Setali tiga uang dengan banyaknya pengangguran terselubung dalam birokrasi negeri, friendzone juga sama mistisnya. Sialnya, tak seperti korban ditinggal nikah yang bebas meracau, mencak-mencak, posting kata bijak di medsos, atau memajang kenestapaan, korban friendzone cuma bisa diam.
Pengen sambat isin karo gebetan, pengen pamer keromantisan tapi Do’i cuma teman. Akibatnya Jumlah korbannya tidak terdeteksi. Padahal saya berani jamin banyaknya bukan main.
Friendzone adalah zona teman. Bukan zona nyaman. Ini merupakan fenomena yang terjadi pada relasi antar individu dimana salah satu pihak menganggap hubungan mereka sebatas teman be ajah, sementara yang lain menginginkan lebih dari itu.
Biasanya sih, friendzone berangkat dari ekspektasi yang terlampau halu. Korbannya bisa laki-laki, maupun perempuan. Namun, karena saya laki-laki dan teman-teman yang curhat ke saya soal ke-friendzone-an yang mereka derita kebanyakan juga laki-laki, lumrahkan saja jika saya berpendapat bahwa “kebanyakan korban friendzone adalah laki-laki”.
Lagipula, terlepas dari pandangan kontroversial itu, friendzone adalah sebuah fenomena yang dapat dikaji secara akademis. Kajian ini bahkan telah tersedia tidak sebatas pada lapis sosio-kultural, namun juga sudah di level genetika. Sebut saja Bateman’s Principle, yang menjelaskan tentang adanya ketimpangan sumber daya dari spesies dengan jenis kelamin berbeda.
Ketimpangan sumber daya tersebut, menyebabkan salah satu sel pada jenis kelamin tertentu harus mengeluarkan sumber daya berlebih. Pada manusia, contohnya, sel telur perempuan memiliki limitasi dan pembatasan pada saat menopause. Sementara sel sperma laki-laki, jumlah selnya tidak terbatas. Bahkan, saking melimpahnya, sampai sering ‘dibuang-buang’.
Baca Juga: Menjadi Jomblo Idealis seperti Morrissey
Hal ini memperteguh alasan biologis dari pertanyaan mengapa laki-laki lebih kompetitif, sedangkan perempuan cenderung selektif. Dengan kata lain, konsepsi bahwa perempuan cenderung jual mahal dan laki-laki cenderung bajingan tidak melulu berangkat dari konstruksi kultural.
Adapun friendzone adalah fenomena yang terjadi lantaran ada laki-laki yang kurang kompetitif, bertemu dengan perempuan yang kelewat selektif. Karena tidak semua laki-laki dapat menjadi pemenang namun juga tidak semua pria adalah bajingan, maka terjebak di dalam friendzone adalah fenomena lazim.
Robert Chialdini memiliki konsep scarcity principle. Di mana kita semua cenderung menginginkan hal yang sulit didapatkan. Jika dikembangkan menggunakan konsep Bateman tadi, saya memiliki kesimpulan yang seenaknya:
Laki-laki sangat suka mengejar perempuan yang sulit ia dapat. Perempuan, lebih suka memilih laki-laki yang di luar jangkauan pilihannya. Maka lazim bila para laki-laki korban friendzone betah bertahan mencintai teman perempuannya, yang sedang asik memilah dan memilih laki-laki lain. Sebab bagi perempuan, laki-laki korban friendzone yang lagi Bucin gak ketulungan ini bukan opsi yang sulit di dapat. Namanya juga cowok Bucin.
Marshall Fine menjelaskan, Laki-laki yang memiliki kombinasi nilai yang langka dan menonjol akan cenderung aman dari friendzone. Misalnya, kamu adalah seorang pria mapan, sekaligus tampan, ples kadang agresif, jual mahal dan susah ditebak. Berdasarkan pendapat Fine dan juga prinsip Scarcity-nya Chialdini, kamu akan sulit terjebak ke dalam friendzone
Jika begitu, maka siasat paling masuk akal adalah menyerah. Iya nyerah aja, serius.
Baca Juga: Tampan Adalah Koentji, Titik!
Ini sediksi, bukan save.org atau chicken soup. Nggak menyediakan motivasi yang ndakik-ndakik. Kalau kamu terjebak dalam friendzone, berarti kamu tidak memenuhi standar “sulit dijagkau”-nya si Do’i. Bisa jadi kamu ngga tajir, ngga ganteng, ngga berprestasi, atau tidak ada pencapaian di hidupmu. Maka nyerah ajalah. Meskipun wetonmu cocok, tapi di hadapan gaji dua digit, wetonmu ngga kedengaran bunyinya.
Tapi….
Menyerahlah dengan kepala tengadah, tidak lembek seperti gorengan sisa. Menyerahlah dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Menurut saya, keputusan untuk mundur adalah keputusan yang bijak, bukan keputusasaan belaka. Dengan memutuskan mundur, berarti seseorang mengerti keadaan dan memahami realita. Sadar posisi, juga sadar situasi.
Baca Juga: Film dan Hasrat Kita Menjadi Orang Lain
Jangan seperti Sukab, tokoh utama di cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku”-nya Seno Gumira Ajidarma. Sesakti-saktinya Sukab si pencuri senja ini, ia tak lebih dari korban friendzone yang kelewat halu, sekaligus Bucin surrealis akut yang bikin kacau.
Bah dibilang gak romantis. Romantis cuma soal sudut pandang.
Gara-gara menjadi korbannya Alina, dikeratnya langit dan dicuri lah dua potong senja yang sampai-sampai membuatnya diburu oleh mobil polisi. Cintanya merugikan negara, cintanya Sukab, menciptakan aksi vandalisme dan pengrusakan fasilitas publik. Memang benar, orang paling bebal adalah orang yang sedang kasmaran.
Padahal kita tahu sendiri bahwa surat berisi senja itu baru sampai 10 tahun kemudian. Lalu juga kita ditunjukkan bahwa si Alina –yang menurut Sukab paling manis- ternyata adalah mbak-mbak judes yang suka mengumpat.
Dalam realitas sastra dunia Sukab, atau bahasa kerennya SLU alias Sukab Literary Universe, kebucinan Sukab yang melampaui akal sehat hanya akan membawa dunia kepada kiamat. Jika saja si Sukab bisa move on dan hidup normal, mungkin dia bisa kawin dan beranak, biarpun barangkali tidak bahagia-bahagia amat.
Sukab dan korban friendzone sama-sama menjadi korban pengabaian. Solusi keluar dari zona tersebut, hanya dua, menunggu Alina berkata “muak” dengan Sukab, atau sedari dini menyadari bahwa kita diabaikan dan mundur.
Pengabaian memang lebih kejam daripada penolakan. Tapi memaksa orang untuk tidak mengabaikan kita, juga tak tahu diri. Maka daripada terus di-friendzone-in, sudahlah, menyerah saja. Rasa-rasanya hanya orang masokis yang tahan bertahun-tahun hidup dalam pengabaian.