Kalian pernah nggak ke mlijo? Iya, pedagang pengecer sayuran. Kalau belum, segera nyari dan join sih kataku. Dan rasakan panggung kekuasaan paling seru se-desa.
Mlijo bukan lagi sekadar tempat belanja. Ia menjadi panggung kecil di mana setiap adegan kehidupan di desa dipentaskan. Dan pembeli yang mayoritas ibu-ibu, jadi sutradara yang ngatur jalan cerita.
Di balik deretan tomat dan cabe yang meriah, terdapat panggung kekuasaan tak terlihat yang dikuasai oleh ibu-ibu desa.
Kayak panoptikon Foucault, di mlijo, ibu-ibu ini bisa ngeliat segala sesuatu, dan kita jadi objek yang tak terlihat.
Kekuasaan yang Lebih Merayap dari Harga Tomat
Foucault, si filsuf Prancis pernah ngebahas konsep kekuasaan dengan luar biasa tajam. Teorinya tentang panoptikon, yang artinya kekuasaan lebih efektif kalau disembunyiin dan nggak keliatan, ternyata bisa diterapin di tempat nggak terduga.
Mlijo mungkin terlihat sebagai tempat jual sayur dan bahan makanan biasa. Tapi ia bisa jadi tempat pertukaran informasi sekaligus gosip paling sedep.
Biasanya, ini dilakukan oleh pembeli langganan di mlijo tersebut. Mereka seakan otomatis datang ke mlijo pada pagi hari di jam tertentu. Setelah berkumpul, mereka akan saling sapa.
Lalu dibuka dengan basa-basi monoton oleh seseorang, “masak apa yaa hari ini?” , “duh anak/suamiku rewel dimasakin ini itu nggak mau,” atau “bu/pak sayur kangkong nggak ada apa?”
Di sini lah gongnya, sambil sibuk melihat dan memilih sayur serta bahan masak lainnya, bakal ada satu orang menyeletuk tentang si A. Kemudian orang lainnya saling menimpali.
Kalau dalam pandangan Foucault, fenomena seperti itu adalah bentuk mikro-panoptikon, di mana kontrol sosial terjadi tanpa perlu ada struktur kekuasaan yang jelas.
Ibu-ibu di sini bukan hanya pembeli, tapi juga mengontrol perilaku dan norma-norma sosial. Pergaulan dan interaksi diatur oleh aturan tak tertulis, yang dibentuk oleh kehadiran mereka di mlijo.
Dalam dunia mlijo, kekuasaan tak hanya terletak pada uang, tapi juga pada kemampuan untuk mengendalikan narasi sosial.
Foucault juga menyoroti kekuatan kata-kata dalam pembentukan kekuasaan. Di mlijo, senjata ampuh ibu-ibu adalah gosip.
Percakapan di sana bukan hanya soal harga bawang atau kualitas tomat, tapi juga gosip tentang tetangga sebelah yang kebetulan beli sayur dua kilo tanpa tawar-menawar atau tetangga sebelah yang anaknya belum menikah juga padahal sudah berumur 29 tahun.
Gosip di mlijo bukan sekadar omong kosong. Ia adalah instrumen kekuasaan yang mampu membentuk opini publik dan mengendalikan perilaku.
Ketika kamu jadi objek yang diperbincangkan, dan circle di mlijo tadi sudah menyimpulkan bahwa kamu di cap sebagai orang yang nakal misalnya, maka kamu seakan di blacklist oleh circle ibu-ibu di mlijo. Dampaknya tidak hanya dalam transaksi jual-beli, tapi juga dalam kehidupan sosialnya, seperti dijauhi.
Dalam dinamika kekuasaan di mlijo, ada hierarki yang nggak tertulis. Ada ibu-ibu yang dianggap paling berpengaruh.
Biasanya orang paling kaya dan terpandang, atau punya ‘koneksi’ di desa. Mereka jadi pemeran utama di panggung kekuasaan mlijo.
Lewat obrolan-obrolan santai atau gosip-gosip kecil, keputusan-keputusan bisa terbentuk tanpa kita sadari. Opini-opini terbentuk, reputasi dibangun, dan kontrol sosial semakin kuat.
Selain Uang dan Tas belanja, Siapkan juga Humor dan Kritik
Dalam ngadepin kekuasaan di mlijo, kita bisa anggap ini kayak seni. Seni dalam nanggepin gosip tanpa harus marah, seni dalam selipin humor ke transaksi jual-beli, dan seni dalam baca situasi tanpa harus ikut arus.
Kritik kita bisa jadi kayak seniman yang kritis, jadi katalisator perubahan. Kita bisa ngebantah dengan bijak tanpa harus terlibat ‘perang terbuka’. Soalnya, di mlijo, kekuasaan lebih sering dipertahankan lewat kata-kata daripada tindakan.
Nah, gimana kita ngadepin kekuasaan di mlijo? Ada dua opsi: bertahan atau menentang. Bertahan dengan jaga citra yang baik di mata ibu-ibu mlijo, atau menentang dengan jadi agen perubahan yang bawa keberagaman dan ketidaksetujuan.
Menentang bukan berarti melawan, tapi menciptakan ruang buat keberagaman dan terima perbedaan. Mungkin, kita bisa pake filosofi Foucault tentang perlawanan sebagai bentuk kekuasaan yang lebih tinggi.
Maka dari itu, setiap kali kita melangkah ke Mlijo, selain membawa uang dan tas belanja, bawa juga sedikit humor dan kritik.
Kita semua pemain dalam drama ini, dan dengan memahami peran kita, mungkin kita bisa membuat pertunjukan ini lebih menghibur dan kurang menekan. Sebab, di balik harga bawang yang naik turun, ada kekuasaan tak terlihat yang patut kita kritisi dengan senyum di bibir.