Strategi Menghadapi Pertanyaan “Kapan Nikah?” dengan Filsafat

Strategi Menghadapi Pertanyaan “Kapan Nikah?” dengan Filsafat

Kapan Nikah
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Ajaran filsafat yang bisa jadi cara menjawab pertanyaan jahanam “Kapan Nikah?”

Pertanyaan “Kapan nikah” yang kerap terlontar kala momen keluarga bisa menjadi momok seram bagi para pemuda eksistensyel kraisis yang betah banget ngejomblo atau berlarut-larut dalam drama hubungan tanpa kesimpulan.

Menghindari pertanyaan dengan pura-pura kesurupan jelas nggak cocok dan berpeluang jadi bahan konten TikTok sepupu maupun keponakan. Makanya, perlu pendekatan yang lebih jitu buat menangkis pertanyaan itu. Caranya ialah dengan kembali ke fitrah seluruh pengetahuan dan ilmu, yaitu filsafat.

Filsafat berawal dari mempertanyakan. Pertanyaannya bisa apapun dan biasanya bersumber dari rasa penasaran yang murni, termasuk mengapa ponakan atau cucu kesayangan mereka tak kunjung berkeluarga.

Boleh curiga, tetapi ada baiknya kita berbaik sangka. Siapa tahu di balik pertanyaan penasaran dari kerabat beserta segenap rombongannya, sesungguhnya tersimpan makna filosofis.

Rasanya cukup bijak kalau kita juga menjawabnya dengan ajaran filsafat pula. Bagaimana pun, filsafat adalah jalan mencintai kebijaksanaan. Berikut ini ajaran filsafat yang bisa jadi cara menjawab pertanyaan jahanam “Kapan Nikah?”

Rasionalisme Klasik

Pertama, menghindari pembicaraan yang tidak perlu adalah langkah paling masuk akal. Saat ditanya “kamu kapan nikah?”, jawab saja dengan kalem, “percayalah tante, saya sendiri juga bertanya-tanya.”

Jika masih ngeyel, maka saatnya kamu mengeluarkan argumentasi. Berdasarkan filsafat rasionalisme, logika adalah solusi mendapatkan jawaban, termasuk jawaban untuk ngeles dari pertanyaan.

Beri pengertian bahwa yang paling penting adalah kehidupan setelah pernikahan dan bagaimana menjaga keutuhan rumah tangga. Kalau kamu miskin, lebih jos lagi buat jadi alasan.

Kamu juga bisa sajikan data soal betapa menakutkannya angka perceraian akibat masalah ekonomi. Karena itu, menabung untuk biaya berumah tangga bisa jadi alasan kenapa kamu menunda menikah.

Kalau ia mulai menggunakan jurus andalannya, dengan membanding-bandingkan pengalaman kehidupan rumah tangganya, jangan mau kalah. Sanjung saja betapa kamu mengagumi ketangguhannya dan berharap bisa mengikuti langkahnya.

Kemudian, akhiri dengan argumen bahwa kamu sudah berusaha sekuat-kuatnya dan sehormat-hormatnya buat nyiapin pernikahan. Tanyakan balik, “Mau jadi donatur?”

Kalau mau, kamunya cuan. Kalau nggak, obrolan bisa dihentikan dan kamu bisa geser ke tempat lain nyari Khong Guan.

Ajaran Filsafat Ketimuran

Metode ini bisa diterapkan untuk kamu yang kekeluargaannya kental dan menunjung adat ketimuran. Meski kita tahu bahwa sejarah Nusantara dipenuhi oleh pemberontakan dan perlawanan, namun ajaran kebijaksanaan dan ilmu urip masyarakat Indonesia kerap berujung pada penerimaan dan ketenangan.

Cara ini cocok banget terutama kalau kamu nggak punya banyak pencapaian hidup. Pertahanan terakhir orang-orang yang nggak punya pencapaian memang hanya sabar.

Ketimbang berdebat panjang lebar, sabar lebih irit tenaga. Kamu boleh nggah-nggih saja di hadapan senior sambil diam-diam makan kastengel. Kecakapan ini juga berguna sebagai latihan jadi ‘yes man’ sekaligus upgrade skill menjilat atasan saat jadi budak korporat.

Siasat ‘Menang Tanpo Aji’ juga bisa kamu terapkan. Dengan siasat ini, kamu tidak perlu melawan dan berdebat dengan kerabat yang kepo banget sama kehidupan orang lain.

Saat ditanya kok nggak kawin-kawin, maka kamu bisa bercerita dengan dramatis soal kehidupan asmaramu yang mengundang iba. Kalau pengin lebih drama, pasang tampang melas supaya si penanya salah tingkah. Kalau perlu, sambil nangis.

Kalau masih belum mempan karena si penanya punya kepekaan setipis jembatan siratal mustaqim, kamu bisa mengadopsi cara orang Madura saat menjawab hampir semua persoalan di dunia: “tenang, ada Allah.”

Sufisme Tasawuf

Jawaban ini bisa kamu berikan jika kamu dan kerabat yang bertanya berada lingkungkan keluarga yang islami.

Sebagaimana umat Islam yang baik, kamu mesti memosisikan diri sebagai hamba yang taat, raja’, dan berserah diri dalam hal jodoh. Forward aja pertanyaan ini pada sang pemilik takdir, bahwa kamu punya keyakinan kuat sedang disediakan jodoh yang pantas buatmu. Perkuat juga dengan pernyataan bahwa kamu menghabiskan sepertiga malam dengan terus berdoa.

Main lah selembut syair-syair Rumi. Jangan sampai kelihatan terpojok. Rugi kalau banyak diskusi makrifat tapi tidak bisa berkelit dengan kata-kata. Apalagi dengan konsep tasawuf, di mana kamu bisa menjawab bahwa tujuan menikah sejatinya untuk mendekatkan diri pada Allah dan sedang mencari pasangan menikah atas dasar agama.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan saat kamu menjawab dengan metode ini. Pertama gunakan diksi-diksi adopsi dari bahasa Arab. Seperti “insyallah” atau “wallahu a’lam” biar mempertegas kesanmu sebagai pemuda baik-baik. Kedua, selalu tutup jawaban dengan pernyataan, “saya sekalian minta doanya.”

Jika misal kerabat yang bertanya masih saja memanjang-manjangkan obrolan, maka mohon ijin saja dengan alasan salat sunnah. Dengan begitu kamu punya waktu buat meratapi nasib di atas sajadah atau sekalian buka Tinder.

Anarkis Sejak dari Keluarga

Kalau kebetulan kamu pengikut Kierkegaard, penganut realisme, suka bacaan macam ‘The Art of Not Giving A Fuck,’ dan sedikit banyak menjalani kehidupan seperti Larry, maka cara satu ini patut dicoba.

Segala hal yang terbelenggu oleh sistem hanya akan membawa destruksi. Termasuk acara formal-formalan pas hari lebaran. Jangan-jangan, kita hadir di acara reuni lebaran bukan untuk menjalin silaturrahmi, memenuhi panggilan eyang yang rindu, atau untuk berkumpul bersama keluarga. Namun karena ingin flexing atau pamer pencapaian.

Jawab dengan jujur kalau kamu muak dengan segala kepalsuan. Lupakan cerita Malin Kundang yang kini dikutuk jadi tempat wisata itu. Durhaka dan rebel hanya soal persepsi.

Apa salahnya kabur setelah dapat sangu lebaran? Hitung-hitung bisa dipakai buat ngungsi ke warung kopi yang tetap buka kecuali kiamat sambil memutar lagu-lagu indie soal perlawanan.

Seperti telah ditegaskan oleh Albert Camus, dengan segala cara, melawanlah. Sebab dari situ akan muncul kesadaran. Kesadaran bahwa kamu tidak laku, misalnya.

Filsafat Ateisme dan Sains

Jika kita sadar, pertanyaan-pertanyaan menyebalkan itu pada dasarnya nyaris selalu diawali dengan kata tanya “kapan”. Kata itu selalu merujuk pada konsep waktu.

Sejatinya, mempertanyakan perihal waktu adalah pertanyaan yang lumayan pelik bahkan bagi para ahli astrofisika, kosmolog, atau bahkan fisikawan mekanika kuantum. Pertanyaan soal “apa itu waktu?” saja baru bisa dijawab kurang dari seabad lalu.

Nah, di sini kamu bisa ngomong ndakik-ndakik soal konsep ruang-waktu dalam relativitas umum. Cara lainnya, pertanyakan kembali apakah konsepsi menikah di usia seperempat abad itu asalnya dari mana.

Sebisa mungkin alihkan pembicaraan kepada penciptaan semesta dan bagaimana evolusi itu beneran ada. Sebab topik asal-usul manusia biasanya sensitif, kamu perlu adu kuat argumen dan data saintifik. Itu berguna untuk mengalihkan pertanyaan kenapa kamu nggak laku-laku.

Kalau si penanya masih ngotot, tanya balik, “kapan nikah itu kan rahasia Tuhan. Jadi, sampeyan mau mempertanyakan takdir atau mendahului takdir nih?”

Mengikutsertakan Tuhan dalam perdebatan berpeluang melepaskanmu dari pertanyaan, sekaligus berpeluang membuatmu dicap ateis.

Menempuh Jalan Absurdisme

Kalau dipikir-pikir, sangat mungkin pertanyaan “kapan nikah?” itu cuma basa-basi. Nggak usah dipikirkan kelewat serius. Toh, paling-paling setelah acara rampung mereka nggak peduli lagi.

Kamu bisa merepet soal bagaimana status menikah tidak menentukan nilai individu. Kamu juga bisa mengungkapkan bahwa pilihan untuk menikah sama sekali tidak menjamin kebahagiaan manusia dan kadang-kadang justru membuka pintu permasalahan.

Poinnya adalah dengan menjadi bebal. Sebisa mungkin kamu fafifu wasweswos saja dengan bahasa-bahasa sundul langit. Bikin lawanmu capek ngurusi omong-kosongmu.

Kamu juga bisa mengisahkan betapa repotnya mencari makna kehidupan yang sia-sia ini sebagaimana Sisifus dikutuk terus-terusan mendorong batu ke puncak gunung untuk kemudian nggelundung ke bawah lagi.

Cara ini bisa kamu gunakan dengan menyadari risiko dicap sebagai pemuda tak bermoral yang demen baca buku filsafat. Tapi nggak apa-apa, itu bisa bikin kamu bisa ngeles dengan elegan.

Melawan dengan Diam

Kalau kamu tipe orang yang pasif dan tidak suka membikin prahara di dalam keluarga, kamu bisa meniru cara Mahatma Gandhi saat mengusir penjajahan Inggris. Kamu cukup diam dan tak membikin konflik.

Tipsnya, pada malam sebelum acara kumpul keluarga, banyak-banyaklah minum es murah kayak mi*ue atau mengisap rokok yang bikin serak tenggorokan. Esoknya, suara serak itu bisa jadi alasan untuk tidak meladeni pertanyaan apapun.

Kalau kerabatmu memang tak punya rasa iba dan keponya naudzubillah, bisa kamu siasati dengan gestur dan bahasa tubuh tanpa mengeluarkan suara. Ingat, pasang senyum dengan raut melas.

Jika belum berhasil, lirik orangtuamu dan beri kode SOS agar kamu diselamatkan. Serahkan pada pihak yang berwewenang sambil mengintip cara bersikap orangtuamu karena punya anak yang nggak nikah-nikah. Siapa tahu berguna di masa depan kalau kamu punya anak yang kehidupan romansanya juga nggak terlalu sukses.

Begitulah kira-kira tips yang bisa saya tawarkan. Seperti nasib, risiko ditanggung sendiri.

Perlu kamu ingat, pertanyaan “kapan nikah” ini punya banyak varian, seperti “kapan lulus” maupun “kapan punya anak”. Pertanyaan macam ini tiap tahun mesti kamu hadapi sampai bosan. Masalahnya, yang nanya itu lho yang nggak bosan-bosan.

Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis
Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Ilustrator Sediksi
Opini Terkait
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel