Pernahkah tiba-tiba terpikirkan bahwa hidup yang kita jalani terasa biasa-biasa saja?
Resah karena usia yang bertambah tapi merasa diri masih begini-begini aja?
Pernah merana saat melihat teman-teman yang terlihat sukses, tetangga yang sudah bisa ini itu, saudara yang punya banyak pencapaian, dan kita yang masih gini-gini aja?
Pernah merasa tertekan karena merasa tidak cukup baik dalam melakukan suatu hal?
Tos! Ternyata saya punya teman!
Saya tidak berniat menghibur kalian, tapi perasaan seperti itu juga saya alami, bahkan cenderung sering kok.
Beberapa kali saya sering merasa rendah diri akan kemampuan dan merasa gak ahli dalam hal apapun. Pernah pada satu titik saya melabeli diri sebagai ‘Si Serba Nanggung’. Akhirnya, saya merasa kesal sendiri karena nggakpunya pencapaian apapun dan ngerasa tertinggal.
Suatu ketika, ada teman yang nyeletuk, “Kenapa sih kita dituntut untuk sukses? Memangnya gak boleh ya kita menjalani hidup segimana adanya aja?”
Saat itu saya langsung mikir, iya juga ya, kenapa kita harus bekerja terlalu keras untuk bisa menjadi sukses. Kenapa kita harus merasa bersalah saat tidak mencapai apapun? Kenapa kita merasa gagal jika kita menjalani kehidupan biasa-biasa?
Ide tentang menjadi sukses di usia muda dan menjadi istimewa ternyata tidak selalu berakhir baik bagi semua orang, setidaknya bagi orang-orang seperti saya, dan terutama saya sendiri.
‘Menjadi sukses’ bisa saja menjadi momok menakutkan bagi orang-orang yang bahkan untuk menjalani hidup masih harus meraba-raba. Seolah itu menjadi suatu beban, dan jika tidak tercapai, maka akan merasa sebagai orang yang gagal.
Bumerang ‘Harus Sukses’
Tekanan untuk menjadi sukses, nyatanya tidak selalu memantik motivasi, seperti yang digembar-gemborkan para motivator. Di baliknya, tekanan tersebut bahkan dapat memicu permasalahan psikologis. Tekanan untuk menjadi sukses, salah satunya, diketahui dapat menyebabkan individu melakukan Hikikomori.
Dalam jurnal berjudul Hikikomori As A Possible Clinical Term In Psychiatry: A Questionnaire Survey (2019), Tateno dkk., menerangkan bahwa hikikomori adalah istilah dari sebuah fenomena di Jepang di mana individu, biasanya orang dewasa muda, menarik diri dari masyarakat dan menjadi tertutup dengan cara mengurung diri di kamar.
Tuntutan pada anak muda untuk sukses dalam dunia akademik maupun karir bisa menjadi tekanan kuat bagi mereka yang tidak memenuhi harapan tersebut.
Perilaku hikikomori bisa menjadi cara bagi mereka untuk melarikan diri dari ekspektasi dan tuntutan orang lain. Tujuannya, untuk menghindari perasaan malu dan gagal yang muncul karena tidak memenuhi ekspektasi tersebut. Pada beberapa kasus, perilaku hikikomori dapat berujung pada upaya bunuh diri.
Novianti dkk., dalam “Prevalensi Kecenderungan Social Withdrawal (Hikikomori) pada Remaja di Kota Bandung (2023) Hikikomori sendiri termasuk dalam kategori psikopatologis. Fenomena ini kini banyak dialami oleh orang-orang di dunia, termasuk di Indonesia.
Istilah yang lebih akrab soal fenomena ini adalah social withdrawal. Pengertiannya sama, yakni menarik diri dari lingkungan.
Meskipun penyebab hikikomori berasal dari banyak faktor, tekanan untuk sukses diyakini menjadi faktor penyebab psikologis (Tateno dkk., 2019).
Menjadi Biasa Saja Itu Gapapa
Belajar ilmu Psikologi ternyata sedikit banyak membantu saya lebih legowo untuk menerima bahwa saya gini-gini aja. Meskipun semua itu butuh waktu lama dan kadang masih kumat-kumatan juga.
Mungkin karena sudah lelah sering ngerasa useless dan ngerasa doing nothing, akhirnya saya mulai baca-baca lagi tentang ilmu satu ini dengan harapan bisa membantu diri sendiri. Beruntung, akhirnya saya nemu satu artikel bagus tulisan Daniel M. Haybron.
Melalui tulisannya On Being Happy or Unhappy (2005), Haybron menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah hal yang penting dalam hidup setiap orang.
Dalam kacamata Haybron, kebahagiaan merupakan kondisi emosional seseorang. Namun, terkadang tekanan dan stres yang berlebihan dapat membuat seseorang merasa tidak bahagia.
Tekanan pada diri sendiri untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal dapat menyebabkan stres dan kecemasan yang berlebihan. Terlalu menekan diri untuk dapat memenuhi ekspektasi, dalam hal ini “bahwa kita harus sukses”, justru membuat kita tidak dapat menghargai diri dan apa-apa saja yang telah dilalui selama ini.
Haybron juga mengatakan bahwa kita akan lebih mudah merasa bahagia jika kita bisa mengembangkan kepuasan hidup yang kita miliki. Ketika kita bahkan tidak mampu menghargai diri sendiri, mustahil rasanya bisa merasakan kepuasan atas hidup yang dijalani. Lebih jauh lagi, kita tidak akan merasa bahagia dalam menjalani hidup.
Dibanding menyalahkan diri sendiri karena gak bisa ngapa-ngapain, rasa-rasanya lebih baik memperhatikan perkembangan dan merayakan pencapaian kita, sekecil apapun itu. Paling tidak, itu akan membantu kita untuk menerima hidup kita sebagaimana adanya. Alih-alih menyalahkan diri, lebih baik memberi kesempatan bagi diri sendiri berkembang dan terus belajar.
Kalau diingat-ingat, saya sendiri pernah mengalami hal ini, terlalu fokus pada hasil akhir dan tidak memperhatikan proses yang telah saya lalui. Padahal, untuk sampai pada titik yang begini-begini saja saya juga butuh banyak tenaga hingga terseok-seok.
Kini, saya merasa menjalani hidup yang seperti ini ternyata gak buruk-buruk amat kok. Bahkan, setiap ditanya teman tentang bagaimana kabar saya, saya sekarang bisa membalas, “Ya begini-begini aja, gak ada yang spesial,” sambil cengengesan.
Menjalani hidup yang begini-begini aja itu ternyata menyenangkan.