Oppenheimer dan Masa Depan Riset Indonesia

Oppenheimer dan Masa Depan Riset Indonesia

Oppenheimer dan Masa Depan Riset Indonesia
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kunci kesuksesan Amerika adalah sikap pemerintahnya yang sangat serius, dan mendukung penuh Proyek Manhattan dengan kucuran dana fantastis.

“Sekarang aku menjelma menjadi kematian, sang penghancur dunia”, begitulah potongan seloka 32 Bab 11 kitab Bhagavad Gita yang diucapkan oleh J. Robert Oppenheimer setelah menyaksikan uji coba ledakan dahsyat bom atom Trintiy—bom atom pertama di dunia.

Dan beberapa minggu setelahnya, bom atom berkekuatan 20 kiloton TNT itu meluluhlantakkan dua kota di Jepang—Hiroshima dan Nagasaki.

Adegan tersebut merupakan cuplikan film berjudul sama dengan nama tokoh utamanya “Oppenheimer”.

Yang terinspirasi dari buku biografi “American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer” (2005) karya Kai Bird dan Martin J. Sherwin.

And yapp! Based on a  true story.

Setelah menontonya, saya merasa takjub. Bukan! Bukan kepada  bom atom dan dampaknya. Bukan juga kepada tokoh yang diceritakan.

Yaa kereeen siii, semua orang pasti mengakui.

Tapi ketakjuban saya jatuh pada proses riset dan pengembangan senjata nuklir yang dimulai pada tahun 1942 itu—era Perang Dunia II.

Betapa pemerintah Amerika men-support penuh riset sains tersebut. Yaa okayy itu memang untuk kepentingan negara, tapi riset itu kan dananya gedee yaa kok bisa pemerintah nggak “pelit” gitu.

Nggak ada embel-embel dipotong pajak atau pemotongan biaya ini dan itu.

Juga nggak ada tuh ilmuwan-ilmuwan yang ikut riset bingung masalah dana, hingga akhirnya memakai bahan-bahan yang mungkin lebih murah.

Mereka kayak enak ajaa fokus pada pengembangan senjata. Sesekali debat-debat kecil sesama ilmuwan tentang teori fisika dan kimia. Nggak ada tuh debat sama orang pemerintahannya.

Padahal Proyek Manhattan—proyek bom atom Amerika di era Perang Dunia II tersebut, di bawah arahan seorang Jenderal a.k.a orang dari pihak pemerintah.

Sains dan Kekuatan

Film Oppenheimer mengingatkan kita bahwa sains juga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan yang “jahat”.

Memang sampai saat ini banyak yang menyebut sains itu netral secara moral dan ambigu secara etika. Mungkin itu ada benarnya.

Yang jelas, sains memiliki power dan berdampak bagi kehidupan manusia.

Sejak berkembang pesat di masa Revolusi Saintifik tahun 1543, sains mengubah secara radikal segala aspek kehidupan manusia. Orang-orang kini menyebut dampak dari perubahan itu sebagai dunia modern.

Kita tentu dapat mengambil beberapa contoh. Yang paling krusial adalah angka harapan hidup.

Sebelum adanya sains, manusia hanya mampu hidup sampai usia rata-rata 29 tahun. Tahun 2020 angka harapan hidup secara global telah mencapai rata-rata 73,2 tahun.

Contoh lainnya dalam bidang kedokteran, seorang ratu Inggris abad-17 bernama ratu Anne pernah hamil delapan belas kali. Hanya lima anak yang terlahir hidup. Hanya satu dari yang lima itu selamat sampai masa kanak-kanak namun akhirnya meninggal sebelum dewasa.

Mengingat ia seorang ratu, maka pasti telah memperoleh semua perawatan medis terbaik kerajaan. Sesuatu yang hampir tidak ditemui sekarang ini.

Kemampuan sains mempertahankan kehidupan kita berdampak pada jumlah populasi mencapai 8 miliar manusia. Bandingkan pada tahun 1500 yang hanya berkisar 500 juta manusia.

Selebihnya Steven Pinker dalam bukunya Enlightenment Now (2018) menjelaskan secara gamblang bagaimana sains telah memberi manusia karunia dan kekuatan mempertahankan kehidupannya.

Dalam film garapan Christoper Nolan ini, digambarkan bahwa pihak pemerintah nurut-nurut aja permintaan dari ilmuwan, yang kelihatannya sepele.

Seperti minta laboratorium di kawasan khusus, dibuatkan perumahan buat para ilmuwan, dan minta keluarga ilmuwan tinggal di sana.

Tersebut demi menjaga mental health ilmuwan. Dan pemerintah menyanggupi permintaan itu.

Bayangin, dana risetnya aja udah pasti mahal. Ditambah dana membuat perumahan.

Hal ini serta merta pemerintah Amerika Serikat lakukan, karena menyadari betapa besar kekuatan sains. Sehingga perlu juga memperhatikan orang-orang yang bekerja di dalamnya. 

Yang Bisa Kita Pelajari dari Proyek Manhattan

Menurut Tan Malaka dalam bukunya Madilog (1946), Indonesia tidak akan maju selama masyarakatnya menjauhkan diri dari sains.

Nampaknya apa yang dikatakan Bapak Republik ini ada benarnya. Sebut saja negara-negara maju saat ini tidak terlepas dari kegigihan mereka mempelajari dan mengembangkan sains.

Kesadaran akan pentingnya sains inilah yang menghantar Indonesia membentuk lembaga-lembaga riset nasional—BATAN, LAPAN dan LIPI—tahun 1960-an.

Meski begitu, sampai sekarang dunia riset Indonesia boleh dikatakan masih semrawut.

Ada dua hal sebenarnya yang dapat kita refleksikan dari film Oppenheimer bagi riset Indonesia agar menjadi lebih bergairah.

Pertama, riset Indonesia butuh sosok seperti Oppenheimer yang mampu menyatukan berbagai fraksi berbeda dalam satu tujuan yang jelas.

Saat ini semua lembaga riset Indonesia memang telah disatukan menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Hanya saja setelah berumur satu tahun, proses transisi birokrasi yang diharap mampu menjawab permasalahan kelembagaan riset nasional malah belum memberikan hasil.

Ibaratnya silih berganti kapal, namun hanya terus di pinggir lautan.

BRIN memerlukan kepala dan dewan pengarah yang kuat secara politik sekaligus ilmuwan secerdas Oppenheimer.

Kedua, kunci kesuksesan Amerika adalah sikap pemerintahnya yang sangat serius, dan mendukung penuh Proyek Manhattan dengan kucuran dana fantastis.

Dukungan itu masih berlanjut hingga sekarang dengan anggaran riset Amerika menjadi yang tertinggi di dunia.

Memang nggak elok sii  membandingkan Amerika dengan Indonesia sebab pendapatan kedua negara pun beda jauh. Tapii boleh lahh buat berkaca, kali aja bisa buat contoh kecil-kecilan dulu.

Anggaran BRIN tahun ini yang sebesar Rp6,38 triliun, terlalu kecil untuk mengakomodir beragam riset-riset dasar dan biaya operasional lembaga.

Bukan saja terlalu kecil, anggaran ini justru turun jauh dari sebelum adanya BRIN yang bisa mencapai Rp26 triliun.

Dan yaaa membiaya riset dasar seperti fisika atau kimia dengan dana besar memang terlihat hanya membuang-buang anggaran.

Hanya saja perlu diingat keberhasilan Oppenheimer dan Amerika di Perang Dunia II lahir dari riset “remeh-temeh” seperti itu.

Editor: Mita Berliana
Penulis

Basmanto

Penulis bernama Basmanto, alumnus Jurusan Fisika UIN Makassar. Menulis di Warung Sains dan Teknologi (Warstek) dan pengurus Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional 2020-2022. Saat ini menjadi peneliti biomaterial dan komunikator sains.
Opini Terkait
Cuti 40 Hari Untuk Suami: Solusi atau Sensasi?
Kebaya: Bentuk Rasis yang Diperhalus
peringatan hari dongeng
Cantik Itu Relatif
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel