan terhadap kebesaran Tuhan yang jauh melampaui keseluruhan metodologi yang ada, termasuk rasional maupun empiris.
Saya yakin, terbatasnya ilmu pengetahuan dalam menjangkau keberadaan Tuhan malah telah menegaskan bahwa sifat keilahian adalah murni, suci, kekal, dan tidak tunduk pada hukum-hukum yang ada di dalam ruang dan waktu.
Tuhan sebagai zat yang transendental tidak bisa direduksi begitu saja oleh kaidah ilmiah yang dirumuskan oleh manusia.
“Wa lam yakul lahu kufuwan ahad!”
Sekian dan terima kasih.