Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi

Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi

Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Saya dan kawan-kawan saya yang sedang menyelesaikan kuliah di Ilmu Sejarah cukup dibuat risih dengan aksi Neo Historia di media sosial. Masalahnya, nggak hanya soal tidak bertanggung jawabnya mereka, tapi juga soal bagaimana mereka menyajikan dan mengkomodifikasi sejarah.

Beberapa waktu lalu, seorang kawan mengirimi saya sebuah tautan Twitter mengenai masalah Neo Historia. Tak lain dan tak bukan, Neo Historia tersangkut masalah yang menyoal penjualan buku mereka yang dinilai tidak bertanggung jawab sebagai penerbit dan penjual.

Kasus yang baru saja digoreng ini membuat saya merasa lebih yakin bahwasanya akun atau komunitas yang berkedok mengenalkan sejarah dengan menyenangkan ini sangatlah problematik.

Saya dan kawan-kawan saya yang sedang menyelesaikan kuliah di Ilmu Sejarah cukup dibuat risih dengan aksi mereka di media sosial. Masalahnya, nggak hanya soal tidak bertanggung jawabnya mereka, tapi juga soal bagaimana mereka menyajikan dan mengkomodifikasi sejarah.

Maka dari itu, dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang perlu menjadi evaluasi Neo Historia sekaligus sebagai pengingat untuk masyarakat maya.

Baca Juga: Malaka Project Menjual Edukasi Lewat Tontonan

Masyarakat Media Sosial

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwasanya permasalahan Neo Historia adalah alih-alih mereka menyajikan sejarah dengan menyenangkan, mereka malah berpotensi membuat masyarakat yang membaca tulisan mereka terjerumus pada satu kesimpulan sejarah, atau satu perspektif saja.

Hal ini bisa terjadi karena ciri masyarakat media sosial yang sangat cair. Demi mentransmisikan informasi diperlukan pemahaman yang mendetail agar masyarakat maya bisa membaca suatu kejadian sejarah secara utuh.

Tapi masalahnya, berkembangnya minat masyarakat kita terhadap sejarah akhir-akhir ini, tidak dibarengi dengan minat membaca suatu buku sejarah secara utuh. Dan di sini, masyarakat maya kita kerap kali melihat Neo Historia sebagai sosok penyelamat.

Memang, saya akui Neo Historia adalah salah satu organisasi yang bisa menjawab kebuntuan akademisi sejarah dalam mengenalkan sejarah ke publik dengan baik. Namun, sayang beribu sayang. Di balik kejeniusan ini, Neo Historia jatuh pada fenomena matinya kepakaran.

Mengapa? Saya rasa sudah jelas, bahwa Neo Historia acap kali menyajikan sejarah hanya dari satu sisi saja demi mendulang pengikut.

Secara sederhana, mereka tidak mementingkan metode sejarah hingga masalah subjektivitas atau objektivitas sejarah. Pokoknya pengikut banyak dan menghasilkan cuan.

Salah satu contoh yang membuat saya geram adalah agaknya Neo Historia (terutama di Facebook) cenderung menggunakan kisah-kisah anti-PKI pada saat September tiba. Parahnya lagi, ada satu postingan yang membahas tentang PKI saat peringatan G30S, namun menggunakan sumber buku militer.

Ini menjadi ironi. Neo Historia seolah-olah lebih cenderung menggiring pada perspektif yang dekat dengan kelompok wibu rohis dan sejarawan onlen—yang merupakan basis pasar mereka.

Pada akhirnya, tulisan-tulisan subjektif yang dimuat di laman media sosial Neo Historia ini bisa jadi menyesatkan karena mereka lebih suka mereproduksi tulisan sejarah dengan bekal satu atau dua sumber saja, atau menulis sejarah sesuai dengan pasar dan keinginan subjektif penulis.

Neo Historia Butuh Belajar

Dalam obrolan di Whatsapp dengan salah satu mantan editor tulisan dan buku milik Neo Historia, terungkap bahwa tulisan-tulisan yang dimuat di buku, konten harian, ataupun konten premium mereka ternyata merupakan tulisan gado-gado, alias tidak analitis dan tidak sesuai dengan kaidah metode ilmu sejarah.

Hal tersebut memang betul adanya. Apa yang pernah diungkapkan oleh Ravando dalam akun Twitter-nya, misalnya, bahwa tulisan Neo Historia yang premium adalah tulisan yang sangat asal-asalan, alias comot sumber sana-sini. Bahkan, Ravando dengan berani dalam tweet-nya mengatakan:

            “Kontennya aja boleh nyomot sana-sini dari artikel orang. Premium my ass.”

Cuitan Ravando tersebut juga didukung oleh banyak sejarawan seperti Yosef Kelik, Willy Alfarius, Ody Dwicahyo, dan beberapa yang lain. Hal ini membuktikan bahwa Neo Historia memang sangat tidak kompeten dalam urusan menulis sejarah.

Selanjutnya, saya merasa terheran-heran dengan organisasi ini yang berani menerbitkan banyak buku sejarah. Padahal, bagi saya, menerbitkan buku tidak hanya soal laku atau tidak, tapi juga soal intelektualitas.

Banyak sejarawan yang harus riset berpuluh tahun untuk membuat satu buku. Lantas, bagaimana dengan Neo Historia?

Sepertinya Neo Historia perlu untuk lebih memahami metode sejarah, walaupun sumber yang mereka pakai kebanyakan adalah sumber sekunder.

Jika nantinya ada yang mengomentari tulisan ini dengan mengatakan bahwa belajar metode dan ilmu sejarah itu tidak perlu, lantas apa bedanya Neo Historia dan pemujanya ini dengan para pemuja kripto yang menganggap sekolah tidak penting?

Plis! Tragedi Jangan Dikomodifikasi

Terakhir, hal yang paling bullshit dari Neo Historia adalah mereka sangat pandai menjual tragedi sejarah. Melalui baju dan buku gado-gado mereka, kita bisa langsung tahu bahwa Neo Historia ini lebih pandai berjualan ketimbang menulis sejarah dengan benar.

Mereka dengan bangga menjual kaos bertuliskan “Panitia Romusha” atau “Pegawai VOC”, tanpa melihat bahwasanya apa yang mereka jual bermuatan sesuatu yang pilu di masa lalu.

Belum lagi, saat mereka promosi (terutama yang kaos Panitia Romusha), di mana kadang kala sang peraga busananya melakukan Nazi Salute dalam prosesi pemotretan. Benar-benar ciri khas sejarawan onlen yang suka kegirangan jika bisa membedakan palu arit Soviet dengan PKI.

Tidak sampai di situ, Neo Historia juga menjual kaos-kaos dengan tema lain. Misalnya, soal teror pasca 1965 yang terkesan sangat tidak etis untuk dijual karena dapat membuat para penyintas kekerasan menjadi tidak nyaman.

Ada pula kaos Neo Historia yang bertemakan soal orang hilang pada tahun 1998. Ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah pengelola Neo Historia paham soal royalti kepada keluarga korban?

Ironisnya lagi, Neo Historia juga mempromosikan merchandise mereka (baik itu buku ataupun kaos) dengan menggunakan format meme. Okelah, kalau memang merch yang mereka sajikan tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang pilu.

Tapi bagaimana dengan tragedi atau malapetaka yang dijadikan meme hanya untuk mempromosikan merch mereka? Bukankah itu berarti menjual tragedi sejarah atau bersenang-senang di atas penderitaan penyintas tragedi?

Sebagai penutup, saya rasa masyarakat maya harus mengupayakan diri mereka untuk membaca buku-buku sejarah atau membekali diri dengan berdiskusi terlebih dahulu supaya bisa memahami mana yang sesuai fakta dan mana sejarah yang timpang.

Mengapa? Karena buku sejarah tidak hanya asal terbit. Penulis buku tersebut juga harus bisa memberikan pertanggungjawaban atas karya mereka. Inilah yang perlu kita langgengkan di era di mana puncak pengetahuan kita lebih bersandarkan pada internet ketimbang penjelasan ilmiah para ahli.

NB: tulisan ini boleh dikritik habis-habisan, asalkan kritik tersebut dilayangkan melalui tulisan juga, alias tidak menerima debat kusir, hehehe.

Penulis

Alfian Widi Santoso

Seorang ex-mahasiswa Ilmu Sejarah Unair yang suka menulis dan mendengarkan lagu, hehehe.
Opini Terkait
Kenapa, sih, Cancel Culture Sulit Diterapin di Indonesia?
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel